Karena tidak mendapatkan jawaban dari Lazardi, mereka pun pergi dengan wajah masam. Sesekali menoleh ke arah Lazardi, tapi dia tak melihat sedikitpun ke mereka.
“Steve gimana nih?”
“Ya gimana dong?”
“Yakin masih mau kesana dengan 2 hal saja?”
“Masih sih. Tapi, ya dicoba dulu deh.”
“Coba kamu bilang?”
“Ya mau gimana lagi? Emangnya ada cara lain?”
“Ya tapi ga dengan cara nekat kaya gitu.”
“Kan ada apel sama si pertiwi.”
“Aku kok jadi takut ya Steve.”
“Ga usah takutlah. Aku malah ngerasa ada yang ga bener kayanya.”
“Apanya yang ga bener?”
“Rumor yang beredar tentang Albapante.”
“Maksud kamu?”
“Ya soal dia homo itu.”
“Kok kamu bisa yakin gitu?”
“Soalnya sikap Lazardi tadi aneh.”
“Aneh? Menurutku dia ga aneh tadi.”
“Masak kamu ga curiga pas kita tanya dan dia malah nunjukin kalo dia ga suka.”
“Iya kayanya emang dia risih tadi.”
“Itu bukan risih. Itu ungkapan ga suka. Dia merasa ga suka sama kita yang nanya – nanya soal Albapante.”
“Jadi?”
“Aku sih mikirnya, rumor itu ga bener. Kalo bener, masak si Lazardi mau lama – lama bareng dia?”
“Ya kalo gitu, tapi kalo ternyata dia malah pacaran sama Albapante gimana?”
“Eh, kok gitu?”
“Ya sapa juga yang mau deket – deket dia. Penyihir homo.”
“Bener juga ya.”
“Masih mau lanjut kesana ga?”
“Masih dong.”
“Dasar arwah gila kamu Steve.”
“Kamu lebih gila dong.”
“Kok gitu?”
“Kamu arwah yang mau temenan sama arwah gila. Ya lebih gila kamu dong.”
“Bisa aja kalo ngeles.”
“Hahaha.”
Steve tertawa puas, karena dia sudah membuat Deril sebal. Mereka berjalan menuju kamar. Sebentar lagi langit akan berubah menjadi abu – abu. Jam tidur sudah dekat.
Langit biru menyapa. Hari baru sudah tiba. Pagi yang indah. Bunga – bunga mekar dengan indahnya. Dengan jajaran warna pelangi. Angka di lengan kiri mereka bertambah lagi. Kini dilengan Steve sudah bertuliskan angka 9. Sedangkan Deril sudah bertambah menjadi 36.
Hari pengumuman Deril semakin dekat. Ada rasa dirinya ingin tetap tinggal di Lembah hijau. Tapi juga ingin lahir kembali. Seandainya saja, Jessi bisa lahir kembali sepertinya. Sayang, keturunan Dewa hanya bisa hidup sekali. Setelahnya mereka akan mengabdi di lembah hijau. Selamanya.
Steve dan Deril bersiap menuju rumah pohon Jessi. Hari masih pagi. Penghuni kebanyakan masih diam dikamarnya masing – masing. Mereka berjalan menyurusi jalan setapak dengan sesekali melirik kanan kiri dan juga menoleh kebelakang. Takut bilamana ada yang mengikuti mereka.
Deril melemparkan batu kecil ke jendela rumah pohon Jessi. Jessi mengintip dan memberi isyarat agar mereka segera masuk. Mereka memanjat tangga cepat – cepat.
“Mana Pertiwi?” tanya Steve.
“Tuh di kandangnya.”
“Kamu yakin gatau apa – apa lagi soal Albapante?” Tanya Deril menyelidik.
“Suwer aku gatau apa – apa lagi. Oh iya, bawa tali lehernya pertiwi ya. Biar dia keliling jalan – jalan. Uda lama dia ga turun.”
“Oke.” Sahut steve.
“Steve, mana tongkatnya?” tanya Deril.
“Ya ampun. Lupa. Masih di lemari.” Ucap steve sambil menepuk jidatnya.
“Aku balik ke kamar dulu ya. Kalian jangan berantem. Tapi jangan pacaran juga.”
Steve berlalu. Dia cepat – cepat turun. Dia berlari secepat mungkin menuju kamar. Sementara kedua orang itu masih saling diam. Saling canggung.
“Kamu kenapa nyuruh Steve buat balikin tongkat itu sih?”
“Ya kan dia yang minta. Soal buku bakal aku jelasin semua kalo urusan ini sudah beres.”
“Kamu yakin kalo Albapante ga bakal nyihir kami?”
“Yakin.”
“Kenapa bisa yakin?”
“Ya karena itu sudab peraturan.”
“Terus kenapa ke kamu dia boleg nyihir?”
“Karena aku uda buat salah sama dia. Aku telat balikin tongkatnya.”
“Jadi kalo aku buat salah, dia boleh sihir aku gitu?”
“Engga kok. Udah tenang aja.”
“Tenang tenang. Tapi sendirinya ga mau balikin. Ga mau ketemu orangnya. Takut. Tapi nyuruh – nyuruh orang lain buat ketemu dia. Tega.”
“Percaya sama aku. Dia ga bakal nyihir kamu.”
“Tapi dia homo? Kalo aku diapa – apain gimana?”
“Kamu merasa ganteng?”
“Ya jelas dong.”
“Mau aku pinjemin kaca?”
“Terus aja ngeledek. Terus aja. Lanjut terus.” Deril kesal bukan main. Sedangkan Jessi tertawa ngikik.
Dengan nafas masih tersengal – sengal. Steve segera selonjoran dilantai.
“Minta minum dong.” Ucapnya.
Jessi mengambilkannya minum. Steve segera meneguk habis minuman itu.
“Haduh, rasanya hampir copot ini kaki buat lari – lari. Uda mati tetep aja capek ya kalo lari.”
“Kalian tuh disini hidup. Bukan mati.” Ucap jessi.
“Hah maksudnya?” Deril menyela.
“Kaliam disini tuh hidup. Bukan mati. Mati tuh proses aja arwah kalian pergi dari jasad. Aku tegasin sekali lagi. Kalian itu hidup. Bisa capek, laper, ngantuk, kesel, sebel, bahkan jatuh cinta. Ingat kan soal buku kemaren.”
“Oh bener juga ya.” Jawab steve.
“Aku bakal ceritain semuanya. Kalo kamu berhasil ngembaliin tongkatnya.”
“Pasti berhasil dong. Kan ada Deril.”
“Maksudnya apa nih? Kok aku?”
“Sudah kalian cepat pergi. Aku harus segera berkumpul di kereta.” Ucap Jessi.
Jalan setapak menuju rumah Albapante begitu bersih. Beda dengan jalan menuju Ibu dan ayah pohon. Jalanan itu bersih, bahkan rumput disela bebatuan saja tidak ada. Jalan itu jelas sangat terawat dan sering dilewati. Bebatuan tertata rapi nyaris tanpa cela.
“Eh Steve. Kita belum ambil apel.”
“Benar Der. Hampir saja lupa.”
“Lewat sini.” Deril mengajak Steve segera memotong jalan. Mereka tak lagi melewati jalan setapak. Melainkan rerumputan.
“Harusnya tadi kita belok ke kiri ya Der. Malah kita nyelonong aja ke kanan cepet – cepet pingin nyampe disana.”
“Hahaha, gara – gara kamu nih.”
“Apa?”
“Aku jadi ikutan gila.”
“Hahahaha.”
“Gara – gara kamu juga aku ada harapan.”
“Harapan apa?”
“Harapanlah pokoknya.”
“Kamu mau tinggal disini biar bisa sama si Jessi ya?”
