"Bro! Bro!"
Ia memanggil Bastian tapi kemudian malah berdesis.
"Wah sorry lo cowok, bro," tukasnya.
Ia nyelonong masuk ke dalam lift dan meninggalkan Bastian padahal tadi Bastian yang memencet lift itu. Cowok itu malah melongo. Kenapa si Andra? Hahaha. Ia sedang mencari tawanan untuk dikenalkan pada Ardan karena upaya barter yang sedang mereka lakukan. Ia tak tahu perempuan seperti apa yang Ardan cari untuknya tapi ia tentu akan mencari perempuan terbaik untuk Ardan.
Baru keluar dari lift dan hendak menghampiri perempuan eeeh Sekar menyejajarkan langkah di sampingnya. Apa perempuan ini saja yang ia kenalkan pada Ardan? Aah tapi ia malas. Kalau meladeni nanti ujungnya akan panjang. Perempuan yang satu ini juga tak mudah menyerah. Ia sebetulnya kenal dengan beberapa mantannya Sekar yang ganteng-ganteng itu. Yeah temannya bermain golf juga. Itu juga tak sengaja bertemu dan berkenalan. Mereka semua mengatakan kalau cewek yang satu ini matre. Hanya mengincar mereka yang ganteng dan turunan orang kaya sepertinya. Makanya sejak awal, ia tak tertarik.
"Pak Andra mau ke mana?"
Alih-alih menjawab, ia malah melengos. Hahaha. Ia berjalan ke arah lain. Hal yang membuat beberapa orang yang melihat mereka menahan tawa. Soal Sekar yang mengejar-ngejar Andra di kantor ini bukan gosip baru. Sosok Sekar juga sangat dikenal di kantor. Yaaaa karena mantan-mantannya yang ganteng menimbulkan keirian. Kok bisa mukanya pas-pasan tapi cowok-cowok ganteng itu mau? Bahkan tajir-tajir. Ya biasa lah. Namanya juga gosip pasti begitu.
"Raisa!"
Nah. Ini bisa dibilang cewek paling cantik di kantor. Ia tentu kenal. Meski bukan di bawah departemennya. Gedung ini kan luas. Sebetulnya bukan hanya ada kantornya tapi juga beberapa perusahaan lain. Namun karena dunia mereka hanya satu gedung ini, para karyawan lama pasti mengenal hampir semua karyawan yang ada di gedung ini yang mungkin jika dijumlahkan pasti ada sekitar 300 orang. Teman-teman satu angkatan saat SMA saja ada sekitar 240 orang saja bisa Andra ingat kok. Paling yang tak begitu ia kenal ya para karyawan baru dan cleaning service. Karena tak semua cleaning serbice bertemu dengannya di kantin.
Gadis bernama Raisa itu menoleh. Ya kaget dan tersipu karena ternyata Andra yang memanggilnya.
"Ya, pak?"
Ia tergagap saat kembali bertanya. Manajer paling ganteng satu gedung ini memang menjadi pusat perhatian. Apalagi saat tahun pertama Andra bekerja di sini. Dari awal, rumor wajah gantengnya memang sudah menyebar. Lalu malah sempat manggung di kantor saat acara Agustusan ditahun pertamanya bekerja itu. Sejak itu, nama Andra selalu populer.
"Lo udah punya cowok?"
Waaaaah. Teman-teman Raisa jelas berseru. Andra terpaksa mengajaknya agak jahh dari keramaian. Raisa jadi gugup ditanya begini. Apa maksud pertanyaannya? Apa lelaki ini tertarik padanya.
"Emangnya kenapa, pak?"
Ia hanya beberapa kali pernah mengobrol dengan Andra. Tapi waktu itu, ia menangkap kalau Andra tampaknya tak tertarik padanya. Padahal banyak lelaki lain yang tertarik padanya. Apa sekarang baru tertarik?
Andra mengeluarkan ponselnya dengan segera. Lalu mencari foto Ardan dan menunjukkannya pada Raisa. Ekspresi wajah gadis itu langsung berubah. Apa maksud Andra dengan memperlihatkan foto ini padanya?
"Ini temen gue. Kalo lo mau, gue mau kenalin lo ke dia."
Hahaahahaha. Gadis itu kehilangan kata-katanya untuk sesaat. Syok karena mau dikenalkan pada siapa tadi? Astagaaa. Gak salah nih, Andra?
"Memangnya......pak Andra udah punya pacar?"
"Aaah...enggak..ini biar dikenalin ke temen gue. Ya kalo lo emang gak mau, gak apa-apa."
Ia paham kok kalau itu penolakan tapi tampaknya gadis ini tak enak hati menolaknya. Akhirnya ia membalik badan. Ternyata tak mudah ya mencari untuk Ardan? Hahaha. Apa ia perlu bilamg embel-embel anak konglomerat? Hahaha. Tapi nanti jadinya tak tulus. Lebih baik ia cari perempuan lain saja. Ia segera pergi mencati perempuan lain karena Raisa menolak secara halus. Gadis itu berdesis sendiri. Ia pikir Andra ingin mendekatinya meski ia juga tak menangkap gelagat Andra yang aneh akhir-akhir ini.
"Yaaah, Dra. Sama lo aja gimana?"
Hahahaha. Beberapa perempuan yang ia tawarkan malah ingin berkenalan dan lebih dekat dengannya. Ia geleng-geleng kepala.
"Ganteng gini temen gue masa pada gak mau sih?"
Ia masih menunjukkan fotonya pada mereka. Mereka justru menatap Andra.
"Lo sehat, Dra?"
Haahahaa. Andra berdesis ingin tertawa juga. Bahkan hingga tiga hari, tak ada satu pun karyawan di kantornya yang mau diajak untuk berkenalan sengan Ardan. Waktunya hanya tinggal dua hari. Tapi sialnya satu hari hilang karena ia sibuk mengurus visanya ke kedutaan. Tersisa satu hari dan ia sudah menanyakan hampir ke semua karyawan yang ia kenal. Sejauh ini belum ada yang mau. Ia harus bagaimana? Kenapa susah sekali mencari satu perempuan saja hah? Emangnya Ardan sejelek apa sih?
Gak jelek sih. Andra yang salah memperlihatkan foto. Ia malah menunjukan foto mereka terakhir bermain futsal di mana Ardan terlihat paling dekil dan tenggelam di antara cowok-cowok ganteng yang lain. Iya lah. Wong di kirinya ada Ferril dan di kanannya ada Andra. Hahahaha.
@@@
"Maaa.....Andrea baik loh. Dia juga gak pernah pacaran eeh ada sih beberapa kali sama cewek waktu kuliah," ia menghela nafas. Meski Andrea mengaku kalau terpaksa menerima mereka karena tak tega menolaknya. Shana yang juga menyimpan rasa sempat kecewa tapi ya sudah lah. Ia juga hanya teman dengan Andrea saat itu kan?
"Mama bukan masalah itu. Hanya kurang srek aja. Kamu cari aja yang lain. Mama susah kalo udah gak srek dari awal, feeling-nya pasti gak enak."
Ia menghela nafas. Susah sekali meluluhkan hati orangtuanya. Mamanya tetap saja tak mau. Bahkan teleponnya malah ditutup. Ia harus bagaimana?
Ia membaringkan tubuhnya karena frustasi sendiri. Ada email yang baru saja masuk. Pemberitahuan kalau visanya sudah selesai. Ia jadi tak tertarik dengan perjalanan ini gara-gara ini. Tapi harus tetap menyemangati diri. Akhirnya ya curhat dengan teman satu kosnya. Setidaknya, meluapkan sedikit isi hati.
"Pengalaman si Alid ya. Temen kita juga nih. Lu ingat apa nasehat dia terakhir waktu kita video call?"
Ia terdiam. Ia tentu tahu Alid karena teman dekat mereka juga. Alid adalah yang paling cepat menikah di antara mereka berlima. Hanya berselang satu tahun setelah lulus, Alid dilamar oleh seorang laki-laki yang katanya sudah dikenal cukup lama. Ya karena rumahnya juga tak begitu jauh dari rumahnya Alid. Setahun kemudian dikabarkan bercerai. Kenapa?
Alid tak menceritakannya secara detil. Bahkan hingga kini pun sebenarnya masih teka-teki bagi mereka. Mereka hanya menebak-nebak kakau tampaknya Alid sudah bercerai. Ya apalagi dengan nasehat terakhir kali yang mengatakan kalau....
"Kalau mau nikah itu, jangan merasa benar sendiri. Jangan abaikan firasat orang-orang sekitar terutama orangtua. Mereka bukannya sok tahu tapi mereka sudah jauh lebih lama hidup dibandingkan kita. Kadang kepekaan mereka itu memang benar adanya meski itu sesuatu yang sangat sulit dijelaskan. Tapi sekecil apapun itu, jangan diabaikan. Karena kita itu gak lebih tahu dari mereka. Kita ketika di posisi akan menikah, sudah berbunga-bunga dan terkadang gak perduli lagi dengan tanda-tanda kecil yang mungkin malah menjadi pertanda musibah diwaktu mendatang."
Nasehat itu tampak sederhana namun sangat dalam. Shana merenunginya kembali. Meski hanya beberapa kalimat tapi maknanya memang sangat dalam. Alid mengatakan itu berdasarkan pengalaman yang tak bisa ia ungkapkan. Siapa yang bangga dengan perceraian? Ia pun tak pernah berpikir kalau akan bercerai secepat itu. Tapi setidaknya ia punya pelipur laranya. Anak perempuan satu-satunya yang ia besarkan.
"Gue sebetulnya gak masalah juga lo sama Andrea atau siapapun. Tapi kalo nyokap lo udah bilang begitu, ikuti aja, Shan. Kita kan gak tahu. Yang lebih lama hidup itu nyokap lo. Yang lebih banyak bertemu orang juga nyokap lo. Mungkonnsekarang omongannya belum jadi nyata. Tapi nanti? Kita gak pernah tahu sih, Shan. Banyak juga yang pernimahannya bubar karena baru sadar kalau firasat orangtua mereka benar. Tapi masih mgotot menikah. Awal mungkin bahagia. Seiring waktu berjalan, siapa yang akan tahu sih? Kita gak pernah tahu."
Ya. Ia juga sebenarnya tak bermaksud membuat Shana berkecil hati. Ia tahu kalau Shana akan galau juga karena perkataannya. Tapi ia juga ingin Shana bisa berpikir lebih jernih dalam mengambil keputusan.
"Gak ada salahnya lo coba cari tahu lagi tentang Andrea. Setidaknya biar gak gegabah juga. Ini peluanganya mungkin 50:50."
@@@
"Apaan sih?"
Ia heran. Baru saja tiba di kamtor pagi ini tapi banyak yang mengerumuni papan pengumuman di lobi kantor. Ada wajah anak konglomerat di sana yang ditempel dengan judul, galang jodoh. Hahaha. Yang berminat berkenalan dengan cowok ini, silahkan hubungan kontak berikut yang tak lain adalah nomor baru yang sengaja dibeli Andra. Ia frustasi karena hanya tersisa hari ini. Bahahaha.
Andra tentu sudah menghubungi banyak teman mereka. Bahkan beberapa teman kampusnya. Kalau teman SMA kan sudah pasti tak ada yang mau. Makanya ia sedang kesulitan sekarang.
Danita geleng-geleng kepala. Ternyata pengumuman semacam itu. Tak ada yang berminta menghubungi Andra meski ia menunggu sampai sore hari. Danita masuk ke ruangannya dan melihat Andrea sudah berada di depan laptop. Ia berdesis.
"Lo!" ia kesal sekali. "Gue telepon lo gak angkat-angkat. Ngapain aja sih semalem?"
Ucapannya yang tak terkontrol itu tentu saja mengundang telinga-telinga orang di sekitar mereka. Sejujurnya, Andrea sempat ditanya oleh teman-temannya kemarin ketika makan siang tanpa Danita. Mereka bertanya karena penasaran dengan hubungannya dan Danita. Tentu saja ia hanya bilang teman. Memangnya ia gila apa? Danita kan sudah menikah. Ia tak mungkin mendekatinya. Ya dari sebelum menikah, ia juga tak berniat kok.
"Dre!"
Bahunya diguncang-guncang. Ia mendengus dan terpaksa menatapnya. Ia agak menghindar karena takut ada rumor antaranya dan Danita meski berteman lama. Jelas berbeda status kalau Danjta sudah menikah bukan?
"Duduk," titahnya. Perempuan itu malah terkekeh sambil menaruh tasnya lalu menoleh ke arah Andrea yang masih sibuk menatap layar laptop di depannya. Andrea mengambil ponsel lalu mengetik sesuatu dan mengirimnya pada Danita.
Danita awalnya bingung. Tapi Andrea memberikan kode pada Danita untuk membuka ponselnya.
Kita temenan gue tahu. Tapi lo harus tahu posisi lo udah bini orang. Gue gak mau orang berpikir enggak-enggak hanya karena kita deket.
Danita mendengus begitu membacanya. Ia dongkol lah. Ia membalasnya dengan segera.
Mereka gak tahu apa-apa kali. Udah biarin aja. Kayak lo pernah nanggepin omongan orang aja!
Baginya itu tak penting. Tapi Andrea yang gusar. Cowok itu hanya bisa mengusap wajahnya. Ia frustasi sendiri.
"Karena ini lo gak angkat telepon gue? Nyantai kali, Dre."
Ia malah terkekeh-kekeh. Mana bisa Andrea santai soal ini? Meski ia hanya bisa menyimpannya dalam kegelisahannya sendiri. Danita dengan santainya berkisah soal kejadian semalam saat ia memergoki suaminya mengirim pesan pada seseorang. Entah siapa, ia juga tak tahu. Ia sedang mencari tahu.
Sebetulnya, Danita itu tak sadar. Ia tak ingin kehilangan suaminya. Tapi ia juga tak ingin kehilangan Andrea jika lelaki itu menikah dengan perempuan lain. Ia serakah? Anggap saja begitu.
"Lagian lo nikah sama cowok lain. Padahal kalo sukanya sama Andrea ya jujur kali, Dan."
Dan akan selalu ada perdebatan dengan temannya yang satu kampus dengannya dan juga Andrea. Yang tahu kisah di antara keduanya. Padahal tak pernah terjadi apa-apa. Tapi terkadang perempuan bisa terbawa perasaan hanya karena perlakuan gentle seorang laki-laki. Padahal mereka pun hanya menolong. Bukan karena naksir atau sejenisnya.
"Tapi lo tahu Andrea sukanya sama siapa."
"Serius? Serius suma sama cewek itu?"
Ia mengangguk-angguk. Memangnya ada cewek lain lagi?
"Yang hidungnya pesek itu, Dan?"
Danita menyemburkan tawa. Biar pesek, tapi Shana cantik. Hanya orang lain pasti akan selalu memcari kekurangannya.
"Lo jahat banget sih."
"Ya mending elo lah. Lo sama Andrea itu pas banget, Dan. Proporsi badannya aja sama-sama tinggi. Lah tuh cewek kan gak tinggi-tinggi amat. Ya kan?"
Ya memang tak tinggi. Hanya sekitar 158 cm. Memangnya salah?
Sialnya, Andrea tak mendengar itu. Sementara Danita tampak mengaduk-aduk minumannya.
"Terus laki lo gimana tuh?"
Ia mendengus. Ia tak tahu. Tapi ia belum ingin kehilangan. "Gue pengencari siapa selingkuhannya itu. Secantik apa sampai dia gak mau sama gue."
Temannya geleng-geleng kepala. "Lo aja dia gak mau ya. Si Andrea juga tuh. Bucin banget sama satu cewek."
Danita mengangguk-angguk.
"Kenapa lo gak tembak duluan sih dulu? Lo inget kan kalo Andrea pernah pacaran waktu zaman kuliah sama Eka terus siapa lagi tuh?"
Ia juga lupa. Itu masa-masa sulit baginya. Apalagi cewek-cewek itu teramat agresif. Ia dongkol sekali. Namun bersyukurnbegitu mereka putus.
"Tapi pas gue mau berencana nembak di akhir kuliah, lo tahu kan ada cewek yang ditolak sama dia? Dia gak mau pacaran lagi katanya. Dari situ, gue gak berani lah. Nanti kacau juga persahabatan gue sama dia. Seenggaknya dengan statis ini, gue bisa bareng sama dia terus."
"Mau sampai kapan?"
"Lo tahu anak-anak kantor mulai ngomongin kalian."
Ia menghela nafas.
@@@