Rencana Barter

2099 Words
"Gue curiga dia selingkuh. Tapi gue gak punya bukti sama sekali." Ia dongkol sekali. Padahal kalau alasannya perselingkuhan, ia bisa membantainya. Ia juga lelah dengan pernikahan ini. Ia pikir akan bahagia tapi jauh dari kenyataan. "Gue nanya deh, Dan." Andrea bingung dengannya. Pada awal sebelum menikah dulu, ia yang menggebu-gebu tak sabar ingin segera menikah. Begitu semua tak berjalan sesuai keinginannya, ia malah ingin menghancurkan pernikahannya sendiri. "Lo tuh sebenarnya berekspektasi setinggi apa sih?" Ia terdiam. Niat menikah sejak awal memang bukan untuk ibadah. Ia hanya ingin seperti orang lain. Ia ingin seperti teman-temannya. Mereka sudah menikah dan punya anak. Hidupnya tampak bahagia. Ia ingin seperti mereka dan memiliki kehidupan seperti itu. Ia ingin mengungguli mereka dengan kekayaan yang dimiliki oleh suaminya. Sejak awal, ia memang tertarik dengan hartanya juga. Ya siapa sih yang mau hidup susah setelah menikah? Ia tak mau. Namun pernikahan tanpa cinta ternyata tak seperti cerita-cerita di dalam fiksi. Kisahnya dan suaminya sangat jauh dari itu. Apa sih yang diharapkan dari lelaki itu kecuali uangnya? Ia sadar kalau tampaknya ia keliru dalam memgambil keputusan. Namun semua telah terlanjur. Terlanjur menikah. Ia juga malu kalau harus bercerai. Jelas ucapannya tentang perceraian memang bukan sebuah keseriusan. Itu hanya luapan sesaat. Ia juga belum ingin pergi dari rumah bagus itu. "Dan, nikah itu bukan tujuan hidup. Kalo lo jadiin itu tujuan hidup, apa yang akan lo kejar berikutnya? Gak ada. Hidup lo akan terhenti di situ." Andrea sudah paham wataknya sedari dulu. Mereka memang bersahabat sejak zaman kuliah. Danita selalu mencarinya tiap ada masalah. Karena terlalu dekat, dulu banyak yang salah paham mengira kalau keduanya berpacaran. Padahal tidak. Karena Andrea sendiri memang sudah punya cinta pada Shana sejak SMA. Jauh sebelum bertemu dengan Danita. "Lo yang memutuskan untuk menikah jadi lo harus bertanggung jawab dengan pernikahan lo sendiri. Lari? Itu bukan tanggung jawab, Dan." Ya. Danita tahu. Andrea geleng-geleng kepala. Ia bahkan sudah kenyang sebelum makan. Mereka makan siang agak jauh dari kantor hanya agar Danita bisa bercerita padanya. Danita menatap ke arahnya. Ya kalau Andrea sudah berbicara menggebu-gebu begitu, ia harus diam dan tak berbicara lagi mengenai masalahnya. "Terus lo.....masih sama Shana?" Perempuan yang pernah beberapa kali bertemu dengannya. Ia tak terlalu dekat juga karena berbeda lingkaran pertemanan. Yang ia tahu, tampaknya Shana tak terlalu menyukainya karena begitu dekat dengan Andrea sejak dulu. Andrra mengangguk. "Lo beneran mau nikahin dia?" "Lo tahu gimana perasaan gue sama dia sejak dulu." Ya. Tak pernah berubah. Danita menarik nafas dalam. Itu juga yang membuatnya mundur. Memilih menikah dengan lelaki lain karena lelaki ini tak pernah menyukainya. Hanya Shana dan Shana. Ya ia tahu kalau Shana itu cantik dan baik. Teman-teman lelakinya yang lain ketika melihat Shana juga tertarik. Vibe orang baiknya begitu memesona. Walau terkadang tampak polos sekali. "Kapan kalian akan menikah?" "Rencana gue.....abis dia S2." "Dia lagi S2?" Andrea mengangguk lagi. Ia tak terlalu memerhatikan wajah Danita karena sibuk dengan makanannya. "Dia gak keberatan tuh kalo sama lo dan strata kalian berbeda?" "Shana bukan orang kayak gitu." Ya. Ia juga tahu. Tapi sedari dulu, ia tanpa sadar selalu melakukan itu. Selalu mencari celah untuk menggali kekurangan Shana. Ia terus melakukannya tanpa sadar. "Tapi akan bosan gak sih, Dre? Lo bayangin deh, lo sama Shana itu kan udah lama kenal. Udah temenan lama. Terus bakal hidup berdua tuh gimana gitu. Pasti bosen deh." Ucapan yang keluar dari mulutnya tak pernah mendukung. Ya apalagi jika berkaitan dengan Shana. "Lo yang baru kenal dan menikah sama suami lo belum setahun juga udah bosan. Itu maksudnya ya?" Danita terbatuk-batuk. Terkadang Andrea bisa menjadi sangat ketus. Ia bukan kesal. Cara bicara Andrea memang begitu. Terlalu to the point. "Gue sama Shana bukan kayak lo dan suami lo, Dan. Kita mau menikah ya buat ibadah." Kalau sudah diniatkan untuk ibadah ya harusnya akan berjalan lancar. Danita mengangguk-angguk. Ia jadi iri. Aah bahkan sedari dulu juga sudah iri kok. Meski Andrea hanya staf biasa di kantor ini dan gajinya juga sama dengannya, lelaki itu tetap lebih di matanya. Apa karena orangtua Andrea yang begitu kaya? Entah kenapa, ia selalu silau dengan yang namanya kekayaan orang lain. @@@ "Kucay udah bahagia. Lo juga. Lo udah bener dengan jalan lo, Bas. Tetap pada keyakinan lo." Nabila menguatkannya semalam usai makan bersama sebelum berpisah. Gadis jtu segera kembali ke Bandung dan ia kembali ke apartemen. Hidup mereka memang tak mudah lagi. Tak lagi sama. Masing-masing dengan jalannya. "Kucay emang bukan jodoh lo. Tapi yakin lah, lo bakal dapat orang yang baik kok, Bas." Nabila tak mau Bastian menggalau hanya karena sebuah perasaan. Semua itu kan sudah berlalu. Lebih baik Bastian fokus pada masa depannya. Kucay adalah masa lalunya yang tak akan bisa ia kembalikan. Kucay dengan jalannya sendiri. Bastian tentu memahami itu kan? Meski bertahun-tahun ia masih terus berproses untuk belajar mengikhlaskan segalanya. Foto Chayra sebetulnya sudah tidak ada di mana pun. Namun masalahnya bukan bentuk fisik melainkan bentuk yang tak terlihat. Karena Chayra masih ada di dalam hatinya meski ia sudah pernah mengatakan pada Chayra kalau ia sudah mengikhlaskannya. Toh berkat itu juga kan yang membuat Chayra bisa menerima suaminya sekarang. Karena tak ada lagi yang mengganjil antaranya dan Bastian. Sementara Bastian masih terus bergulat. Cinta beda agama itu benar-benar sulit. Terpisah karena tembok yang sebenarnya mereka juga tak menginginkannya. Bastian baru saja duduk di balkon apartemennya. Sendiri? Memangnya mau sama siapa? Ia menarik nafas dalam. Hidup ini rumit baginya. Tapi ia tetap harus menjalaninya. Ko, gak pulang? Ia selalu ditanya kapan akan pulang ke Surabaya. Harusnya memang menetap di sana. Tapi ia malas. Karena mamanya sedang berupaya keras untuk menjodohkannya dengan beberapa perempuan. Ia tahu itu untuk kebaikannya. Tapi hatinya? Masih belum ingin. "Lo masih gak berubah, Nad. " Ia terkaget lalu mengalihkan tatapannya ke arah perempuan yang sudah berdiri di sampingnya. Bahkan menatap ke arah yang ia tatap tadi. Buru-buru ia menariknya. "Kalo suka sama pak Bas, bilang kali. Mumpung dia masih jomblo tuh." @@@ "Shan!" "Heum?" Ia sedang sibuk mempelajari presentasi untuk konferensi internasionalnya. Ya masih ada waktu untuk membuat bahasa Inggrisnya semakin bagus. Walau ia terkadang gugup. Ah kalau ia lupa kosa kata bagaimana? "Si Danita itu bukannya udah nikah ya?" "Udah." Temannya mendengus. Ia punya dua teman di kos ini. Yang satu adalah temannya sejak SMA. Yang satu lagi temannya saat kuliah. Mereka melanjutkan ke kampus yang sama untuk S2. "Dia masih sering banget ya bikin postingan 24 jam-nya itu bareng Andrea." Ia sebenarnya ingin membicarakan ini sejak beberapa hari yang lalu. Tapi ketika sampai di kos, ia selalu lupa. Ia terlalu sibuk di kampus "Kan mereka satu kantor. Terus Danita juga sih yang bantu dia bisa masuk ke sana." Shana tentu saja tak bisa memungkiri itu. "Gitu? Kok gue masih ngerasa Danita itu masih suka ya sama Andrea?" Shana terkekeh. "Ngaco lo. Lo kalo lihat suaminya, cakep banget, Gi. Jauh dari Andrea." "Yaa jaga-jaga aja, Shan. Kita gak tahu isi hati orang. Lo tahu Danita dulu gak pernah suka kalo kita ngajak Andrea keluar pas ada dia dan temen-temennya." "Jangan jahat deh. Gak boleh suuzzan." "Ya cuma mau ngomong gitu doang. Ngingetin aja. Andrea juga ganteng kali, Shan." Shana tertawa. Ya semua lelaki ganteng kok. Ini kan hanya soal selera. Masing-masing orang punya selera yang berbeda. Dari dulu, teman-temannya selalu mendukung kalau ia dan Andrea bersama. Ya karena tahu sejak awal, perasaan Andrea juga berbeda. Tapi ia tak pernah mengatakannya. Baru jujur beberapa bulan terakhir dan itu pun untuk mengajaknya menikah. Bukan kah itu bagus? Mereka tumbuh bersama sejak dulu. Jadi tahu satu sama lain sejak lama. Shana juga tahu seperti apa keluarganya namun entah kenapa, mamanya belum juga memberikan restu. Adiknya memberitahu kalau mamanya sebenarnya tidak srek kalau ia bersama Andrea. Padahal selama ini, Andrea baik. Maksudnya, tak pernah berlaku yang menyimpang atau tidak sopan padanya maupun keluarganya. Apa itu tak cukup? @@@ Lantai tiga ruko Adit. Kantornya memang masih di sini. Adit sebetulnya sudah mendapatkan tawaran untuk akuisisi ke grup perusahaan mertuanya. Ya tapi ia belum mengambil keputusan apapun. Namun gara-gara kejadian Ardan, ia akhirnya mengajukan diri. Ya dari pada sok bertahan sendirian dan malah mengorbankan banyak orang? Lalu untuk apa Andra berada di sini? Ya ikut nongkrong. Lama ia tak ke sini karena mereka sama-sama sibuk. Terakhir ya bertemu di rumah sakit ketika menjenguk Ardan yang hampir mati. Melihat Ardan koma seperti itu jujur saja smat mengerikan. "Lah? Adit mana?" Begitu membuka pintu, tak ada Adit di sana. Dulu kan Adit sempat tinggal di sana. Ya sebelum menikah. Rasanya itu baru terjadi beberapa bulan yang lalu. "Balik lah ke rumah. Udah punya bini." Andra tertawa. Ya oke. Rasanya Adit menikah dan tidak menikah tak ada bedanya. Tapi kalau Dina? Bagi Andra ya ada bedanya karena ia juga sudah tak pernah menghubungi Dina lagi. Ia benar-benar hanya berteman sengan Dina tapi harus menjaga jarak karena statusnya juga sudah berbeda. Ia tak mau membuat salah paham kan? "Pada ngomongin apa sih?" "Tuh bang Ardan. Gagal mupu mau dikenalin ke cewek." Andra terkekeh. Ya bukannya sudah biasa ya? Hahaha. Setahunya itu lagu lama. Alias sesuatu yang memang sering terjadi. "Berapa kali hah?" Ardan mengacungkan dua jarinya. Andra langsung tertawa. Ia duduk dengan mengangkat sebelah kakinya di ata sofa dekat dengan jendela. Lalu Ferril melempar pertanyaan padanya. Ia sudah berapa kali gagal berkenalan dengan cewek? Andra menghitung dengan jarinya mulai dari jempol tangan kanannya hingga ke kelingking kiri. Bukan hanya sekali. Ia berlanjut lagi. Hal yang membuat Ferril sempat melongo tapi kemudian terbahak dengan aksinya. "Lebih kali. Ada kayaknya sampai 30 kali," tuturnya. Ferril terbahak. Ardan geleng-geleng kepala. Ia? Menghela nafas. Itu bukan sesuatu yang harus ia banggakan. Hahaha. Ia sebenarnya sudah berusaha kok. Banyak teman juga yang menawarkan teman-teman perempuan mereka. Ya siapapun pasti tertarik dengan wajah ganteng itu. Tapi tak ada yang berjalan lancar. Karena apa? Mungkin mereka menyerah karena Andra sama sekali tak tertarik pada mereka. Menunggu pun adalah pilihan yang bodoh karena itu adalah hal yang mustahil terjadi. "Elo sendiri gimana, Ril? Udah nembak tuh cewek yang taksir tuh?" Andra tentu tak puas kalau hanya ia yang berbicara mengenai asmaranya di sini. Hahaha. Mari kita bermain-main soal asmara. Ferril tentu tertawa. Baginya, hal-hal yang berhubungan dengan Echa adalah sesuatu yang sangat amat sulit untuk diceritakan. "Belum maju kayaknya." Ardan terlihat senang saat mengatakan itu. Hahaha. Ia punya teman pengecut adalah hal yang paling menyenangkan. "Jangan kelamaan, bro. Tahu-tahu disalip orang baru tahu rasa." Andra hanya mengingatkan. Kisahnya mungkin tidak seperti itu. Hanya soal waktu. Ferril kembali terbahak. "Lo tahu kalo kembaran gue pernah suka sama lo?" Andra terbatuk-batuk. Malah menyempil ke sana ya? Hahaha. Ia sih bukan menyinggung. Cuma kan kalau perasaan itu Farras yang tahu. Dina pernah cerita tapi tak yakin. Nah kalau ini? Andra jadi yakin. Setidaknya perasaannya tak bertepuk sebelah tangan ya? Ia baru benar-benar tahu. Saling cinta itu memang pernah ada. Tapi cinta dalam diam. Ferril masih terus tertawa. Andra sih tak menyentil untuk membicarakannya lebih dalam. Menurutnya, tak ada gunanya juga. Karena Farras juga sudah bahagia dengan lelaki lain. Ia tak mau merusaknya. Ia juga masih punya harga diri kok. "Terus sekarang gimana? " tanya Ardan. Apalah arti membicarakan kegagalan ini? Lebih baik mereka membicarakan rencana untuk bisa meraih kesuksesan dalam asmara bersama bukan? Ardan menoleh ke arah Andra. "Ada ide?" Andra tampak berpikir. Lalu .... "Gimana kalau kita barter aja?" "Barter?" Kening Ardan mengerut. Dalam hal ini, Ferril pasti tak akan ikut karena ia sudah punya perempuan yang dituju. Jadi hanya ia dan Ardan bukan? Andra mengangguk. Ia melepas kacamata hitamnya yang sedari tadi membuat pandangannya menjadi gelap lalu ia memperbaiki posisinya hingga duduk dengan kaki membuka lebar. Ya biar nyaman saja. "Gue bakalan bersemedi deh. Barang kali ada saudara atau temen-temen perempuan yang gue punga dan bisa gue kenalin ke elo. Lalu elo melakukan yang sebaliknya? Gimana?" Ardan mengangguk kuat. Ia yakin kalau Andra yang menawarkan pasti bukan sembarangan kan? Hahahaha. Tapi lalu mata-mata itu berpindah ke arah Ferril yang menampilkan wajah bingung. Waaaah apa nih? Ia akan terkena apa dari dua orang komblo akut yang hampir frustasi mencari jodoh ini? "Nah elo, Ril!" Andra punya ide lain. "Gue kasih tugas deh kali-kali aja kan kita gak berhasil nemu cewek yang bisa buat barter nih. Jadi lo kudu siapin dua cewek buat dikenalin ke kita! Gimana, bro?" Tapi persetujuan itu justru dilempar ke Ardan. Hahaha. Ardan mengangguk kuat. Ia tahu kalau Ferril punya banyak kenalan cewek-cewek cantik. Hahaha. Gagal Andra masih ada Ferril kan? Ferril menepuk kening. Astaga! "Ngapa gue jadi ikut-ikutan dah?" Cowok itu terbingung-bingung. Kenapa ia jadi ikut terseret arus? Hahaha. "Lo kan mantan playboy, Ril! Udah pasti punya lebih banyak kenalan cewek dibanding kita-kita. Iya kan, bro?" Dua orang itu malah bertos ria di atas penderitaan Ferril. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD