Kematianku

1168 Words
Tidak ada tanda tanda atau firasat jelek mengenai hari naasku. Semua kehidupan pasti mengalami yang namanya mati. Begitu juga diriku yang hanya manusia biasa. Tapi bukan kematian seperti ini yang ku harapkan. Jika saja cara mati itu boleh memilih mungkin aku akan mati ketika menjalankan perintah agamaku. Tapi apakah seorang manusia mampu mengendalikan takdirnya? Tidak, tak ada seorangpun di dunia ini mampu melakukan hal tersebut. Apalagi aku yang manusia penuh dengan dosa. Pertemuan ketiga denga Bayu di setiap malam jumat adalah terakhir kali aku bisa melihat dan merasakan kehangatan keluargaku. Semuanya jadi kelabu ketika itu sudah telanjur terjadi. Tak ada yang dapat menghalangi takdir hidupku. Malam itu sejak habis magrib langit sudah tidak menunjukkan keindahannya. Bintang dan bulan yang biasanya berdampingan muncul dan memancarkan sinarnya yang indah tidak tampak sedikitpun. Mereka tidak malu tapi memang enggan menunjukkan keindahannya saat itu. Awan gelap sudah bermunculan ketika aku sedang berada di kamar menatap dari jendela yang sengaja ku buka sedikit. Berharap ada Bayu yang biasa menjemputku malam itu seperti yang biasa kami lakukan pada malam malam sebelumnya. Perlahan tapi pasti tangisan langit mulai berguguran meski dalam bentuk bulir bulir kecil. Angin yang berhembus lembut turut memberi warna pada rintikan malam itu. Seketika hawa yang sejuk mulai menyeruak ke dalam ruang yang terisi oleh seseorang yang sedang merindu. Entah sampai waktu berapa lama lagi aku harus menanti. Sendiri menatap ke arah luar jendela. Pepohonan dan ranting ranting daun yang saling beradu karena tertiup angin membuat suasana malam turut membuat suasana semakin terasa suram. Tanpa terasa waktu sudah 30 menit berlalu. Suasana yang hening seketika berubah menjadi riang dengan kehadiran seseorang di penghujung jendela kamar. Sosok yang ku nantikan telah hadir dengan kondisi tanpa basah sedikitpun padahal diluar buliran dari langit cukup sering jatuhnya meski itu hanya kecil. Ia tidak menggunakan jaket atau pelindung tubuh dari tangisan langit tadi. Hanya kaos tipis yang berwarna hitam pekat tanpa tulisan ataupun motif. Bawahan yang digunakan juga serasi dengan atasannya yang berwarna hitam. Sekilas jika tidak mengenalnya mungkin akan terlihat menakutkan cowok ini. Beruntung aku sudah cukup mengenalnya meski baru beberapa hari. Tetapi kali ini ada yang berbeda dengan sosok yang telah hadir di hadapanku. Tampak ia tidak seperti biasanya yang selalu mengawali pertemuan dengan sapaan dan senyum. Sekalipun ia tidak bicara atau mengeluarkan suara untuk berinteraksi denganku. Dalam sekejap ia langsung meraih tanganku untuk mengikutinya keluar dari kamar itu melalui jendela. Anehnya aku justru menurut keinginannya dengan hanya menggandeng tangannya tanpa bertanya dulu ingin kemana. Kami berjalan terus tanpa merasakan sejuknya malam itu. Pekatnya malam itu tidak menghalangi kami untuk melalui itu semua. Tangisan langit yang telah tertumpah sedemikian banyak tidak juga menghentikan langkah kami untuk mengarah ke sesuatu tempat yang entah itu dimana. Tempat yang belum pernah sebelumnya ku singgahi. Semua terasa asing dengan lingkungan yang tak pernah ku temui. Mencoba untuk berteriak sedikitpun tak mampu ku lakukan. Bayu terus memaksa tanganku untuk mengikutinya. Tanganku yang mungil tak mampu menolak ajakannya. Kedua kaki inipun seakan turut menuruti keinginannya kemana ia pergi. Hingga tiba di suatu tempat yang begitu asing dengan kondisi pencahayaan yang sangat minim namun aku masih bisa sedikit melihat keadaan sekitarnya. Tampak tidak ada seorang pun yang berada disana. Seperti sebuah bangunan usang yang telah lama di tinggalkan. Bayu hanya tersenyum melihat keherananku. Tidak ada rasa khawatir yang biasa di lihatkan seorang cowok buat pasangannya. Seakan ia cuek tanpa pedulikan kondisiku yang terlihat kepayahan karena sedari tadi berlari bersamanya. Aku coba mengatur nafasku sedemikian rupa