Harapan Deril sungguh mudah ditebak. Sekarang dia gelagapan. Mau mengelak pun percuma. Binar cinta itu memang ada diantara mereka. Deril hanya mengangguk. Sembur merah muncul lagi diwajahnya. Kali ini dia benar – benar seperti tomat siap petik.
Langkah kaki mereka berhenti. Mereka memandang sekeliling. Kemana Ibu dan Ayah pohon. Mereka tidak ada dipagar selatan. Derik dan Steve mulai cemas. Mereka mencari Alfa si anak batu. Tapi mereka tidak ada. Gusar sudah hati mereka. Pertiwi mulai rewel. Steve segera menggendongnya. Mengelus lembut bulunya.
Meong. Pertiwi bersuara. Sedetik kemudian terdengar suara krusuk – krusuk dibalik rimbunnya semak. Steve dan Deril segera waspada. Lembah hijau dengan segala misteri dan rahasianya. Mereka diam tapi mengambil ancang – ancang. Ancang – ancang langkah seribu alias lari.
“Baaaaaaa.” Tiba – tiba terdengar suara yang mengagetkan mereka. Keduanya lari terbirit – b***t.
“Hahahahaha. Kenapa ya mereka? Kok langsung lari.” Ucap Alfa.
“Kamu sih, kan mereka jadi kaget fa.”
“Eh masak sih gara – gara aku tadi.” Ucapnya sambil garuk kepala.
Kemudian Alfa mengambil sebuah batu dan membisikan sesuatu padanya.
“Suruh mereka balik.”
Kemudian batu itu menggelinding. Menyusuri bekas kaki Steve dan Deril. Stev dan Deril masih saja berlari tak tentu arah. Tapi batu kecil itu lebih cepat daripada lari keduanya
Setelah bisikan dari Alfa, secara otomatis batu kecil itu langsung bertuliskan
“Balik. Ini aku. Alfa.”
Batu itu tiba – toba melayang dihapan mereka. Hingga membuat mereka berhenti berlari. Sedetik kemudian batu itu terbang menuju kepala Steve.
Tuk.
Batu itu mendarat di jidat Steve.
“Aduh.” Ucapnya.
Lalu dia memungut batu itu dan melihatnya. Dia membaca tulisannya dan segera berbalik.
“Ayo der.” Ucapnya sambil menggandeng tangan Deril.
“Kemana? Serem tau.”
“Baca ini.”
“Oalah. Bocah itu sengaja ngerjain kita nih Steve.”
“Minta jitak emang kayanya nih.”
“Tapi jangan sekarang, kita maaih butuh apel dari mereka. Hehehe.”
“Iya kamu bener der.”
Mereka berjalan balik. Alfa cengengesan melihat wajah manyun kedua teman barunya itu.
“Kalian takut ya. Hahahaha”
“Engga. Cuma kaget aja.” Jawab Stve mengelak.
“Ibu pohon. Kami butuh apelnya sekarang. Boleh?” lanjutnya.
“Iya boleh.” Ibu pohon pun mengambilkan beberapa apel dan memberikan pada mereka.
“Terimakasih ibu pohon.” Ucap Steve dan Deril bersamaan.
“Kami balik dulu. Ada urusan yang harus segera diselesaikan.”
“Hati – hati.”
“Dan kamu alfa, awas ya.” Bisik Deril pada alfa, kemudian pergi bersama Steve.
Rumah Albapante.
Rumah itu begitu megah. Besar dengan gaya klasik. Bercat coklat muda dan emas. Tiang – tiang tinggi bercorak marmer begitu kokoh menjulang diteras rumahnya. Ada taman kecil di audut sebelah kiri dan kolam ikan di sudut sebelah kanan. Rumah itu terlihat sepi.
Mereka membuka pagar dengan hati – hati. Tak ada penjaga disana. Mereka langsung menerobos masuk menuju pintu utama.
Tok. Tok. Tok.
Pintu rumah Albapante diketuk oleh Steve. Dengan keringat dingin yang dia rasakan membuatnya kian gugup. Deril pun sama, karena gugup dia pun meremas – remas jemarinya. Tak lama pintu itu terbuka. Dan ada wajah yang tak asing dilihat oleh mereka. Lazardi.
“Ada perlu apa kalian kesini?”
“Kami ingin bertemu Albapante untuk mengembalikan barang miliknya.” Jawab steve.
“Oh, silahkan masuk. Tunggu disana.” Ucapnya sambil menunjuk ke arah kursi kayu yang terlihat sangat estetik.
“Baik, terima kasih.” Jawab steve.
Mereka menuju kursi itu. Deril masih membisu. Ketakutannya berlipat ganda setelah dia masuk rumah Albapante. Ditengah ketakutannya, tiba – tiba ada beberapa anak kecil berlarian dari dalam rumah menuju luar. Mereka kaget. Anak – anak? Mereka saling berpandangan. Seakan saling bertanya, siapa mereka?
Albapante pun datang menemui mereka. Sosok tinggi besar dengan jambang tipis diwajahnya. Rambutnya berwarna keperakan. Badannya begitu kekar dan tegap. Tak heran jika rumor homo menyelimutinya. Ciri – ciri itu memang menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka.
“Ada perlu apa kalian kesini?” ucapnya lembut.
Membuat Steve dan Deril kaget untuk kesekian kalinya.
“Anu. Kami mau.”
“Anu apa?”
“Itu, kami mau.”
“Itu apa? Kok kalian gugup begitu? Di, ttolong buatkan jamuan utuk mereka.”
“Siap.” Lazardi segera berlalu. Kini tinggalah mereka bertiga di ruang tamu.
Deril masih saja meremas jemarinya, sedangkan Steve berusaha merangkai kata yang tepat untuk berbicara dengannya.
“Kami bawa oleh – oleh untuk kamu.” Katanya sambil menyodorkan apel pemberian ibu pohon.
“Wah banyak sekali. Biasanya Miranda hanya memberiku satu buah. Kalian bisa dapat sebanyak ini, gimana caranya?”
“Miranda siapa?”
“Oh, itu wanita berwujud pohon.”
“Ooooh, ibu pohon itu namanya Miranda? Aku langsung minta aja sih tadi.”
“Hah? Cuma minta aja? Ga ada syaratnya?”
“Iya benar.”
“Sama aku dia pelit sekali. Huh.” Keluhnya.
“Dan juga, kami ingin mengembalikan barang milikmu.”
“Barang milikku?”
“Iya.”
Albapante melirik ke arah pertiwi. Pertiwi pun mengeong. Kemudian dia mendekatinya dan menggendongnya. Pertiwi pun menurut saja, seolah sudah lama akrab dengannya. Mereka terbelalak melihat kejadian itu. Padahal kurcaci pink jelas mengatakan bahwa Albapante tidak suka kucing. Apa jangan – jangan dia bisa membaca pikiran mereka? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Steve dan Deril. Kemudian Albapante tersenyum.
“Kamu disuruh Jessi ya kesini?”
“I.. iya benar.” Jawab steve.
“Mana barangnya?”
“Ini.” Steve menyerahkan bungkusan yang berisi tongkat Albapante di dalamnya.
“Di, bawa sajiannya kesini. Lalu letakkan barang ini di tempatnya.”
Lazardi pun datang dengan segala macam makanan dan minuman di rak yang dia bawa. Ada biskuit coklat, marsmallow, buah segar dan berbagai minuman. Tatapan matanya menunjukkan ketak sukaanya pada mereka berdua. Seakan berkata “aku kan udah bilang, tinggal dateng dan kembaliin.”.
“Silahkan diicipi. Ini buatan kami sendiri loh.”
“Kalian bikin sendiri?” Steve balik bertanya.
“Iya, disini kami melatih orang – orang yang mau belajar apa saja.”
“Maksdunya?”
“Ya kalau misalkan kalian mau belajar masak, ada para koki yang siap mengajari, belajar menjahit juga ada, banyak deh. Mau lihat?”
Deril menunjukkan wajah bingungnya, dia masih tak berani bersuara.
“Mau.” Ucap Steve kemudian.
Albapante mengajaknya masuk lebih dalam, ruangan – ruangan disana begitu mewah. Mereka melewati lorong panjang, lalu belok ke kanan menuju pintu yang terbuat dari kayu.
“Steve kamu yakin?”
“Apanya?”
“Kalo dia jebak kita gimana?”
“Tenang, jangan keras – keras bicaranya nanti dia denger.”
“Ya kamu aneh – aneh aja, mau – mau aja diajak masuk. Kalo nanti kita malah dikurung gimana. Cuma tinggal 4 hari aku disini Steve.”
“Ssst, uda diem ah. Kita lihat aja, dia bohong apa engga. Seengganya kurcaci pink kan t*i kita disini. Kalo sampe kita ga balik. Ya jelas dia pasti jemput kita lah.”
“Benar juga ya.”
“Makanya tenang aja. Ga usah mikir aneh – aneh. Ga enak kalo dia denger.”
Mereka menghentikan percakapan itu. Albapante membuka pintu kayu hanya dengan sekali dorong. Benar – benar penyihir yang kuat.
“Ini adalah halaman belakang rumahku. Disana banyak ruangan – ruangan yang bisa kalian lihat. Kalo kalian tertarik, bisa kok kalian ikut belajar dengan mereka.”
“Maaf sebelumnya. Tapi mereka itu siapa ya?”
“Mereka adalah orang – orang yang sedang mempersiapkan diri.”
“Maksudnya gimana?”
“Mereka adalah orang yang tidak mampu atau bahkan tidak mau lahir kembali didunia.”
“Karena?”
“Ya karena mereka merasa begitu.”
“Jadi orang – orang disana adalah orang yang sudah lebih 40 hari disini?”
“Iya. Bahkan mereka yang sudah betah, merasa tidak perlu lagi lahir di dunia. Karena disini sudah cukup bagi mereka.”
“Apakah ini surga?”
“Oh tentu bukan.”
“Lalu mereka yang tak terlahir kembali, apakah selamanya akan disini?”
“Iya. Mereka akan disini sampai mereka benar – benar ingin pergi.”
“Apakah nanti setelah aku lahir kembali, lalu mati, aku kembali kesini?”
“Tentu. Tapi dengan ingatan yang berbeda.”
“Kapan orang yang telah mati bisa ke surga?”
“Setelah melewati 7 kelahiran kembali.”
“7 kelahiran? Lalu aku, sudah berapa kali kelahiran?”
“Ya kamu harus cek. Coba tanyakan sama Jessi. Dia tau semuanya.”
“Jessi?” kali ini Deril yang bersuara.
“Iya Jessi, si kurcaci pink itu.”
“Bagaimana dia bisa tau semua ini? Bukannya kalian musuhan?” lanjutnya.
“Hahaha, sepertinya Jessi menipu kalian.”
“Maksud kamu?”
“Jessi dan aku berteman baik. Kami disini semua berteman baik. Pantas saja wajah kakian tegang sedari tadi.”
“Tapi rumor itu? Terus waktu itu kurcaci pink bilang kalau....” Steve memberanikan diri bertanya namun memgurungkan niatnya.
“Hei, sudah ngembalikan tongkatnya?” Kurcaci pink kini sudah berada diantara mereka.
“Kok kamu disini?” Deril merasa bingung.
Semuanya aneh baginya dan Steve. Jessi yang tiba – tiba hadir. Sementara sebelumnya dia ketakutan untuk mengembalikan tongkat milik Albapante. Lalu rumor – rumor yang dia beritahu sendiri. Tentang dia penyuka sesama lelaki, tetang dia ga suka kucing, dan tentang orang – orang yang tak kembali pulang setelah masuk di rumah Albapante. Semunya membingungkan. Sekarang Jessi dan Albapante saling tersenyum puas. Apa yang mereka sembunyikan? Apakah ini jebakan dari mereka. Steve dan Deril merasa tertipu dan tak berdaya.