Farras Adhiyaksa

1065 Words
"Woi, Dra! Mana lo? Mabok dulu sini?!" Ia terkekeh. Mabok kok pakek air teh. Ia geleng-geleng kepala. Ya begini lah kalau berkumpul sama orang-orang yang tidak waras. Hahaha. "Baaang! Bang Andraaaa! Iih gak asyik emang!" Arinda dan Rain memanggil-manggilnya. Ia hanya melambaikan tangan. Mendadak ingin pulang marena merasa bosan. Ya mungkin juga karena terlalu sering berkumpul dengan mereka juga. Kadang hampir tak pernah bertemu karena begitu sibuk. Tapi sekarang tampaknya mereka ya setidaknya punya sedikit waktu untuk bermain-main. Ia memilih pulang sambil menyetir dengan wajah galau menuju rumah. Jalanan Jakarta yang padat memang memuakkan. Harusnya ia tak di sini. Akan lebih baik kalau menjauh dari Jakarta bukan? Tapi ia tak bisa. Tak pernah bisa membohongi hatinya sendiri. Ia memarkirkan mobilnya begitu sampai. Tak ada yang berubah dari rumahnya. Tak banyak yang berubah. Mama yang masih riang gembira seperti anak kecil. Papa yang kocak. Adiknya? Yang terlalu sibuk dengan dunia aktivisnya sendiri. Yeah gambaran keluarga harmonis kah? Ia mendengar suara berisik dari lantai dua. Rasanya aneh sih karena meski mereka tinggal serumah lagi, ia dan Zakiya jarang mengobrol seperti dulu. Jarang pula jalan berdua. Ya karena kini telah sibuk masing-masing. Tapi selain itu, memang telah banyak hal yang berubah dari adiknya. Adiknya telah semakin dewasa. Saat mendengar keputusannya untuk mengenakan jilbab saja ia kaget. Sungguh kaget. Karena ia tak pernah berpikir kalau Zakiya akan mengenakannya. Bahkan sangat konsisten. Ya dibandingkan Zakiya, ia mungkin rasanya semakin jauh dari Tuhan beberapa tahun belakangan ini. Apa karena terlalu sibuk dengan patah hati, kesendirian, dan pekerjaan? "Ngapain?" tanyanya begitu berhenti di ambang pintu kamar adiknya. Zakiya bahkan tak perlu menoleh untuk sekedar menjawab pertanyaannya. "Nyari data-data," tukasnya. Ja sungguh sibuk. Banyak kasus yang harus ditangani. Andra geleng-geleng kepala melihatnya. Ya sejak dulu, adiknya jauh lebih sibuk dibandingkan dengannya. Ia tak suka berpolitik dalam kategori praktik langsung. Ia hanya suka membicarakan politik. "Udah dibersihin kali sama si bibi," simpulnya. Ya kalau tak ada pasti sudah dibuang bukan? Itu asumsinya. "Paling dikira sampah." Tak butuh waktu lama untuk membuat Zakiya berlari menuruni tangga dan berteriak memanggil pembantu. Andra geleng-geleng kepala lagi. Tak lama, ia tertawa melihat Zakiya bertingkah seperti anak kecil. Seperti dulu kalau ia menjahilinya. Gadis itu akan menendang-menendang angin, terduduk di atas lantai. Terdengar ocehan mamanya yang tentu saja sedikit mengomel usai tertawa melihat tingkahnya. Andra merangkulnya ketika ia sampai di tangga paling atas. "Udah gede masih aja nangis!" Bibirnya mengerucut. Walau masih ada sedikit sesenggukan. Menurut Andra, yang bertingkah kekanakan bukan hanya Zakiya. Ia juga terkadang begitu. Apalagi mamanya kan masih memanjakannya. Ya begitu lah yang namanya orangtua ya? Lalu keduanya berbaring di atas tempat tidur di kamar Zakiya. Zakiya memeluknya. Andra juga balas memeluknya. Andra menghela nafas panjang. Sungfuh tak terasa ya? Tak terasa ia dan Zakiya telah dewasa kini. "Udaaaaaah. Gak usah nangis lagi lah. Besok kan lo bisa kerjain lagi tesisnya. Cari aja datanya di internet. Pasti banyak kan?" Kiya melotot. Memangnya semudah itu mencari data? Andra terkekeh. Ia hanya bisa memberikan saran itu. Sebagai anak manajemen yang hobi menyanyi, ia hanya paham cara menulis lagu romantis. Hahaha. "Tadi abang dapat pemberitahuan dari kantor," tukasnya. Setelah beredar rumor dan atasannya sempat mengatakan itu. Ia memastikan kembaoi dengan bertanya langsung pada direktur paling tinggi. Ia berani sekali? Hohoho. Kantornya seru. Tidak seformal orang lain. "Pemberitahuan soal apa?" Kiya bertanya dengan sesenggukan yang tak kunjung berhenti. Hal yang membuat Andra malah tertawa. Ia gemas melihat Zakiya bertingkah cengeng seperti ini. "Yaaaa beberapa bulan lagi kayaknya bakalan dideportasi ke Amerika." Harusnya sih dalam beberapa minggu. Tapi tampaknya diundur karena sesuatu. Ia juga tak paham. Toh bukan urusannya juga. "Berapa lama di sana?" Ia tampak berpikir. "Eung....mungkin semingguan." Walau ia juga tak yakin. Zakiya mengerucutkan bibirnya. Ia pikir Andra akan berada sangat lama di sana. Kalau terlalu lama, ia pasti akan menangis. Hahaha. "Iiish. Kalo segitu, ya cepet baliknya." Andra terkekeh. "Kalo abang nikah gimana?" "Iiih!" ia sejujurnya paling benci kalau harus membahas itu. Hahaha. "Abang pokoknya gak boleh nikah dulu!" Andra tertawa mendengarnya. Ia kan hanya bercanda. "Farras gimana kabarnya yaaaaaaaaaa?" Zakiya terkekeh seketika karena mekihat bagaimana reaponnya. Wajahnya berubah ketika nama itu disebut. Farras Adhiyaksa. Perempuan yang dulu banyak sekali menjadi inspirasi dari lirik-lirik lagu yang pernah ia ciptakan. Sekarang ke mana lirik-lirik itu? Hahaha. "Abang inget gak? Kalo dulu abang pernah bilang ke Kiya. Kalo abis lulus S2 pengen nikahin Farras," ia melirik wajah Andra yang masam. Rasnaya ingin terbahak. "Eeeeeeeh malah ditikung sama yang lain. Aaaaaaaww!" Andra melayang sebuag jitakan di kepalanya. "Gak usah dibahas!" Zakiya terbahak puas. Ia selalu kalah kalau harus membahas hal ini. Lalu kini ia mellow lagi hanya karena satu nama, Farras Adhiyaksa. Ia termangu di kamarnya. Menatap ke arah jendela. Tak ada Farras di sana. Tapi ia seolah bisa melihat keberadaannya di kaca. Aaah perjumpaan terakhir? Sepertinya sudah lama sekali. Karena ia tentu sangat menghindarinya. Dulu, ia sempat berpikir untuk merebutnya atau kalau tak bisa, ia menunggunya. Tapi menunggu sampai kapan? Yang ada, ia hanya akan membuang-buang waktu. Terlebih sekarang, ia sudah mendengar kabar kalau Farras sudah memiliki anak bukan? Lantas di mana dan kapan tepatnya ia melihat Farras pertama kali hingga jatuh cinta? @@@ "Yang kuat kalo ngomong! Kalo kecil gitu suaranya, siapa yang bisa dengar sih?" Ia spontan menoleh. Di depannya ada tiga orang laki-laki yang sedang dihukum untuk melakukan push up. Di sebelah kiri, dengan jarak sekitar 5 meter, ada empat perempuan yang sedang dihukum. Mereka bukan terlambat melainkan salah mengerjakan tugas MOS. Sementara ketiga laki-laki di depannya ini melawan saat berada di lapangan tadi. Kala itu, Andra terpaku melihat gadis yang wajahnya sudah penuh ingus dan air mata. Anehnya tetap cantik meski ia tak berhenti sesenggukan. Esoknya, gara-gara hal itu ada keributan. Ferril mengamuk pada perempuan yang membuat Farras menangis kemarin. Bahkan Farras juga dihukum berlari sendirian mengelilingi lapangan sekolah hingga hampir pingsan. Yeah semua anak OSIS diamuki olehnya. Cowok itu memecahkan rekor tercepat sebagai murid yang mendapatkan surat peringatan di sekolah. Hanya dengan dua hari MOS. Walau setelahnya, namanya meledak. Yeah karena bagi anak-anak MOS, ia dianggap pahlawan. Hahaha. Tapi gara-gara itu, Andra sempat salah paham. Karena sempat mengira kalau Ferril adalah pacar Farras. Ia mana tahu kalau mereka adalah kembaran. Lalu ia dibuat bingung karena Farras pulang dengan Farrel usai kepalanya dielus Ferril di dekat parkiran. Yeah sempat cemburu pula pada kedua orang itu. Hingga ia menyadari nama belakang Farras. Adhiyaksa. Nama yang sama dengan Farrel dan Ferril bukan? @@@ Catatan: MOS: Masa Orientasi Siswa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD