Hari Steve dimulai dengan kesedihan. Dia merasa begitu kehilangan sosok teman yang selama ini menemaninya. Deril sudah begitu akrab dengannya dalam beberapa hari saja. Hari ini Steve memutuskan untuk menemui Jessi. Dia ingin berbagi kekosongan dengannya. Steve berjalan menuju rumah pohon Jessi. Tinggal beberapa langkah saja dia sampai di rumah Jessi, namun Lazardi menghentikan langkahnya.
“Mau kemana?”
“Jessi.”
“Oooh, kamu ga latihan masak lagi?”
“Nanti sajalah.”
“Ayolah, kita berangkat bareng ke sana.”
“Yaudah deh, ayuk kita belajar masak lagi.”
“Kami suntuk ya?”
“Merasa ada yang kurang saja sih.”
“Steve, harusnya kamu tetap melangkah. Deril pun begitu. Dia mengambil langkah untuk bertugas dan melanjutkan hidpnya. Kamu lun seharusnya juga begitu. Ambil langkah yang menurutmu tepat.”
“Iya, aku pingin ketemu Jessi juga buat saling menguatkan.”
“Menurutku, sebaiknya kamu ga usah ketemu Jessi.”
“Kenapa?”
“Karena Jessi adalah orang yang paling sedih, paling terpukul dan paling sakit atas apa yang terjadi. Kalau kamu ketemu dia, bisa jadi kamu malah menorehkan luka padanya. Dia pasti juga ingin melangkah maju. Menjalani hidupnya dengan baik.”
“Kamu benar sih zar. Seharusnya aku ga ketemu dia ya. Dia pasti sangat kesepian sekarang.”
“Benar. Biar dia sembuhkan dulu lukanya. Biar dia terbiasa dulu tanpa Deril. Ya biar dia melangkah dulu deh.”
“Yaudah deh, aku ga bertemu dia dulu. Aku juga mau fokus belajar masak.”
“Nah gitu dong semangat.”
***
Pesawat Alpha telah membawa para jonggyo sampai di dunia nyata. Pesawat itu mendarat di landasan pesawat sebelah barat blue house. Para jonggyo satu - persatu keluar dari pesawat. Mereka langsung mengurus adminiatrasi dan menyerahkan surat kontrak mereka. Setelahnya mereka akan mencari tempat tinggal. Rumah yang akan mereka tempati selama bertugas.
Deril segera mencari tempat yang cocok untuknya dan untuk Steve. Dia berusaha mencari rumah dipinggiran kota. Karena Steve sudah meminta untuk mencari tempat yang nyaman dan ga berisik. Deril berjalan keluar dari hutan blue house. Dihampirinya halte bus yang kemarin dia lihat. Dia duduk disana menunggu bis datang. Ada beberapa jonggyo lain yang juga menunggu bis disana.
“Mau nyari rumah tinggal ya?” tanya seseorang itu.
“Iya, kamu juga?”
“Iya. Kenalin, namaku Pohan. Biasa dipanggil poh. Kalau kamu siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Aku Deril.”
“Kamu bertugas sebagai apa?”
“Peri hutan. Kamu?”
“Peri benang.”
“Ooooh, kamu mau nyari rumah tinggal dimana?”
“Entahlah. Masih nunggu teman.”
“Teman?”
“Iya.”
“Kamu punya teman di dunia nyata? Manusia?”
“Bukanlah. Ya jonggyo juga. Dia sudah beberapa hari bertugas disini. Dia bilang akan menjemputku disini.”
“Ooooh. Ku kira manusia. Hehe.”
“Ya nantilah kita cari teman manusia. Mengingat masa lalu. Hahaha.”
Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di depan mereka. Ada seorang wanita dibalik kemudinya. Cantik dan menawan. Terlihat sangat anggun dan menggoda.
“Hai poh.” Sapanya.
“Hai zas.”
“Dia siapa?”
“Dia Deril. Mau kenalan?”
“Boleh.” Wanita itu keluar dari mobilnya.
Wanita itu memakai baju dan celana berwarna putih. Senada dengan warna mobilnya. Rambutnya dikuncir kuda dengan poni diatas alisnya. Bibirnya merah, pipinya merona, serta kulitnya putih bersih. Bentuk badannya sungguh idaman para pria. Tinggi dan montok, bukan gendut ya.
Wanita itu mendekati Deril.
“Hai. Aku Zasma.”
“Deril.” Jawab Deril singkat.
“Kamu temannya poh?”
“Bukan.”
“Bukan zas, baru aja kenalan disini pas aku nunggu kamu.”
“Oooh. Mau nyari rumah kan? Gimana kalau barengan aja?”
“Ah makasih. Aku cari sendiri saja. Soalnya aku sudah janjian sama temanku buat tinggal sama – sama nanti kalau dia sudah bertugas.”
“Oh begitu. Kamu mau nyari di daerah mana emangnya? Hayuk aku antar sekalian.”
“Ga usah, ngerepotin kamu nanti.”
“Enggak kok. Gapapa kan poh?”
“Gapapa kok Der. Ayuklah ikut. Zasma baik kok orangnya. Ga bakal diapa – apain.”
“Takut ngerepotin. Aku nunggu bis aja gapapa.”
“Bener nih? Ga nyesel?” goda Zasma.
“Iya gapapa. Kalian duluan aja. Aku naik bis. Sekalian mau adaptasi.”
“Baiklah. Pendirian yang bagus.” Ucap Zasma sambil mencolek lengan Deril.
Poh tertawa melihatnya.
“Jangan dicolek. Nanti jatuh cinta loh.” Ledeknya.
Deril hanya tersenyum. Poh dan Zasma melambaikan tangan, saat mobil yang mereka naiki mulai melaju. Deril masih disana sendirian menunggu bis datang. Dikejauhan dia melihat seorang gadis yang familiar dimatanya. Gadis itu bersama dengan temannya. Mereka duduk disebrang Deril. Tapi Deril tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Saat gadis itu menoleh, sebuah bis darang dan berhenti tepat di depan Deril. Deril segera naik dan mencari tempat duduk yang bisa melihat ke arah gadis – gadis tadi.
“Loh kemana mereka?” ucap Deril keheranan. Kedua gadis itu sudah tidak ada di tempat mereka duduk. Bis pun melaju. Deril mengambil hape yang dia dapatkan dari blue house. Memasangkan ear phone dan menyetel lagu – lagu kesuakaannya semasa dulu. Dia mengenang masanya, masa dimana dia melewati hari – hari bahagia dengan adiknya. Saat lagu berganti,
“Jujur saja ku tak mampu. Hilangkan wajahmu di hatiku. Meski malam mengganggu. Hilangkan senyummu di mataku. Ku sadari aku cinta padamu.
Meski ku bukan yang pertama di hatimu. Tapi cintaku terbaik untukmu. Meski ku bukan bintang di langit. Tapi cintaku yang terbaik.
Jujur saja ku tak mampu. Tuk pergi menjauh darimu. Meski hatiku ragu Kau yak di sampingku setiap waktu. Ku sadari aku cinta padamu.
Meski ku bukan yang pertama di hatimu. Tapi cintaku terbaik untukmu. Meski ku bukan bintang di langit. Tapi cintaku yang terbaik.
Oh, meski ku bukan yang pertama di hatimu. Tapi cintaku terbaik untukmu. Meski ku bukan bintang di langit. Tapi cintaku yang terbaik.”
Tiba – tiba suasana hatinya berubah. Lagu itu mengingatkannya pada orang yang dia cintai. Seorang wanita yang kini entah dimana keberadaannya. Cinta kasih yang dijalinnya berahir tragis. Gadis yang sangat dicintainya selingkuh. Menyia – nyiakan waktu dan perasaannya. Semua sudah dia berikan, waktu, perhatian, bahkan finansialnya telah dicukupi oleh Deril. Deril menghela napas panjang. Kemudian dia menghentikan lagunya. Lalu menandai beberapa lagu dan menghapusnya.
Diputarnya sebuah lagu favoritnya, diapun ikut menyanyikannya.
“Terus melangkah melupakanmu. Belah hati perhatikan sikapmu. Jalan pikiranmu buatku ragu. Tak mungkin ini tetap bertahan.
Perlahan mimpi terasa mengganggu. Kucoba untuk terus menjauh. Perlahan hatiku terbelenggu. Kucoba untuk lanjutkan itu.
Engkau bukanlah segalaku. Bukan tempat tuk hentikan langkahku. Usai sudah semua berlalu. Biar hujan menghapus jejakmu.
Terus melangkah melupakanmu. Belah hati perhatikan sikapmu. Jalan pikiranmu buatku ragu. Tak mungkin ini tetap bertahan.
Perlahan mimpi terasa mengganggu. Kucoba untuk terus menjauh. Perlahan hatiku terbelenggu. Kucoba untuk lanjutkan itu.
Engkau bukanlah segalaku. Bukan tempat tuk hentikan langkahku. Usai sudah semua berlalu. Biar hujan menghapus jejakmu.
Lepaskan segalanya. Lepaskan segalanya.
Engkau bukanlah ssegalaku Bukan tempat tuk hentikan langkahku. Usai sudah semua berlalu. Biar hujan menghapus jejakmu.”
Deril melihat keluar jendela. Disana ada sebuah rumah dengan pagar kayu sederhana. Dipencetnya bel disamping tempat duduknya.
“Berhenti pak.” Ucapnya.
Bis itu berhenti. Setelah menscan QR untuk pembayarannya, dia segera turun. Dipandanginya rumah itu dari tempatnya berdiri. Nyaman dan tidak berisik. Rumah itu berada di dekat sebuah danau. Dengan balkon menghadap ke danau. Cukup luas dan menenangkan. Dengan mantab dia menyebrang jalan menuju rumah tersebut.
Ada seorang wanita disana. Sedang menyapu rumah itu. Deril menghampiri dan menyapanya.
“Selamat siang.” Ucapnya.
“Iya, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf sebelumnya, apakah rumah ini disewakan?”
“Wah kebetulan saat ini masih ditempati sendiri. Memangnya kenapa?”
“Saya butuh rumah untuk tinggal. Dan saya cocok dengan rumah ini.”
“Rumah ini masih kami tempati. Belum ada niatan untuk menyewakannya.”
“Kalau begitu, apakah ada rumah yang disewakan disekitar sini?”
“Kalau kamu mau. Kamu bisa menyewa rumah yang disana.”
“Itu rumah siapa?”
“Rumah saya juga. Hehehe.”
“Bolehkah saya melihat isi rumahnya?”
“Tentu boleh. Rumah itu sudah jarang di tempati. Biasanya kalau ada cucu kemari, barulah rumah itu menjadi tempat bermainnya.”
“Ibu tinggal di rumah dengan siapa saja?”
“Saya tinggal dengan suami. Anak – anak sudah menikah dan punya rumah sendiri – sendiri.”
“Kalau rumah itu saya sewa, apa tidak mengganggu ibu saat ada cucunya kesini?”
“Setahun sekali juga belum tentu mereka kesini.” Jawabnya dengab raut wajah sedih. Deril merasa bersalah telah bertanya demikian.
Ibu itu membuka pintu rumahnya. Lalu mempersilahkan Deril untuk melihat – lihat. Disana ada sebuah ruang tamu, dua kamar tidur dengan kamar mandi dalam, dapur dan ruang tivi. Serta beranda yang menghadap ke danau juga. Bahkan disana ada ruang yang terhubung dengan danau. Ruangan itu dibangun tepat diatas danau. Jika mereka ingin memancing hanya perlu membuka pintu dan duduk disana.
“Wah tempatnya menarik bu.”
“Berapa harga sewanya?”
“Kalian tempati saja. Hitung – hitung sebagai ganti kalian menemani kami.”
“Maksudnya gimana bu?”
“Anak saya jarang pulang. Kami kesepian, dengan kalian tinggal disini sudah cukup untuk mengganti biaya sewanya.”
“Wah terima kasih bu.”
“Mari saya kenalkan ke bapak.”
Deril mengikuti langkah ibu tersebut menuju rumahnya. Dia memepersilahkan Deril untuk menunggu di ruang tamu. Tak lama seorang lelaki paruhbaya muncul bersamanya.
“Wah siapa ini bu?” ucapnya ramah.
“Ini Deril pak, yang mau tinggal di pondok sana.”
“Wah ahirnya pondok itu ada yang nempati lagi.” Ucapnya seraya duduk di kursi.
“Bawakan hidangan buk.” Lanjutnya.
“Apa bapak tidak keberatan jika saya menempati pondok itu?”
“Oh tentu tidak. Kami malah senang, anak – anak kami sudah pergi dan tinggal di rumahnya masing – masing. Setahun sekali saja belum tentu mereka kesini.”
“Apa rumah mereka jauh?”
“Sedikit jauh. Harus ditempuh dengan pesawat.”
“Oooh. Mungkin mereka sangat sibuk pak.”
“Memang sangat sibuk, bahkan saat mereka disini pun masih saja bekerja dengan laptopnya.”
“Ngobrol apa nih? Seru kayanya?” ucap ibu dengan sebuah nampan ditangannya. Ada berbagai cemilan dan jus jeruk dihidangkan diatas meja.
“Ah ga ngomong apa – apa kok bu.” Jawab Deril sambil membantunya meletakkan camilan.
“Rencananya kapan akan ditempati?”
“Kalau bisa hari ini, ya hari ini akan saya tempati bu.”
“Oh tentu boleh. Ya kan pak?”
“Boleh nak boleh. Semakin cepat kamu tempati, kami pun semakin senang. Kami tidak akan kesepian lagi.”
“Baiklah saya akan segera membeli beberapa barang, dan segera kembali lahi kesini.”
“Baiklah, ini kuncinya nak.” Ucap sang ibu.
Deril bergegas pergi membeli beberapa barang yang dia diperlukan. Sungguh beruntung, dia mendapatkan rumah gratis untuk ditempatinya selama bertugas.