agar normal kembali. Perasaanku yang selama ini berbunga bunga jika berdekatan dengan Bayu, seketika ada yang lain. Tidak ada berdebar lagi ketika melihat tatapan matanya. Ada sesuatu yang lain di mata itu. Perasaanku menjadi tidak enak, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi malam itu. Tapi tubuh ini terasa membeku, sedikitpun tidak mampu ku gerakkan. Nafas yang tadi coba ku atur perlahan lahan tidak berubah sama sekali malah semakin cepat berdetak. Alat emergency yang biasa ku bawa di kantung ternyata tidak ada di tempatnya. Aku lupa membawanya dan juga tidak menyadari jika tadi langsung kabur dari rumah. Bayu yang tahu kondisiku tidak sedikitpun tampak cemas. Ia malah tersenyum menyaksikannya. Seketika cahaya yang berasal dari bangunan itu tiba tiba padam. Situasi yang begitu gelap pekat membuat aku tak mampu lagi melihat keberadaan Bayu. Apakah ia masih berada di depanku. Rasa takut langsung menyelimutiku saat itu. Aku coba meraih tangannya, tapi hanya angin kosong yang bisa ku raih. Terus ku coba meraba raba keadaan sekitar sambil memanggil pelan nama cowok itu. Tidak ada sedikitpun sahutan yang membalas. Hatiku mulai was was tak menentu menghadapi situasi saat itu. Orang yang ku harapkan bisa melindungiku saat itu justru tidak ada responnya. Aku berusaha tenang agar nafasku tidak semakin parah keadaannya. Sepintas ku dengar ada desahan yang berat melewati telingaku. Seketika bulu kudukku langsung meremang semuanya. Tubuhkupun turut bergetar hebat. “Bayu kamu dimana? Aku takut …” jeritku pelan memanggil namanya. Aku hanya berharap jika ini semua hanya prank darinya. Atau sebuah kejutan yang membuat aku bahagia nantinya. Tapi suasana saat itu tidak mendukung untuk candaan yang garing menurutku. Derasnya hujan dan dentuman petir yang saling bersahutan membuat suasana semakin terasa semakin mencekam. Aku ingin berlari dari situasi saat itu tidak harus kemana arahnya. Pekatnya malam itu tanpa sedikitpun ada cahaya yang masuk ke dalam ruangan ini. Berteriak sekerasnya tidak membuat situasi membaik. Kondisi tubuhku juga semakin melemah dengan penyakit yang ku derita selama ini. Cowok itu seperti menghilang di telan bumi tidak tahu ia ada dimana. Harapanku hanya dia yang bisa membawa aku keluar dari situasi ini. Seketika bayangan ayah dan ibuku terlintas di pikiranku. Nasehat mereka yang selama ini tak pernah ku turuti. Perintah mereka yang selalu ku lawan. Dan larangan mereka yang selalu ku langgar. Sedikitpun tak pernah ku dengar keinginan mereka. Aku buta akan hubunganku dengan seorang Bayu. Kasih sayang mereka sekan lenyap dengan bujukan cowok itu. Mendadak aku hanya bisa memandang tubuhku yang terkulai lemah di tempat itu. Bayu yang tadinya menghilang tiba tiba sudah berada di atas tubuhku. Aku sedikitpun tidak melawan dengan tindakan cowok itu. Ia terus melahap habis tubuhku yang sudah terkulai lemah kehabisan nafas. Aku yang menyaksikan itu tak mampu menghalangi perbuatan Bayu. Memukul dan mendorongnya tak membuahkan hasil. Seperti angin lalu yang menembus tubuhnya. Aku terus menangis melihat tubuhku di perlakukan kasar olehnya. Sementara tak ada seorangpun yang membantuku atau menghalangi tindakan cowok itu. Ia terus menganiaya dan menikmati tubuh itu tanpa ada sedikitpun rasa belas kasihan. Rasa yang pernah ia tunjukkan dulu sewaktu awal dan beberapa kali kami bertemu. Melihat kejadian aneh ini membuat aku hanya bisa duduk dan meratapinya. Sosok yang ku kira bisa ku andalkan ternyata hanya fatamorgana. Perlahan tapi pasti tidak hanya Bayu yang ku lihat saat itu yang sedang menikmati tubuhku, tapi ada satu sosok lagi yang ternyata menjadi biang keroknya. Sosok hitam pekat yang tinggi tubuhnya dan memiliki mata merah adalah yang berada di dalam tubuh Bayu. Ia yang selama ini mengendalikan tubuh cowok itu. Sosok itu juga yang membuat aku bisa tergila gila dengan cowok yang sebenarnya hanyalah orang biasa seperti kata temanku dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD