Halaman belakang

1570 Words
Wajah Steve dan Deril memucat. Mereka sangat ketakutan. Tangan Deril tiba – tiba bergetar. Steve masih mencoba membaca situasi. Tapi nihil. Dia tidak bisa fokus, ketakutan kini menyelimutinya. “Kalian kenapa?” Ucap jessi. “Takut ya? Hahahahaha.” Lanjutnya sambil tertawa. Steve merasa geram karena sudah ditipu. Deril pun merasa ciut, waktunya hanya tinggal sebentar untuk bisa lahir kembali. Tapi malah terjebak disana. “Memangnya mereka takut apa jes?” “Takut sama kamulah.” “Kok aku?” “Hahahaha, maaf maaf. Sudah membuat kalian takut. Dan membuat Alba menjadi menakutkan.” “Maksudnya?” steve menyela. “Kan waktu itu kamu nanya, soal siapa orang yang ada di buku. Ya sekalianlah kalian kesini ketemu orangnya langsung.” “Tapi kamu bilang kalau dia itu...” Steve tak melanjutkan kalimatnya. Lalu dia melirik ke arah Jessi. “Hahahaha, kalian kok gampang banget dikibulin.” “Ada apa ini jes?” Albapante pun penasaran dengan suasana yang membingungkan itu. “Jadi gini. Mereka tuh nanya ke aku. Siapa pasangan yang tetap tinggal disini selamanya. Buku jodoh lembah hijau. Kau ingat?” “Oh buku itu, kenapa memangnya?” “Ya mereka ini penasaran, siapa dan bagaimana mereka bisa tinggal selamanya disini.” Steve dan Deril melirik sinis ke Jessi. Membuat Jessi bergidik ngeri. Tatapan penuh dendam dan amarah. “Kalian jangan gitu ah, serem.” “Serem katamu? Lalu yang kamu bilang Albapante suka sama cowok ganteng kayak kami tuh apa? Itu horor.” Ucap Deril geregetan. “Apa? Aku suka sama cowok?” Albapante terkejut mendengar itu. “Hahahahahaha.” Jessi hanya tertawa. “Oke aku minta maaf, Steve Albapante inilah orang yang membantu pasangan itu untuk tetap tinggal disini. Jadi kalo mau nanya ya langsung aja nanya ke orangnya. Terus Der, aku ga ada niatan apapun. Cuma mau ngerjain Steve aja. Dia udah bikin aku sama yang lain kerepotan pas langit oranye. Inget kamu Steve? Dan Alba, maaf nih malah jadikan kamu alesan biar mereka ga sembarangan lagi. Hahahaha.” “Emangnya aku digosipin suka sama cowok ya jess?” Albapante penasaran. “Kamu inget cowok yang waktu itu minta bantuan sama kamu biar dia bisa masak?” “Oh Jefri. Kenapa?” “Kabar dia menghilang di hari pengumuman membuat rumor itu muncul. Karena ada salah seorang yang bilang dia ketemu kamu 2 hari sebelum dia menghilang. Aku sih diem aja biar mereka pada takut sama kamu. Hahahaha. Dan disinilah mereka membawa pertiwi.” “Kamu juga bohong soal itu kan.” “Ahahaha. Iya maaf ya, aku tuh sibuk banget. Jadi ga ada waktu ngajak dia main. Kan kalian mau kesini, sekalian ajak dia jalan – jalan kan lumayan.” Steve dan Deril saling berpandangan. Lalu mengangguk. Sedetik kemudian mereka menyerbu Jessi. Menguyel rambutnya, mencubit pipinya, dan mengelitikinya hingga menangis di tempat. Albapante tertawa melihat mereka bertiga. Seperti sahabat tak terpisahkan. “Kaliam jadi lihat – lihat ke ruangan ga?” “Jadi dong.” Ucap steve antusias. Jessi terselamatkan dari amukan kedua lelaki tampan itu. “Lalu siapakah pasangan di buku hijau itu?” tanya Steve penasaran.” “Nanti kalian akan tau siapa mereka. Kita lihat – lihat saja dulu disini.” Mereka melihat masing – masing ruangan. Di ruang masak banyak orang yang sedang berlatih membuat adonan kue. Hari itu adalah hari pelatihan membuat kue. Ada yang belepotan diwajahnya terkena tepung, ada yang adonannya lengket semua ditangan, dan berbagai macam keributan lain disana. Di ruang jahit, orang – orang ada yang sedang dilatih untuk memotong kain. Ada yang bagus, ada pula yang mencelot kesana kemari potongannya. Ada pula yang belajar menyatukan tiap – tiap potongan kain dengan mesin jahit. Memaaukkan benang ke jarum jahit memang sangat susah. Ada yang masih terjebak dalam proses itu saat mereka tiba disana. Ada pula yang sedang mengobras baju setengah jadi. Mesin obras adalah mesin jahit lanjutan. Dimana jahitan dari mesin obras bertujuan untuk menguatkan jahitan agar tidak mudah terbuka. Lalu mereka menuju ruang olahraga. Disana banyak lelaki dan perempuan berlatih di tiap – tiap alat olahraga. Ada yang senam, ada yang angkat beban, ada yang lompat tinggi, berbagai macam olahraga mereka pelajari. Steve dan Derik berhenti tepat di arena senam para perempuan. Lekuk tubuh mereka menghipnotis Steve dan Deril seketika. Jessi mencium gelagat mereka. Lalu jessi menjewer telinga mereka dan membawanya berjalan kembali. Ruang penulis. Disana hanya ada orang – orang yang duduk dan bergelut dengan kertas dan pena mereka. Mereka begitu serius. Sungguh membosankan pikir Steve. Dia pun segera berjalan menuju ruang selanjutnya, tapi ditahan oleh Jessi. “Katamu ingin tau siapa pasangan lembah hijau.” “Lalu?” “Mereka disana.” Ucap Jessi sambil menunjuk 2 orang yang sedang berkeliling di kelas. “Mereka?” tanya Steve memastikan. “Iya merekalah pasangan lembah hijau.” “Gimana caranya?” “Jelasin ba.” Ucap Jessi pada Albapante. “Mereka adalah orang pertama yang meminta hal itu padaku. Sungguh aku bingung saat itu. Aku meminta waktu pada mereka untuk berdiskusi dengan para dewa. Karena itu bukanlah kuasaku. Pada ahirnya para dewa memberikan ijin padaku untuk memberikan mereka kehiduoan abadi disini. Dengan syarat mereka membantu untuk mengajari orang – orang untuk menjadi lebih bermanfaat saat lahir kembali. Mereka yang ada disini adalah orang – orang yang pernah mengalami hal buruk dalam hidupnya. Trauma, pernah berbuat jahat, dan sebagainya. Mereka mengajukan untuk belajar lebih baik, sebelum ahirnya mereka teelahir kembali. Mereka sudah melakukan tugas mereka di dunia. Jiwa baru mereka pun sudah mereka dapatkan. Hanya saja mereka ingin memperbaiki nasib. Jadilah mereka disini. Memperbaiki diri dan keahlian mereka.” “Jadi? 2 orang pengajar itu yang membuat tempat belajar ini ada?” “Iya. Disinilah mereka hidup bahagia bersama. Tanpa ada sedikit keinginan untuk kembali terlahir.” “Saat mereka mengajukan itu, itu adalah kematian mereka yang keberapa?” “Kematian ketiga mereka.” “Apa alasan mereka tak ingin terlahir kembali?” “Mereka adalah 2 orang yang saling cinta. Tapi kisah cinta mereka selalu berjalan buruk. Ada saja halangan saat mereka akan bersama. Mereka lelah dengan kondisi itu. Maka mereka meminta hal itu padaku. Dan disinilah mereka. Sebelumnya tak pernah terpikirkan akan menjadi seperti ini. Tapi dengan begini, mereka yang bernasib buruk bisa merubah nasib mereka dikehidupan selanjutnya dengan belajar disini.” “Lantas mereka tak ingin terlahir kembali karena takut kejadian buruk menimpa percintaan mereka lagi?” “Betul. Mereka memilih untuk tinggal selamanya disini.” “Apa tidak ada konsekuensinya?” “Ada. Jelas ada. Semua perbuatan, semua pilihan, pasti akan ada konsekuensi yang harus diterima. Mereka memilih disinim maka inilah konsekuensinya. Mereka harus bertugas membantu yang lain. Dan juga tak bisa ke surga.” “Lalu kalau suatu saat mereka ingi ke surga? Bagaimana caranya?” “Tak bisa. Kelahiran mereka sudah di blok. Jadi sudah tidak bisa lahir kembali.” “Menurutmu, lebih baik disini atau di surga?” “Di surgalah. Disana keabadian milik semua penghuninya, tak ada beban, hanya menjalani dan mengalir. Semua tersedia, semua hanya tinggal menikmati saja. Tak perlu susah payah melakukan tugas seperti disini.” “Jadi setelah kematian ke 7 barulah bisa di tentukan kemana mereka selanjutnya. Surga atau neraka?” “Betul.” “Apakah di neraka itu menyeramkan?” “Aku tak tau. Aku belum pernag kesana. Dan tak ingin kesana. Tempat itu dijaga sangat ketat, tak bisa seenaknya kesana. Dan tak sembarangan pula yang bisa keluar dari sana.” “Ingin bertemu dengan mereka?” tawar Albapante pada Steve. “Ah ga usah. Mereka sepertinya sedang sibuk. Mari lanjut saja.” Jawabnya. Mereka melanjutkan perjalanan. Melihat beberapa ruangan lagi. Steve sudah puas dengan jawaban dari rasa penasarannya. Sementara Deril masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Mereka sampai diujung ruangan. Semua ruangan sudah mereka lihat satu persatu. Kemudian Albapante mengajak mereka untuk kembali ke ruang tamu. Duduk sambil menikmati hidangan. “Jess, kamu kok iseng banget sih.” Ucap steve memecahkan keheningan. “Aku sebel sama kamu. Bikin kerjaan jadi banyak aja keluyuran pas langit oranye. Dimakan buto mampus kamu.” Steve memanyunkan bibirnya. Deril masih diam, masih sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kamu tau, aku kira tadi tuh bakal disekap sama kalian berdua.” “Hahaha, Albapante ga doyan sama kalian. Dia punya Istri tau. Hahahaha.” “Istri? Mana?” tanya Steve penasaran. “Dia masih belum datang. Biasanya dia datang tiap langit ungu. Dan saat awan pertama muncul dia sudah harus pergi.” “Dia mengawal para jonggyo ke dunia nyata?” “Iya benar.” “Kok jadi bahas istriku. Hahaha.” “Kamu dibilang homo sama dia, siapa yang ga takut coba.” Ucap steve kesal. “Siapa suruh kalian gampang banget dibohongin. Hahaha.” Jessi lagi – lagi menertawakan kepolosan mereka. “Kalau anak dewa, apa bisa pergi dan tinggal di surga?” tanya Deril mengagetkan mereka semua. “Kenapa kamu tiba – tiba tanya itu?” sahut Albapante. “Bisa ga?” “Bisa. Sangat bisa, tapi itu tergantung pilihan mereka. Mereka hanya punya satu kesempatan hidup di dunia. Setelahnya terserah dia mau melanjutkan hidup dimana. Mereka para anak dewa yang ada disini ya karena mereka ingin disini. Yang ingin langsung ke surga ya bisa, tapi kalau kembali terlahir hidup. Itu yang susah dan tak pernah ada hal semacam itu terjadi.” Jessi terdiam, dia tau apa tujuan Deril bertanya demikian. Hubungannya dengan Deril memang lebih dari sekedar teman. Rasa mereka sama, tapi tak kuasa untuk saling mengungkapkan. Setelah pertanyaan itu terucap suasana menjadi canggung. Jessi tak lagi bersuara, apalahi deril. Dia merasa bersalah telah menanyakan hal itu, dihadapan jessi pula. “Wah kue ini enak sekali ya.” Ucap steve kemudian. “Iya dong, ini kan buatan para master disini.” Jawab albapante. Dia paham steve ingin mencairkan suasana. “Der, cobain deh. Ini enak seriusan. Jess cobain juga.” Deril dan Jessi sama – sama mengambil kue itu. Masih dengan diam yang sangat tidak menyenangkan. “Der, kita balik yuk. Dikit lagi langit pasti berganti. Kami pamit dulu. Terimakasih untuk semuanya.” Steve pamit dan segera menarik tangan Deril yang masih saja mematung dusuk disana. “Hati – hati.” Ucap Albapante pada mereka berdua. Keduanya sudah berada di luar rumah. “Kamu kenapa jadi pendiem gini sih Der.” Ucap steve. “Yang sudah ya sudah. 4 hari lagi loh. Yuk ah kita nikmatin.” Deril masih merasa bersalah atas pertanyaannya tadi. Steve terus saja mengajaknya berjalan menjauh dari rumah albapante. Langit sudah mulai berubah warna lagi. Sementara di dalam rumah Albapante Jessi tiba – tiba menangis. Alba paham apa yang dirasakannya, dia hanya memberi ruang untuk Jessi sendiri dulu sementara. Dia meninggalkan Jessi di ruang tamu sendirian. Dengan tangisnya yang pecah dan segala macam sesak didadanya. Jessi sangat ingin terus bersama dengan Deril. Tapi dia tak berniat untuk menahannya disini. Bahkan tak terbesit sedikitpun keinginan untuk mengatakan rasanya. Jessi larut dalam sedihnya sendiri. Isaknya begitu mengiris hati. Dibalik tirai, Albapante dan Lazardi hanya bisa mengamati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD