Menghitung Hari

1327 Words
Langit pun sudah berubah menjadi ungu. Steve segera keluar dari persembunyiannya. Dia mengikuti petunjuk para kurcaci untuk mengikuti jalan setapak. Sampailah dia di kantin. Kantin sudah mulai penuh, para penghuni sedang menikmati makanannya masing – masing. Steve mengedarkan pandangannya, mencari sosok Deril yang sedari tadi dicarinya.  Steve ahirnya menemukan Deril. Dia sedang duduk dimeja paling pojok. Dekat showcase berisi berbagai minuman. Kebetulan sekali Steve begitu haus setelah mengalami kejadian yang begitu menegangkan. Sambil membawa nampan makannya, dia berjalan menuju tempat Deril. “Kemana aja kamu, aku nyari kemana – mana ga ketemu.” Ucap Steve kesal. Tapi tak kunjung ada jawaban dari Deril. Steve menepuk pundaknya. Dia menoleh dengan wajah yang begitu murung. Steve tidak jadi kesal, melihat wajah temannya dia merasa ada yang tidak beres. “Kenapa?” “Aku dapat bocoran.” “Bocoran?” “Masih belum pasti sih, tapi persentase kepastiannya sangat besar.” “Apaan sih, jadi bingung aku.” “Kata kurcaci pink aku bakal ditugasin jadi peri hutan.” “Enak dong, kan katamu kamu suka naik gunung?” “Ya bedalah, tugas peri hutan tuh kamu harus dengerin segala macam curhatan para tumbuhan. Bisa gila aku ngomong sama pohon.” “Hahahahaha.” Steve tertawa mendengar penjelasan temannya itu.   “Kurang 6 hari lagi hari pengumuman buatku.” “Ah aku sampe lupa. Benar juga ya. Aku sudah diangka 7, berarti sudah 4 hari disini. Dan waktumu berkurang 4 hari, sisa 6 hari.” Kemudian Steve menangis sambil menghentak – hentakkan kakinya, seperti anak TK tantrum minta permen ga dibeliin. Semua mata tertuju pada Steve dan Deril. Deril yang kebingungan dan malu menjadi pusat perhatian menjadi kesal, lalu dia pun menyiramkan sebotol minuman kopi pada Steve. Steve yang kelabakan langsung terdiam dan melirik sinis pada Deril.  “Kesurupan kamu?” Ucap Deril kesal. “Kan aku sedih kamu mau bertugas.” “Halah lebay. Toh nanti kita juga bisa ketemu lagi.” “Eh serius? Kalo uda bertugas pun kita masih bisa bertemu?” “Iya, aku juga sedang persiapan ini. Nyiapin mental buat ngobrol sama taneman.” Steve menahan tawa, karena tak ingin mendapatkan siraman kopi untuk kedua kali.  “Kalo kamu uda bertugas, aku disini sama siapa dong.” “Tenang aja.” Ucap Deril sambil tersenyum penuh misteri. Steve merasakan firasat yang begitu buruk, sampai bulu kuduknya meremang. “Mencurigakan.” Sahutnya kemudian. “Kok kamu tadi pas jam masuk kamar ga ada? Kemana?” “Tadi tuh aku.” Steve kemudian ingat akan perintah kurcaci untuk tidak menceritakan kejadian tadi. “Eh engga, tadi di perpus. Ini minjem ini.” Katanya sambil menunjukkan buku jodoh lembah hijau. “Buku apaan kok judulnya aneh.” “Aku udah baca semua isinya. Nanti aku ceritain.” Mereka membereskan piring kotor dan meletakan di meja sudut. Dijalan menuju kamar para kurcaci berpapasan dengan mereka. Salah seorang kurcaci menatap sinis pada Steve, namun Steve hanya menunduk sambil berharap tak bertemu mereka lagi. Dikamar. Steve dengan berapi – api menceritakan tentang isi buku tersebut. Deril mengamati dengan ngemil kacang.   “Jadi aku tuh penasaran. Siapa pasangan tersebut.” “Coba liat bukunya.” Steve menyerahkan buku pada Deril. Deril membuka halaman paling ahir pada buku itu. Dan melihat siapa penulisnya. Benar dugaan Deril, kurcaci pink memang sangat berbakat. Penulisnya kurcaci pink. “Kok kamu senyum – senyum sendiri?” “Nanti ku ajak kamu ketemu penulisnya.” “Siapa?” “Rahasia.” “Kira – kira siapa ya pasangan itu?” “Meneketehe.” Langit berubah menjadi warna biru. Hari baru dimulai. Berkurang lagi sehari waktu mereka di Lembah hijau. Langit biru itu sama dengan pagi hari di dunia nyata. Biasanya para calon janggyo (peri dan malaikat) yang akan segera bertugas akan diberi pelatihan sehari. Mereka akan berangkat tepat setelah awan putih pertama muncul. Dengan mengendarai kereta invisible bernama de-compound. Setiap gerbong berbeda – beda tugasnya. Pagi itu begitu sibuk, para jonggyo lebih banyak dari biasanya. Hingga membutuhkan gerbong lebih banyak. Para kurcaci mondar – mandir disela kaki para jonggyo. Sesekali mereka terbirit – b***t karena hampir terinjak.  Steve masih mengunyah kacang yang dia bawa, sementara Deril celingukan mencari kurcaci pink. Sebelum awan putih pertama muncul, rasanya tidak mungkin untuk menemui kurcaci pink. Bisa – bisa dia ngamuk dan meninju Deril dengan 2 tangan. Bakal jadi keripik si Deril kalau hal itu sampai terjadi. Deril masih saja celingukan, para kurcaci kini berbaris disepanjang garis putih sebelah kiri kereta. Kereta sudah penuh, barang – barang sudah dinaikkan. Tinggal menunggu waktu saja kereta itu berangkat. Sekilas Deril mengintip pada gerbong yang bertuliskan “peri hutan”. Di gerbong itu dia melihat lebih banyak para wanita ketimbang pria. Pikiran Deril melayang membayangkan jika dia benar menjadi peri hutan. “Ah betapa susahnya tugas itu, mendingan aku jadi peri benang aja.” Batin Deril. Kemudian dia melirik kedalam gerbong peri benang. Disana banyak pria – pria gagah dan gadis – gadis cantik. “Kalo aku punya partner kaya mereka, semua tugas bakal selesai dengan cepat.” Batinnya lagi. Steve masih saja mengunyah kacangnya. Tiba saat dimana awan putih pertama muncul. Bertepatan dengan suara bel yang tertiup uap panas. Kereta itu berjalan melewati sebuah lawang. Gerbong demi gerbong akan tak terlihat setelah melewati lawang tersebut. Wajah kurcaci pink tiba – tiba cemberut melihat Deril dadah – dadah ke arahnya. Deril dan kurcaci pink memang cukup dekat. Beberapa kali Deril mendapatkan informasi darinya. Salah satunya tentang tugasnya nanti. Deril masih saja merayu kurcaci pink agar mengganti tugasnya. Namun kurcaci pink selalu menolak. Deril segera menarik lengan Steve untuk menemui kurcaci pink. “Tunggu.” Ucapnya. Kurcaci pink berhenti dan menoleh. “Apa lagi sekarang?” ucapnya kesal. “Ga boleh marah – marah nanti cepet tua.” “Aku ga bakal tua kayak kamu.” “Ah iya. Anu mau minta tolong.” “Males.” “Ayolah.” Ucap Deril sambil menunjukkan buku yang dibawanya. Kurcaci pink langsung melotot dan merebut buku tersebut. “Ayo ke rumah pohon.” Deril dan Steve mengikuti langkah kurcaci pink. Ingin sekali Steve menggendongnya agar cepat sampai. Tapi dia tak berani, dia masih berhutang budi pada para kurcaci. Rumah pohon itu tidak begitu besar. Ada tangga sehingga mudah untuk naik kesana. Ada beberapa jendela terbuka, dan beberapa sarang burung disekitarnya. Rumah pohon itu terbuat dari kayu yang sangat kokoh. Warnanya dibiarkan begitu saja tanpa dicat. Sehingga guratan – guratan serat kayu dan warna aslinya terlihat begitu estetik.  Kurcaci pink mempersilahkan mereka masuk. Steve dan Deril duduk disebuah karpet bulu yang sangat empuk. Steve memandang keluar jendela. Dia melihat pemandangan yang sangat indah. Padahal dia menaiki beberapa anak tangga saja tadi. Tapi kini dia seakan berada dipuncak gedung tertinggi. “Mau minta tolong apalagi.” Ucap kurcaci pink sambil membawa nampan berisi minuman dan camilan. Steve menoleh dan sedetik kemudian dia terkejut. Suara itu berasal dari gadis yang sangat cantik. Rambutnya lurus, panjang dan berwarna coklat. Tubuhnya tinggi dan langsing. Putih mulus dengan merah dipipi. Deril yang menyadari bahwa temannya sedang melongo langsung menepuk pundaknya dan berbisik. “Cantik kan.” “Iya.” “Jadi mau ditolongin ga nih?”  “Eh iya, mau nanya soal.buku tadi.” “Kenapa?” “Siapa mereka?” “Rahasia.” “Ayolah kasih tau. Aku penasaran nih.” “Ga bakal aku kasih tau.” “Ayolah.” Wajah Deril dan Steve memelas. “Iya iya oke. Tapi ada syaratnya.” “Apa?” ucap Deril dan Steve serempak. Kurcaci pink tersenyum penuh kemenangan. Dia berjalan ke rak bukunya mencari sesuatu. Lama dia mencarinya tapi tidak ketemu. “Kalian bantu cari dong.” Ucapnya kesal. “Lah barangnya apa kami ga tau.” Sahut Deril. “Tongkat. Panjangnya 30cm an. Semacam ranting pohon lah bentuknya. Warnanya emas. Gih bantu cari.” “Oke.” Hawab Steve dan Deril bersamaan. Mereka mencari keberbagai tempat. Tumpukan benang, tumpukan buku, panci, laci, kasur, westafel dan berbagai celah kecil diantara lemari. Pada ahirnya Steve hanya duduk dan memindah – mindahkan barang disekitarnya seolah sedang mencari. Sedangkan Deril memilih pergi ke kamar mandi karena sudah kebelet. Kurcaci pink masih mencari dengan serius. Sedari tadi dia mencarinya masih juga ga ketemu.  “Aduh kok aku lupa sih naruhnya dimana.” Ucapnya kesal. “Terahir kamu taruh mana emang?” “Lupa.” “Yaiyalah ga ketemu – ketemu. Ga jelas gitu naruhnya dimana. Diinget – inget dululah sebelum mencari. Cuma dapet capek kalo gini sih.” Kurcaci pink cemberut. Kesal dan jengkel sekali dengan Steve. Padahal dia yang minta tolong, kenapa dia yang sewot. Kurcaci pink pindah ke kamarnya. Dia mencarinya sendirian. Sudah capek denger omelan Steve di ruang tamunya. Ditinggalkannya Steve sendirian disana. Deril yang baru saja keluar dari kamar mandi mengintip kedalam kamar kurcaci pink. Karena dia mendengar barang – barang yang dilempar. Dia khawatir kalau saja Steve dan Kurcaci pink bertengkar. Tapi ternyata kurcaci pink hanya sendirian di dalam kamarnya. Deril pun memutuskan untuk masuk dan menemuinya. “Belum ketemu?” “Belum.” “Semangat ya.” Ucap Deril sambil rebahan di kasur kurcaci pink. “Heh enak aja rebahan disana. Bantuin.” “Iya bawel.”  Deril membantunya mencari tongkat itu. Tapi bukannya malah mencari, Deril hanya menggeser – geser barang sambil memandang kurcaci pink. Ada sembur merah yang tiba – tiba muncul dipipinya. Tangannya menghangat. Kurcaci pink yang merasa curiga pun menoleh. Dan melihat Deril kelabakan pura – pura mencari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD