Pengumuman

1023 Words
Malam itu Deril tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia terbangun berkali – kali. Dilihatnya Steve tertidur dengan lelapnya. Steve, temannya yang beberapa hari sudah menemaninya. Menjalani segala masalah dan menyelesaikan bersama. Bahkan karenanya, dia berani masuk ke rumah Albapante. Dimana rumor tentang dia sangat menakutkan. Namun pada ahirnya mereka tahu, siapa Albapante dan rumor yang beredar semuanya tidak benar. Semua ini akan segera dia tinggalkan. Termasuk Jessi, pujaan hatinya. Apa yang akan terjadi pada Steve dan Jessi nantinya saat dia sudah bertugas. Apakah mereka bisa akur? Atau mereka akan saling jatuh cinta? Deril menepis pikiran buruknya itu. Tidak mungkin keduanya akan melakukan hal itu, mereka orang terpeecaya baginya. Deril menyibakkan tirai jendela, dia melihat langit malam yang bertabur bintang. Beberapa jam lagi, dirinya akan berada dalam pagar untuk menanti pengumuman. Deril menjadi sangat gugup. Padahal sebelumnya dia sangat berani dan percaya diri. Ada kegelisahan menghantuinya. “Kamu ngapain?” tanya Steve yang terbangun dari tidurnya. “Ga ada.” “Ga bisa tidur ya?” “Iya nih. Entah kenapa jadi gugup.” “Mungkin kamu lapar. Aku masih punya roti di lemari. Makanlah.” “Oke.” Deril mengambil roti dan membaginya dengan Steve. “Kamu juga makan.” Lanjutnya. “Kamu takut ya?” “Takut apa?” “Sepertinya kamu takut untuk meninggalkan tempat ini. Atau takut meninggalkan jessi?” “Ah engga kok.” “Jujur saja. Keluarkan semua penatmu, nanti bakal berkurang rasa gugupmu.” “Aku merasa....” “Apa?” “Kamu ga akan menusukku dengan mendekati Jessi kan?” “Hahahahaha. Ada – ada saja kamu der. Mana mungkin.” “Ya kan kalau aku bertugas, kalian masih disini. Masih bisa ketemu, masih bisa ngobrol. Nah aku kan ga ada disini. Siapa tahu kalian cinlok.” “Cinlok kayak kamu? Hahaha. Tenang saja der, hal itu ga akan terjadi. Aku memutuskan untuk belajar banyak hal di rumah Albapante. Aku ga mau ngerepotin Jessi.” “Makanya kamu tadi kesana?” “Iya, aku belajar masak disana. Siapa tahu nantinya aku bisa jadi chef.” “Chef? Hahahaha. Sapa yang mau makan masakanmu.” “Kamu. Lihat saja nanti. Aku akan masak pagi ini, dan bawain bekal buat perjalananmu di dunia sana.” “Kamu mau ke Albapante lagi?” “Iya. Hari ini harus lebih pagi kesana. Takutnya ga keburu.” “Jadi kamu sengaja bangun sekarang untuk ke rumah Albapante?” “Iya, aku berangkat dulu ya. Kamu jangan melamun terus. Tidur gih, barang – barang kamu sudah aku rapikan. Mana yang mau dibawa silahkan dipilih. Sampai ketemu di lapangan ya.” “Oke.” *** Di rumah Albapante. 5 Tok. Tok. Tok. Steve mengetuk pintu, tak lama Lazardi membuka pintu. “Mau ngapain kamu jam segini sudah disini?” “Kan kemarin aku audah bilang sama kamu. Aku mau masak buat Deril.” “Aku kira kamu bercanda.” “Enggalah, aku serius.” “Emang masakanmu sudah enak?” “Enak kok. Tanya sama Alba deh.” “Kapan Alba nyoba masakanmu?” “Kemarinlah. Bantuin aku ya, biar cepat selesai. Kan kamu sudah jago masak.” “Emang kamu mau masak apa?” “Sandwich.” “Isi apa?” “Daging giling sama wortel.” “Ayo deh. Aku kira kamu kesurupan pagi – pagi sudah disini.” “Emangnya disini pernah ada yang kesurupan ya?” “Ga ada sih. Hahahaha.” “Kirain beneran ada.” Mereka berdua berjalan menuju kelas memasak. Lazardi menganbil beberapa bahan yang dibutuhkan. Steve menyiapkan alat – alatnya. Mereka berdua juga menyiapkan resepnya. “Eh zar, gimana kalau rotinya kita gulung aja?” “Gulung gimana?” “Ituloh kita pipihkan terus diisi, baru deh digulung. Habis itu di celup ke telur dan tepung roti.” “Oh semacam risol?” “Namanya risol?” “Iya, namanya risol. Yaudah ayo bikin. Kupas wortelnya, cuci lalu parut rajang dengan alat itu.” Lazardi menunjuk sebuah alat. “Baiklah.” “Aku akan membuat bumbunya.” “Loh ada bumbunya juga?” “Yaiyalah. Kalau ga pake bumbu, ya hambar dong rasanya.” “Bumbunya apa saja?” “Cuma bawang merah, bawang putih, gula, garam dan merica.” “Terus?” “Ya di uleg lah. Dihaluskan, baru deh di tumis sampai harum.” “Terus wortelnya dimasukin? Sama dagingnya juga?” “Iyalah.” Mereka sibuk menyiapkan semuanya. Setelah memarut wortel, Steve segera memipihkan roti yang akan dipakai sebagai kulit. Mengocok telur dan menuang tepung roti pada wadah besar. Lazardi sedang sibuk menumis wortel dan daging. “Ini kalau mau diisi sama jagung manis juga boleh. Lebih mantab rasanya.” “Wah untung kamu sudah bangun zar. Kalau engga, hancur sudah masakanku. Hahahaha.” “Aku juga senang bisa membantu.” “Sudah siap nih rotinya zar.” “Ayo diisi lalu digulung. Celupin ke telur, lalu balur tepung roti. Panasin minyaknya steve.” “Oke siap.” *** Di lapangan berpagar itu sudah banyak orang yang berkerumun. Deril sudah berdiri di dalam pagar bersama orang – orang yang akan segera diumumkan tugasnya. Steve berlari menuju kerumunan itu. Napasnya terengah – engah, tapi dia masih berusaha merangsek masuk menuju pagar pembatas. Setelah sampai tepat di depan pagar, dia mengedarkan pandangannya mencari dimana Deril berada. Matanya teruju pada satu jonggyo yang memakai hodie biru muda. “Itukan punyaku.” Gumamnya. “Berarti itu Deril. Awas aja dia berani – beraninha memakai barangku.” Ucapnya lagi. Dia melihat Jessi juga berada dibarisan sana. Jessi? Kenapa dia juga ada disana? Steve mengucek matanya, menajamkan pandangan. Memang benar itu Jessi. Tapi kenapa dia asa disana? Pengumuman sudah dimulai. Satu persatu jonggyo berjalan menuju meja administrasi. Mengambil barang dan menandatangani kontrak tugas. Benar saja saat diumumkan Deril bertugas menjadi peri hutan. Dia lega, Steve pun lega. Karena mereka sudah menyiapkan hal itu dengan baik. Setidaknya usaha mereka tak sia – sia. Deril segera menandatangani kontrak tersebut, serta mengambil jam pasir dan pena. Dia melangkah keluar arena. Berjalan menuju tempat Steve berada. “Hey. Mana bekalnya?” “Sudah beres. Jangan khawatir. Nih, sudah aku simpan disini.” “Isinya apa tuh?” “Nanti saja jika sudah di dunia nyata kamu buka dan makan disana.” “Baiklah. Aku masukkan ke dalam tas kalau begitu.” “Berangkat kapan?” “Masih menunggu pesawat Alpha. Tadi aku dengar pesawatnya sedang perbaikan mesin. Semoga saja cepat selesai.” “Pesawat Alpha? Yang mana? Aku baru mendengarnya.” “Semakin lama kamu disini, nanti kamu juga akan tahu banyak hal.” “Iya juga sih. Btw, jangan rindu aku.” “Hahahaha, palingan kamu gabut kalau ga ada aku disini.” “Aku kan belajar masak. Ga bakal gabutlah.” “Ahahaha. Iya deh iya. Kamu lihat Jessi ga?” “Engga. Tapi....” steve ragu, apakah dia harus mengatakan tadi melihat Jessi di dalam sana bersama Deril atau tidak. “Tapi apa?” “Ah gapapa, aku belum melihatnya dari tadi. Sibuk mungkin.” “Bagi para jonggyo yang akan menempuh perjalanan dengan pwsawat R5 Alpfa, diharapkan segera menuju kanal timur untuk proses legalisasi. Pesawat akan berangkay menuju dunia beberapa saat lagi.” Mendengar pengumuman itu mereka lalu berpelukan. Deril menepuk – nepum punggung temannya itu. “Jaga dirimu. Jangan keluyuran ga penting. Ingat sama kejadian langit oranye waktu itu. Aku pergi dulu.” “Hati – hati.” Hanya itu yang terucap dari mulut Steve. Dia tak kuasa untuk berkata lebih banyak. Takut airmatanya tak mampu lagi dia bendung. Dengan mata berkaca – kaca keduanya saling melambaikan tangan. Deril segera menuju kanal timur, Steve masih berdiri disana. Memandang punggung Deril yang kian lama tak terlihat. Pesawat Alpha sudah lepas landas. Tumpahlah sudah airmata Steve. Kini dia sendirian. Di tempat yang masih asing baginya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD