Pilihan Pahit Tapi Harus

1025 Words
Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi. Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata. Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak. Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede mengusir Ayu. Sejak tadi mengikutinya. “Masuk!” perintah Hide, setelah menurunkan kaca mobil. Ayu menggeleng. Meskipun tidak lagi mempunyai alasan Kaito untuk pergi dari Hide, tapi tetap Ayu tidak ingin bersama dengan pria yang baru saja mencoba untuk menggagahinya. Hide pamannya, tapi apa yang dilakukannya tadi membuat Ayu merasa tidak lagi mengenalnya. “MASUK!” ujar Hide lagi, kali ini dengan membentak. TentuAyu masih menolaknya. Ayu terus berjalan menyeret kedua koper miliknya, menyusuri jalan yang kini mulai terlihat ramai. Beberapa anak sekolah berseragam kerah sailor, berjalan melewatinya, sambil menatap dengan heran. Pemandangan nelangsa dari seorang wanita yang berpenampilan kacau-balau, sambil menyeret koper, tentu mengundang tanya. “Masuk! Apa kau ingin menjadi tontonan banyak orang?” Hide yang masih menjalankan mobilnya dengan sangat pelan di samping Ayu, kembali mendesis. “Ya, aku lebih baik menjadi tontonan banyak orang, daripada harus kembali bersamamu!” sergah Ayu, sedikit kasar. Tapi suaranya tercekat. Sebenarnya, saat ini Ayu sangat ingin memiliki kerabat yang dapat dia jadikan tempat bergantung, setidaknya tempat untuk berpegangan agar tidak ambruk. Tetapi satu-satunya kerabat yang dimilikinya ternyata telah menyakitinya belum lama ini. Tangan Ayu yang mencengkeram pegangan koper, juga terlihat memutih karena meremas pegangan kopernya dengan sangat kuat. Ketakutan itu datang kembali saat mengingat apa yang dilakukan Hide tadi. “Lalu apa rencanamu? Kau ingin tidur di jalan? Kau ingin menjadi gelandangan? Atau kau ingin mengakhiri hidup begitu saja, hanya karena pria itu?!” Hide membeberkan masa depan nyata yang sejak yadi belum terpikirkan oleh Ayu. Langkah Ayu melambat. Ayu mungkin ingin lari dari Hide, tapi bukan berarti dia ingin mati. Ayu tidak akan pernah menyerah untuk hidup, karena ia sudah pernah hampir kehilangan kehidupan ini sekali. Ayu selalu ingin hidup, apa pun yang terjadi. Tapi saat ini, Ayu tahu benar dia sama sekali tidak memiliki apa pun. Ayu sangat tahu jika Kaede tidak akan menyertakan setumpuk uang di dalam kopernya. Selama ini, Kaede bahkan dak pernah mempercayainya untuk memegang uang belanja. Ayu kemarin membayar ongkos taksi dengan uang miliknya yang dibawa ke rumah Kaito dulu. Jadi, tidak mungkin Kaede akan mengusir menantu jalang dengan memberinya uang untuk hidup. Selama berada di rumah Kaito Nakamura, Ayu hanya memasak dengan bahan apa yang dibeli Kaede. Semua pakaian dan apa yang dipunyainya berasal dari Kaito. Hartanya adalah nol, tapi Ayu selama ini tidak merasa jika hal itu adalah masalah. Ayu mungkin punya keinginan, tapi selalu menahan keinginannya itu. Ayu selalu mengingatkan dirinya jika apa yang diberikan oleh Kaito sudah cukup. Pria itu tidak pernah absen memberinya hadiah. Tidak ada jadwal rutin, malah terkadang setiap minggu, Kaito selalu membawakan hadiah setiap kali pulang dari bekerja keluar kota. Pakaian, parfum, atau kadang perhiasan. Jadi, Ayu tidak pernah merasa memerlukan uang—sampai hari ini. Ayu mulai menyadari jika apa yang dikatakan Hide sangat tepat. Dirinya benar-benar akan menjadi gelandangan jika terus nekat seperti ini. Ayu berhenti melangkah, menunduk dan menelan rasa mual yang menyangkut pada tenggorokannya. Keputusan yang diambil membuatnya jijik. Tapi dia tidak punya pilihan. “Masuklah.” Hide tidak lagi membentak, karena tahu Ayu tidak akan lagi menolak. Langkah itu terhenti karena Ayu memang menerima usulannya. Hide membuka pintu dan turun, memutar untuk mengambil koper Ayu dan meletakkannya di bagasi. Ayu masuk dan duduk. Tapi seperti tadi, Ayu mendesakan tubuhnya sejauh mungkin dari Hide. Tekadnya saat membuat keputusan tadi adalah sebisa mungkin menjauhkan dirinya dari Hide. Untuk saat ini Ayu sedikit bisa bernapas. Hide tidak mengatakan apa pun, dia hanya diam selama perjalanan. Dan itu adalah suasana yang menurut Ayu sempurna. *** Hide meletakkan koper Ayu di dalam kamar, lalu meninggalkannya. Masih tidak bicara. Tidak ada senyum, ataupun ucapan ‘Okaeri’—selamat datang kembali—yang biasa diucapkan Hide saat dirinya pulang sekolah dulu. Tapi semua itu melegakan bagi Ayu, terutama setelah pintu kamarnya tertutup. Ayu memang ingin sendiri untuk menenangkan pikiran. Jelas apa pun yang dilakukan Hide saat ini tidak akan membuatnya tenang. Penghiburan dari Hide saat ini hanya akan membawa tangis dan umpatan. Pamannya bukan lagi ‘tempat’ yang aman untuknya. Ayu duduk dan bersandar pada tembok, memeluk lutut lalu meremas lengannya. Menahan tangis yang kembali dengan mudahnya. Kilasan tentang Kaito, Kaede, dan lain sebagainya, membuat Ayu berharap penyakitnya belum sembuh. Setidaknya dengan begitu, ada kemungkinan dia bisa melupakan semua yang terjadi dalam beberapa jam terakhir ini, terutama apa yang terjadi malam kemarin. Ayu meremas kembali kedua lengannya, mencegah dirinya untuk tidak berteriak maupun meraung. Tidak ingin mengundang perhatian Hide. Ayu bahkan tidak tahu harus menangis untuk apa. Apakah Kaito, hinaan Kaede, ataukah sikap Hide yang sungguh jauh berbeda dengan apa yang ada dalam ingatan Ayu. Ayu mengikutinya ke rumah ini, karena memang Hide adalah satu-satunya keluarga yang masih mungkin menerimanya. Pilihan lain adalah Karin yang jelas tidak akan pernah memeluknya lagi. Ayu ada di sini karena memang tempat ini yang tidak akan jijik menerimanya. Tapi bukan berarti Ayu tahu harus bersikap seperti apa kepada Hide. Ayu tidak yakin dirinya bisa menghapus ketakutan atas keberadaan Hide di dekatnya dengan cepat. Apa yang tadi dilakukan Hide di kamar mandi, mencemari apa pun kenangan yang dimiliki Ayu tentang Hide. Paman yang dia kenal sangat lembut, tidak lagi sama. Ayu masih mengerti ketika Hide marah tentang keinginannya kembali kepada Kaito—kepada keluarga Nakamura yang memperlakukannya dengan tidak adil. Tapi Ayu tidak mungkin bisa menerima perlakuan Hide di kamar mandi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD