Ancaman yang Dikabulkan

1125 Words
Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup. "Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari. "Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga. "Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya. "Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon. Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila. Bayangan Ayumi, mereka menikah dan berbahagia. Buktinya Hide menolak permintaan cerai itu. Itu yang terlihat di mata Ayumi, tanpa mendengar gumam dan desisan diantara mereka berdua. "Oji-san, aku mohon. Aku akan melakukan apapun permintaanmu, aku akan menebus jasamu ini, tapi aku mohon kabulkan permintaannya." Ayumi meminta lagi, sambil menatap Hideki. Air matanya kini menetes membasahi punggung tangan Hideki yang ada ada dalam genggamannya. “Kau amat mencintai pria lemah itu?" Hideki bertanya dengan nada tidak percaya. “Benar, Kaitto adalah duniaku." Ayumi mengangguk sementara air matanya semakin deras. "Putuskan cepat! Aku ingin kejelasan sekarang juga!"Karina melihat kesempatan dimana Hideki melemah dan menyambarnya. “Ayumi akan menjadi bulan-bulanan mertuanya kalau aku mengatakan hal menjijikkan ini pada mereka! Kau lihat saja...” “Diam!” Hideki membentak. Tidak tahan lagi mendengar teriakan Karina. Hideki menghela napas. "Baiklah, kita bercerai." Ayumi lega, tapi isakannya tidak berhenti. Ia menyesal telah memaksa pamannya mengambil keputusan itu. Rasa bersalah itu membuat Ayumi melewatkan kepuasan yang terlintas di wajah Karina. Ia tersenyum lebar sekarang. "Akhirnya aku bisa lepas dari kehidupan menderita bersamamu," desis Karina. “Menderita? Kapan aku membuatmu menderita?" Hideki mendengus. “Kau tidak pernah memberiku kebahagiaan, kau busuk dan …” "Aku tidak perlu mendengarnya!” Hideli menghentikan hinaan Karina dengan bentakan, karena isakan Ayumi berkurang. Ia tidak ingin Ayumi mendengar. “Aku sudah mengabulkan permintaanmu, Maka sekarang diam sebelum aku membuatmu tidak bisa bicara!" Karina sangat marah, tapi mengenali ancaman serius, maka ia diam. Ayumi yang berhenti menangis, sedikit bingung, menyadari atmosfer aneh diantara keduanya, tapi tidak bisa menunjuk dengan tepat. ia tidak paham kenapa paman dan bibirnya kini saling memandang penuh benci. Ia paham kalau Karina sedang marah, tapi Hideki tidak punya alasan yang sama> Seharusnya Hideki merasa jijik dan bersalah seperti dirinya. Ayumi sedikit bingung pada sikapnya. Memang setelah menikahi Ayumi hampir tidak pernah berhubungan dengan Hideki. Ayumi masih mencoba menghubunginya tapi lebih sering Hideki tidak menjawab, atau sibuk dan hanya bicara sebentar. Lama kelamaan Ayumi berhenti menghubungi, dan kini bingung melihat pamannnya begitu berubah. “Aku akan menunggu peresmian status cerai itu." Karina mengucap dengan lebih tenang. “Secepatnya. Hari ini aku akan langsung meminta pengacara mengurusnya. Akan selesai seminggu paling." Hideki sudah kembali datar. Ayumi kembali menatap mereka berdua bergantian. Bingung oleh kedamaian yang tiba-tiba itu. Mereka tidak terlihat sedih atau patah hati, malah terdengar seperti menyetujui kontrak kerja. “Biaya tutup mulutnya lima ratus Jutta yen.” Karina menyebut jelas kompensasi yang diinginkannya. "Kau ingin berapa?" Hideki mengernyit. “Lima ratus juga yen." Karina mengulang lebih keras. Ayumi membelalak. Lima ratus juta yen itu sangat banyak. Jika dirupiahkan maka akan mendekati lima puluh milyar. Ayumi memandang Hideki, kembali panik. Pamannya tidak mungkin punya uang sebanyak itu. tapi Ayumi kembali harus takjub, saat Hideki mengangguk. Ia tidak tahu Hideki sekaya itu. "Oke." Hideki berjalan menuju ruang tengah, membuka salah satu laci untuk mengambil buku cek dan menuliskan jumlah yang diinginkan oleh Karin, dan memberi cap nama keluarga di atasnya. Ia lalu melemparkannya ke arah Karina. “Ambil dan pergi! Jangan kembali” bentak Hideki. Belum puas karena gagal menghukum Karina, tapi untuk sekarang lebih baik menjauhkan Ayumi dari Karina. Karina mendecak saat memungut cek itu dari lantai. “Terima kasih atas setahun pernikahan yang terasa seperti di neraka. Dan terima kasih untuk ini." Karina menunjukkan cek, lalu kembali membuka pintu, tapi ia berpaling memandang Ayumi terakhir kali. Jika sejak tadi mereka berbincang menggunakan bahasa Jepang, Karina beralih menggunakan bahasa ibu miliknya, dan Ayumi paham meski sudah lama tidak memakai. Bahasa Indonesia. “Kau sepertinya sudah terlalu lama berada di negeri ini, sampai melupakan adat budaya negeri tempat asalmu. Aku yakin Ayah dan ibumu akan menangis dalam kuburnya saat tahu kau tidur dengan pamanmu sendiri.” Air mata Ayumi kembali turun deras. Ayumi berharap akan meminta maaf sebelum Karina pergi, tapi justru teguran keras didapatnya. “Pergi!” Hideki mendorong Karina keluar. Kertas shoji yang menempel pada kerangka pintu tampak bergetar saat Hideki menutupinya dengan bantingan. "Masuk dan bersihkan diri. Kau kacau." Hideki memberi perintah pada Ayumi. "Aku mau pulang sekarang. Aku harus kembali pada Kaitto. Aku sudah tidak pulang semalaman." Ayumi menolak perintah pamannya. "Kau tidak perlu kembali ke keluarga itu!" Hideki menceraikan Karina, tapi bukan berarti akan membiarkan Ayumi kembali kesana. Ia hanya tidak Ingin Karina menghancurkan nama Ayumi “Tapi aku…” “Pria itu dan keluarganya menyiksamu! Bagaimana kau masih ingin ke sana?!” Ayumi tidak pernah melapor padanya, tapi Hideki tahu perlakuan keluarga Nakamura padanya. “Aku mau pulang!" Ayumi tidak ingin mendengar Hideki menjelekkan keluarga Kaitto. “Kau ingin pulang pada pria lemah itu? Pria yang selamanya tidak akan pernah keluar dari ketiak ibunya? Tidak boleh. Kau tetap berada di sini!” Hideki kini menghina Kaitto. Ayumi tersentak terkejut dan menatap mata gelap Hideki. Mata itu menyorot tajam tanpa kelembutan sama sekali. “Aku harus kembali Oji-san, aku masih istri Kaitto."Ayumi meminta lebih tenang. Tidak ingin pamannya semakin marah. “Kau tadi mengatakan akan mengabulkan keinginanku bukan? Balasan agar aku menceraikan Karina.” Ayumi terkesiap. Firasat buruk muncul. Janji itu seharusnya tidak boleh diucapkan sembarangan. "Jangan itu, Oji-san..." Ayumi menggeleng. “Permintaanku adalah kau tinggal di sini.” Hideki malah memperjelas. Ayumi menggeleng kuat-kuat, dan air matanya kembali berlinang. “Tidak bisa, Oji-san. Yang lain saja. Jangan itu. Aku mencintai Kaitto, dia suamiku.” “Suami? Kau lupa apa yang kita lakukan tadi malam? Sepertinya kau cukup menikmati belaianku meski aku bukan suamimu." "JANGAN!” Ayumi memekik dan menutup telinga, tidak Mau mendengar pembahasan itu. “Aku harus pulang!” Ayumi berlari masuk ke kamar, menerjang Hideki. "AYUMI!" Hideki berseru marah. Ayumu mendengar tapi terus berlari. Ia teringat pada ponsel di dalam tas, yang masih tertinggal di kamar Hideki. Ayumi melupakan tas itu tadi. Ayumi dengan cepat menyambar tas itu dan mengambil ponsel, sementara terus berlari ke kamar mandari dan mengunci pintu, agar pamannya tidak mengganggu. Panggilannya terhubung dengan cepat. "Kaitto-kun, aku..." Bernturan keras membuat Ayumi terdiam. Hideki baru saja menerjang dengan mendobrak pintu kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD