“Maaf, tapi apa maksud Anda mengatakan itu?” Ayu berdiri dan menatap Mori. Tentu saja Ayu sangat mengerti apa yang dimaksud Mori. Ini bukan pertama kalinya Mori mengatakan hal sejenis itu. Ayu masih ingat percakapan antara Mori dan wanita dari HRD kemarin. Keberadaannya mencurigakan. Tapi Ayu tidak akan menerima hinaan, karena memang dia tidak melakukan hal aneh apapun. Dia kesini karena panggilan. Entah bagaimana dan oleh siapa. Dan yang jelas, Ayu sudah merasa berusaha sangat keras untuk mengejar ketinggalan dan belajar. Kerja keras itu tidaklah mudah.
“Kau sudah dengar apa yang aku bicarakan, bukan? Kau tidak cocok…”
“Maaf, tapi kenapa Anda menganggap saya tidak cocok? Apa selama beberapa minggu ini saya melakukan kesalahan? Apa ada kinerja buruk dalam catatan saya?”
Ayu berani karena tahu kerjanya nyaris sempurna. Mungkin dia melakukan kesalahan, tapi itu hanya terjadi antara minggu pertama dia bekerja—masa pelatihan. Setelah itu, Ayu menjamin semuanya sempurna. Ayu telah belajar dari pengalaman, Kesalahan akan membuatnya menjadi pengangguran. Karena itu Ayu sekuat tenaga membuat pekerjaannya sempurna kali ini. Kini Ayu tidak akan melewatkan kesempatan di mana dia bisa membela diri, apalagi saat ia tidak melakukan kesalahan yang patut mendapatkan teguran atau hinaan.
Mori menyipitkan matanya yang ada di balik kacamata dan melipat tangannya di depan d**a. Karena Mori tidak kunjung menjawab, Ayu melanjutkan pernyataannya, masih dengan tenang, meski bisa merasakan panas dalam dadanya.
“Saya datang ke Shingi karena mendapat panggilan, dan setelah itu saya bekerja keras. Dan bukankah kerja keras itu yang akhirnya menentukan nasib saya? Saya akan bertahan karena mampu, bukan pantas atau cocok.” Ayu menelan ludah karena tenggorokannya benar-benar kering. Ayu tahu jika apa yang dikatakannya semuanya sangat benar, tapi Ayu juga sangat sadar jika perlawanannya itu terlalu berani.
Ayu mungkin sedang membela diri, tapi bisa jadi pembelaan diri itu beresiko membuatnya kembali menganggur. Namun, semua sudah telanjur. Menyisakan jantung Ayu yang sekarang berdegup kencang—ketakutan menebak akibat apa yang akan diterimanya karena membantah Mori. Tapi Ayu memang tidak mungkin menarik kalimatnya lagi, semua sudah terucap dengan jelas.
“HA… HA… HA!” Tawa Mori terpecah, dan tentu saja bergema semakin keras karena kamar mereka berada kosong. Mori bahkan sampai menutup wajahnya, untuk mengendalikan diri dan menghentikan tawa. Dan jelas pertunjukan tawa itu membuat Ayu kebingungan. Dia berharap Mori akan marah atau paling tidak membentak—bukan tertawa.
“Aku menganggapmu seekor kelinci tadinya, tapi ternyata kau lebih mirip kucing. Bagus! Aku suka keberanianmu.” Mori berjalan mendekati Ayu, menepuk bahunya, lalu menunduk. Mendekati telinga Ayu.
“Aku suka semangatmu. Setelah ini, aku akan membuatmu bekerja keras—lebih keras dari yang kemarin. Aku harap kau sanggup menanggungnya.” Mori memelankan suaranya, sekali lagi menepuk bahu Ayu, lalu berjalan keluar dari kamar itu dengan wajah cerah.
Meninggalkan Ayu yang tentu saja masih terbengong tak mengerti. Perbuatan yang seharusnya kurang ajar tadi, malah berbalik arah. Terlihat tidak ada hal buruk terjadi, karena tadi Mori tertawa, bukan marah. Ayu mengedip, lalu melihat Riko menjengukkan kepala ke dalam sambil mengangkat alis.
“Ada apa ?” Riko bertanya dengan gerak bibir—tanpa suara karena tidak ingin Mori mendengar mereka mengobrol.
Ayu menggeleng dan mengangkat bahu. Ayu bukannya ingin merahasiakan apa yang terjadi tadi, tapi Ayu sendiri kebingungan bagaimana menjelaskan keanehan sikap Mori. Ayu memutuskan untuk melupakan. Masih terbesit sedikit heran, tapi Ayu memilih untuk kembali berkonsentrasi memeriksa ruangan itu. Memastikan dirinya tidak melakukan kesalahan seperti yang dikatakannya tadi.
Ayu tidak akan mengubah apapun karena ucapan Mori tadi. Tidak akan menjadi lebih rajin lagi—karena memang tidak mungkin, dan tetap menerapkan cara yang biasa dilakukannya. Belajar dan bekerja serajin mungkin.
“Ayo, kita makan malam bersama.” Mori melambai, meminta semua anggota tim 2 keluar lebih cepat dari rumah itu. Pekerjaan mereka selesai saat matahari terbenam. Sebenarnya mereka bisa langsung berpisah—pulang ke tempat masing-masing. Tapi Mori telah mengusulkan makan malam bersama, tentu saja mereka tidak mungkin pulang. Bukan kewajiban mengikuti ajakan Mori, tapi semua orang tahu jika ajakan makan bersama seperti itu adalah sesuatu yang tidak boleh dihindari.
Acara makan malam—biasanya diikuti oleh minum sake, adalah cara orang Jepang—khususnya untuk karyawan bersosialisasi. Melewatkan acara seperti itu akan menyebabkan nama buruk yang akan diingat oleh atasan.
Ayu juga tidak akan dengan bodoh menolak, meski jika bisa dia akan memilih untuk kembali ke kantor dan belajar.
“Ayumi, setelah ini kau ikut aku kembali ke kantor. Ada hal yang harus kita bahas.”
Keinginan Ayu terkabul dengan sangat cepat. Dia benar-benar harus kembali ke kantor, hanya sedikit meleset dari rencana. Ayu jelas tidak ingin bersama Mori kembali ke sana, dia ingin belajar sendiri.
Tapi sudah jelas jika kalimat itu tadi adalah perintah yang tidak untuk ditolak.
“Baik, Mori-san.” Ayu mengangguk, sambil masuk ke mobil yang akan membawa mereka ke restoran.
“Terus saja menjadi sok rajin.” Terdengar ejekan lirih saat Kyoko lewat di samping Ayu. Jelas tidak menyukai bagaimana Mori memilih Ayu untuk bekerja lembur.
Ayu ingin membalas jika perintah tadi juga bukan keinginannya, tapi Riko—yang rupanya juga mendengar ejekan Kyoko—meraih lengannya dan menggeleng. Meminta Ayu tidak memperpanjang masalah. Ada Mori di depan, dan akan menjadi masalah jika sampai ada keributan. Ayu akhirnya hanya mengambil napas panjang, dan mengingatkan diri jika Shingi nyaris sempurna, dan Kyoko hanyalah duri kecil.
“Tapi apa yang diinginkan Mori?” Riko berbisik kecil di telinga Ayu.
“Entah.” Ayu punya dugaan jika Mori akan membuatnya bekerja keras seperti katanya tadi, tapi jelas Ayu tidak tahu kerja keras macam apa yang diinginkan Mori.
***
Memang Mori menyuruhnya bekerja keras, sampai Ayu pulang dengan kereta terakhir dengan membawa beban pikiran yang membuatnya nyaris tidak bisa berkonsentrasi saat berjalan memasuki rumah. Otak Ayu sedang bekerja keras menghafal jenis gedung dan juga cara menaksirnya. Itu adalah pekerjaan tingkat lanjutan yang seharusnya akan menjadi beban kerja Ayu bulan depan—karena memang begitu program latihannya. Karena ‘tantangan’ Ayu tadi, Mori memberi beban kerja itu sekarang. Memintanya untuk menguasai materi selama seminggu ini.
“Indah sekali.” Ayu membatin dengan sarkas, karena tentu hal itu akan membuatnya nyaris tidak punya waktu luang. Tapi setelah mengingat jika akan lebih baik jika dia sibuk daripada menganggur, Ayu mencoba untuk bersyukur.
“Kau dari mana saja?” Terdengar kalimat bernada teguran, saat Ayu melintas di depan ruang tengah. Ayu berpaling, dan melihat Hide duduk bersila dengan cawan dan botol sake berwarna putih di depannya.
“Kerja.” Ayu menjawab singkat karena tentu tidak ingin berlama-lama berada di dekat Hide, saat pamannya itu tengah minum.
“Sampai larut seperti ini?” Hide mendengus sambil menuang sisa sake dari botol.
“Aku harus lembur.” Ayu gembira dia tidak perlu berbohong. Dia memang lembur, meski kadang tidak perlu.
“Setiap hari?”
Ayu terkejut mendengar pertanyaan lanjutan itu. Tidak menyangka Hide akan tahu kebiasaannya lembur hampir tiap hari. Meskipun lembur, tapi Ayu pulang lebih cepat dari Hide.
Hanya hari ini Hide pulang lebih cepat karena Mori menahannya lebih lama lagi.
“Ya.” Ayu kembali menjawab singkat. Tidak ingin membahas lebih jauh.
“Apa kau pernah mendengar ‘karoshi’?” Hide masih tidak membentak, tapi Ayu yang sudah mengenal tahapan kemarahan Hide semenjak kecil, tentu menyadari jika nada rendah itu adalah awal dari kemarahan.
“Ya.” Ayu mengangguk. Tentu dia tahu apa arti karoshi, karena Kyoko beberapa hari lalu menyebutnya dengan istilah itu. Tentu tidak berbentuk nasehat manis, tapi sindiran dan mungkin doa untuk masa depan Ayu.
Karoshi adalah keadaan di mana orang mati karena terlalu banyak bekerja. Terdengar tidak mungkin, tapi di Jepang keadaan itu termasuk tidak mengherankan. Entah karena kelelahan akut, atau bunuh diri karena stress masalah kerja.
“Apa kau bercita-cita mengalami keadaan itu?” Hide bertanya sengit.
“Tentu tidak! Tapi memang begini beban pekerjaanku, dan aku akan menjalaninya. Aku tidak bodoh dan tidak akan mendorong batas kemampuan tubuhku sampai mati,” bantah Ayu.
Hide menyeringai. “Perusahaanmu menyuruh lembur setiap hari tanpa jeda? Benarkah?”
Untuk yang ini Ayu tidak bisa langsung berkata iya, karena tentu jam lembur Ayu biasanya ada atas inisiatif sendiri.
“Jika benar begitu, aku akan melaporkan perusahaan tempatmu bekerja, karena jelas ada peraturan yang melarang mereka membebankan jam kerja yang tidak manusiawi.”
Ayu mendesah. “Bukan begitu, tapi aku harus…”
“Harus? Ada yang mengharuskanmu bekerja seperti ini? Apa kau sadar, jam kerjamu tidak masuk akal! Kau benar-benar ingin mati saat bekerja?!” Level amarah Hide telah menanjak karena Ayu mulai mendengar bentakan dari pamannya. Pamannya itu mungkin sudah berubah, tapi Ayu masih bisa mendengar bagian dari Hide yang tidak berubah.
Hide dulu pernah menegurnya seperti ini, saat berada di tempat karaoke bersama Rie. Pamannya menegur karena pulang terlalu malam. Tapi Ayu tidak yakin jika teguran yang sekarang adalah kekhawatiran. Ayu hanya mendengarnya sebagai siksaan, apalagi setelah mendengar kalimat berikut.
“Tidak peduli dengan sebab apa, jika kau terus seperti ini, kau berhenti saja!”
Kalimat tajam Hide, menusukkan rasa sakit baru yang membetik amarah Ayu. Tidak mungkin rela menerima perintah itu.