Cale

1765 Words
Jessi. Dia adalah salah seorang vegyes. Darah campuran manusia dan dewa. Dia adalah anak dari dewa Hermes. Percintaan antara dewa dan manusia ini bukanlah yang pertama. Bukan juga hal yang langka. Dibelahan bumi manapun ada kasus seperti ini. Pagi itu, Cale (Ibu Jessi) sedang memetik beberapa bunga di kebunnya. Gadis – gadis di desa hollow mempunyai kebiasaan memetik bunga untuk hiasan dikamar mereka. Terkadang mereka juga bertukar bunga. Cale memetik beberapa mawar kuning dan krisan merah muda. Disamping rumahnya dia melihat bunga lily milik Ersendi sedang mekar dengan cantiknya. Cale pun berjalan menuju rumah Ersendi. “Selamat pagi.” Sapanya pada Ers yang juga sedang memetik bunga. “Hai, selamat pagi cale.” Jawab Ers. “Bolehkah aku meminta bunga lily milikmu?” “Boleh. Ambil saja Cale. Kebetulan mereka berbunga banyak musim ini.” “Terimakasih Ers. Kamu juga boleh memetik bunga yang kamu mau dikebunku.” “Lain hari aku pasti memetik bunga di kebunmu. Lihat ini, lily merah jambu yang sangat indah. Ambillah beberapa yang kamu inginkan. Aku akan memasang ini dulu di kamarku.” “Terimakasih Ers. Aku akan segera pulang setelah memetik beberapa bunga ini.” “Baiklah.” Ers masuk ke dalam rumah. Cale masih lanjut memetik bunga. Dia mengambil beberapa lili warna putih dan kuning. Keranjang bunga miliknya kini sudah penuh. Cale segera beranjak pulang. Kamar Cale berada di lantai 2 rumhanya. Dengan hati – hati dia merangkai bunga – bunga tersebut di vas kesayangannya. Cale puas dengan rangkaian bunga yang kini menghiasi kamarnya. Kemudian dia bersandar du jendela kamarnya. Daerah rumah cale masih sangat asri. Hijau dan sejuk. Rumahnya juga dekat dengan hutan ark dan danau lons. Hutan ark selalu menjadi pemandangan favoritnya sejak kecil. Dari jendela kamarnya, hutan ark terlihat dengan jelas. Namun pagi itu ada yang aneh dengan hutan ark. Ada seseorang yang keluar masuk hutan beberapa kali. Cale memperhatikan orang itu. Dia mengambil beberapa ranting kering dan masuk lagi ke hutan. Lalu saat orang itu kekuar dari hutan lagi, dia melambai ke arah Cale. Cale terkejut, ternyata orang itu tahu bahwa dia sedang diamati olehnya. Cale segera merosot kelantai. Hatinya berdebar, kejadian itu sungguh mengagetkan baginya. Cale memutuskan untuk turun dan membantu ibunya memasak. “Bu, di hutan ark itu, apakah ada yang tinggal disana?” “Setahu ibu tidak ada yang tinggal disana. Kenapa?” “Tidak, hanya penasaran saja. Danau lons kan selalu menjadi tempat favorit kami bermain. Tapi aku belum pernah lihat ada yang membangun rumah disana.” “Siapa juga yang mau membangun rumah di tengah hutan Cale. Ada – ada saja kamu ini.” Cale memotong beberapa sayuran. Ibunya lanjut mengulek bumbu. “Bu, apakah di hutan ark ada hewan buas?” “Kalau disana ada hewan buas, kalian yang suka bermain di danau Lons pasti pernah melihatnya. Kamu pernah lihat ga?” “Selama ini sih tidak.” “Bu, bolehkah aku pergi ke sana nanti?” lanjut cale. “Bermain bersama teman – temanmu tentu boleh. Tapi ingat, kamu sudah bukan anak kecil lagi. Berhati – hatilah, gadis – gadis seperti kalian harus bisa menjaga diri sendiri.” “Baik bu. Ini sayurnya sudah selesai dipotong.” “Sekalian kamu cuci ya. Lalu buang sampah ini ke depan. Sebentar lagi tukang sampah akan mengambilnya.” “Baik bu.” Cale membawa potongan sayur dan mencucinya. Lalu segera membawa sampah ke depan rumah. Disana dia dikejutkan dengan lambaian orang itu lagi. Dia melambai lagi ke arahnya. Cale terbelalak saat tiba – tiba orang iru berlari padanya. Cale mematung, antara kaget dan takut yang bersamaan. “Hai.” Sapanya. Cale masih diam. “Boleh minta tolong?” “Apa?” “Aku tak punya korek untuk menghidupkan api. Boleh pinjam korek milikmu?” “Ah iya, sebentar aku ambilkan di dalam.” “Terimakasih ya.” Cale berjalan masuk ke dalam rumah. Hatinya masih berdetak tak karuan. “Bu korek dimana?” tanyanya. “Di laci nomer dua, sebelah kanan. Kenapa tiba – tiba nyari korek?” “Ada orang yang meminjam.” “Siapa?” “Gatau.” “Kok gatau?” “Ya memang gatau dia siapa.” Cale segera berlari menuju orang itu. Lalu memberikan korek padanya. “Terimakasih. Oh iya namamu siapa?” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Aku Cale.” Cale menerima uluran tangan itu. Keduanya mematung,ada debar yang tiba – tiba muncul. Seakan mereka berdua saling bisa mendengar debar itu. Sembur merah pun merona di pipi mereka. Tanpa dia sadari, ibu cale melihat kejadian itu dan menghampiri mereka. “Siapa Cale?” ucapnya. “Ah ini bu yang pinjam korek tadi.” “Oooooh, kamu siapa?” tanyanya lagi. “Saya Her, eh Herdi tante.” Ucapnya terbata. “Herdi? Orang baru ya? Tinggal disebelah mana?” “Disana.” Ucapnya sambil menunjuk ke hutan ark. “Hutan ark?” “Iya tante. Di dekat danau Lons.” “Kalian pernah ketemu sebelumnya?” “Enggak bu. Kami baru kali ini bertemu.” Cale segera menjawabnya. Sebelum Herdi menjawab bahwa mereka sudab saling pandang di hari sebelumnya. Di jendela. Herdi tersenyum mendengarnya. “Oh yasudah, ayo segera masuk. Nanti masakannya ga matang – matang.” “Saya pamit dulu tante.” “Iya, silahkan.” Ibu cale menarik tangan anaknya dengan sedikit kasar. Cale mengikuti langkah ibunya dengan cepat – cepat. “Cale. Kamu harus ingat. Jangan sembarangan bertemu orang. Apalagi kita belum mengenalnya. Mulai sekarang kamu jangan main ke danau lagi.” Ibu cale nyerocos panjang. Dia sadar, anaknya sudah menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Tak heran jika ada pemuda yang akan mendekatinya. Sekarang ataupun nantinya. Tapi ibu cale sangat cemas. Dia khawatir, kenyataan bahwa pemuda itu tinggal di hutan ark di dekat danau lons. Siapa yang mau tinggal disana? Segala mitos membuat ibu cale semakin khawatir. Penghuni hutan yang mencari korban. Penjaga danau yang mencari tumbal. Segala mitos aneh itu memenuhi isi kepalanya. “Bu dia hanya pinjam korek.” “Lalu kenapa kalian bersalaman cukup lama?” Cale membisu. Tak berani lagi dia menjawab pertanyaan ibunya. “Cale kamu harus ingat. Mitos – mitos tentang hutan ark dan danau lons. Berhati – hatilah nak.” “Iya bu.” Jawabnya singkat. Hari berlalu dengan cepat. Seperti pagi biasanya cale memetik beberapa bunga dan menghias kamarnya. Saat dia bersandar di jendela, pemuda itu melambai lagi. Cale hanya tersenyum dan segera pergi dari jendela. “Bu teman – teman mengajakku ke danau lons. Boleh aku pergi?” “Tidak boleh.” “Kenapa bu?” “Kamu mau menemui pemuda itu ya?” “Ers dan elena mengajakku bu. Mereka bilang mau mencari beri hutan.” “Cale. Ingat perkataan ibu kemarin kan?” Cale diam. Dia segera masuk lagi ke kamarnya. Terdengar Ers dan Elena menjemputnya. Namun ibu cale berkata bahwa dia sedang tak enak badan. Sedang istirahay dikamar. Mereka pun berlalu pergi. Mereka berdua melesat masuk ke dalam hutan. Cale hanya melihat mereka dari balik jendela. Ada perasaan kecewa dengan sikap ibunya. Tapi apa mau dikata, dia harus menurut. Cale memutuskan untuk tidur saja. Karena keluar rumahpun sangat sulit. Membuatnya malas beraktifitas seperti biasanya. *** Dihutan. Ers dan Elena berjalan beriringan. Dipinggir danau lons tumbuh subur buah beri. Strawbery, blue bery, black bery, dan banyak pohon lain. Itulah kenapa mereka akan sangat betah berlama – lama disana. Mereka mempercepat langkah, tak sabar memetik buah – buah segar itu. Langkah mereka terhenti. Keduanya saling pandang. “Siapa dia?” batin mereka. Herdi menoleh pada mereka. Seketika mereka kaget. “Hai. Jangan takut. Aku hanya sedang memancing.” Keduanya masih terpaku, antara takut dan penasaran. Tidak pernah dia melihat warga yang memancing di danau lons. Karena danau itu dipercaya mempunyai kekuatan magis. Dan meminta tumbal pada siapa yang berani memancing disana. “Kemarilah. Aku tak akan menganggu kalian.” Ers memberanikan diri melangkah. Elena pun mengikutinya dibelakang. “Kamu siapa?” tanya ers. “Aku herdi. Kamu?” “Aku ers.” “Dia?” “Dia Elena.” “Kalian mau mancing juga?” “Tidak. Tak ada yang berani memancing disini. Kamu tidak tahu mitosnya ya?” “Mitos? Mitos apa?” “Siapa yang memancing disini, tidak akan bisa kembali pulang. Karena penunggu danau menyekap mereka di dasar danau.” “Hahahaha. Ada – ada saja kamu.” Ucap herdi gak percaya. “Aku belum pernah melihatmu di daerah ini.” “Aku baru pindah kemarin, aku membangun rumah disana.” Herdi menunjuk sebuah rumah dengan dua lantai. Terbuat dari kayu dan sangat unik. Lantai kedua rumah itu terlihat mirip dengan rumah pohon. “Kamu membangunnya sendiri?” “Iya. Kenapa?” “Orang tuamu mana?” “Mereka sedang bekerja. Jarang pulang. Jadi aku sendirian disini.” “Apa kamu sudah melapor kalau membangun rumah disini? Apakah itu boleh?” “Orangtuaku sudah mengurus semuanya. Tak perlu khawatirkan itu.” “Aku akan lanjut pergi memetik buah. Jika butuh sesuatu, kau bisa ke rumahku. Disana.” Ucap Ers seraya berjalan lagi. Herdi hanya mengamati mereka. Mereka masuk ke dalam hutan lebih jauh lagi. Kali ini dia dikejutkan dengan tarikan pada jorannya. Tarikannya sangat kuat. “Wah ikan besar nih.” Herdi tarik menarik dengan ikan yang memakan umpannya. Dengan sekuat tenaga ia tarik jorannya. Dan berhasil. Ikan itu sangat besar. Dia mengambil dan melepaskan kail dari mulut ikan. Kemudian dia timbang – timbang ikannya. “Sekilo lebih nih.” Saat Herdi memasak ikannya, kedua gadis itu telah kembali dari memetik buah. Keranjang mereka penuh dengan buah bery. Herdi merasa ingin mencicipinya. “Hai, bolehkah aku meminta sedikit bery kalian?” “Petik saja sendiri.” Ucap Elena. “Sedikit saja. Aku sedang memasak ikan. Nanti ikanku gosong kalau aku tinggal petik bery.” “Gimana kalau kita tukeran makanan?” jawab Ers. “Wah setuju. Aku juga sedang lapar ers.” Lanjut Elena. “Baiklah baiklah. Kalian bisa mencicipi ikan ini dan aku akan mengambil beberapa bery milik kalian. Setuju?” “Oke.” Jawab kedua gadis itu serempak. Mereka duduk mengitari ikan bakar. Herdi melemparkan beberapa ubi di api bakaran itu. Mereka menanti dengan sabar. Herdi memasak dengan cekatan. Dia membuat sambal kecap dengan irisan bawang merah dan perasan jeruk nipis. Aroma ikan bakar itu membuat perut mereka berbunyi, mereka pun tertawa mendengarnya.  Ikan sudah matang. Herdi mengambil beberapa helai daun pisang untuk alas makan. Dia menyiapkan ubi serta ikan di atas daun pisang. Lalu dia pun mengambil seketel air untuk mereka minum. Buah bery yang sudah dicuci juga mereka letakkan di sebuah potongan daun pisang. Mereka makan dengan lahap. Ers yang tidak suka pedas mengelap keringatnya yang sudah sebesar jagung. Herdi memberikannya minum.  “Aku lupa. Sebentar aku ambilkan kerupuk. Kerupuk sangat bagus untuk mengatasi pedas.” Herdi masuk ke rumahnya dan mengambil setoples kerupuk. “Makan ini.” Lanjutnya. “Wah kamu benar. Rasa pedasnya berkurang.” Jawab Ers. Elena masih terus menyuap makanannya. “Kamu sangat lapar ya?” tanya Ers. “Hahahaha. Aku sangat suka ikan bakar. Apalagi dengan sambal kecap nikmat ini. Rasanya tak bisa berhenti mengunyah.” Herdi dan Ers hanya tersenyum melihat elena makan dengan lahapnya. Ers dan Herdi memakan buah bery. Buah bery memang khas, rasanya tidak melulu manis. Tapi juga ada rasa asam yang segar. Saat kedua gadis itu akan pulang, tiba – tiba Herdi berkata “Boleh minta tolong?” “Apa?” jawab Ers. “Berikan ini pada Cale.” Ucapnya sambil memberikan sepucuk surat pada Ers. “Darimana kamu kenal dia?” sahut Elena. “Aku sudah berkenalan dengannya. Tapi sepertinya dia malah menjauh dariku.” “Oh, baiklah. Nanti aku berikan padanya. Terimakasih ikan bakarnya, sangat lezat.” “Terimakasih juga sudah membagi bery milikmu.” Kedua gadis itu pun pergi. Setibanua di luar hutan, mereka langsung menuju rumah Cale. Tok. Tok. Tok. “Iya sebentar.” Terdengar suara ibu cale dari dalam. “Oh Ersendi dan Elena. Cale ada temanmu. Kemarilah, kalian duduk dulu ya.” Lanjutnya sambil mempersilahkan mereka duduk. “Cale sini.” Ucap Ers. “Iya, ada apa? Wah buah berynya banyak banget. Aku minta ya?” “Iya boleh, ambilah. Oh iya. Ada titipan dari Herdi.” “Sssssstttt. Jagan keras – keras.” Cale celingukan takut ibunya mendengar nama itu. “Kenapa?” “Kapan – kapan aku ceritain deh. Jangan sekarang dan jangan disini.” “Ah baiklah, kami balik dulu.” Ers dan Elena pamit. Cale segera masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu dan segera membuka surat itu.  “Cale. Gadis bingkai jendela. Aku menantimu bersandar disana. Tapi tak lagi menemukanmu. Cale aku rindu. Senyum dan lambaian tanganmu. Serta halus suaramu. Herdi.” Cale tersenyum, sembur merah pipinya dan binar matanya begitu indah. Kemudian dia kesana lagi. Bersandar pada jendela. Memandang padanya. Herdi. Dia berdiri disana menantinya melambaikan tangan dengan senyum manisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD