10. Tak Segampang Itu

1151 Words
Abigail yang masih tertegun dengan ucapan dan perbuatan Kenny padanya membulatkan mata setelah tersadar dari keterkejutannya. Dia sama sekali tidak menyangka Kenny akan menemukannya di sini. Lebih tepatnya menemuinya di tempat ini setelah kekejian yang dilakukan oleh laki-laki itu beberapa saat yang lalu. “Ken? Apa yang kamu lakukan di-” Pertanyaan Abigail terpotong saat Kenny menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Tubuh Abigail menegang detik itu juga. Kenny mengeratkan pelukannya seolah sedang ingin meyakinkan sesuatu lewat pelukannya yang tak biasa itu. Kenny bisa merasakan hangatnya tubuh Abigail ketika dia memeluknya secara lembut. Perempuan yang sedang berada dalam dekapannya ini sangat kurus dan rapuh. Selama ini Kenny memang tidak pernah sekalipun memeluk Abigail. “Senang melihatmu baik-baik saja, Abbey,” gumam Kenny dengan suara bergetar menyebut nama panggilan Abigail. Kenny mengistirahatkan dagunya di atas puncak kepala Abigail. “Memangnya kamu membayangkan kondisiku seperti apa?” “Aku mau minta maaf, Abbey. Sejahat apa pun aku di masa lalu, aku mohon jangan tinggalkan aku ya. Aku janji akan bersikap lebih baik lagi padamu,” ujar Kenny mencoba untuk merayu Abigail. Dia tidak berani membayangkan akan kehilangan Abigail sebelum mewujudkan semua mimpi-mimpinya. Hanya Abigail harapan satu-satunya saat ini agar dia bisa melepaskan diri dari jerat kediktatoran sang ayah dan kakak perempuannya. Bagaimanapun caranya dia akan mempertahankan Abigail di sisinya. Setidaknya sampai perayaan pernikahan mereka yang kelima. Abigail kembali tertegun. Abigail mengepalkan tangannya yang menggantung di sisi tubuh. “Apa sikap baikmu ini ada hubungannya dengan gugatan ceraiku tadi? Apa itu semacam ancaman atau mimpi buruk buatmu?” “Nggak ada hubungannya dengan itu. Aku cuma menyesal karena udah bertindak kelewatan padamu tadi.” “Aku nggak bisa mengukur ketulusanmu. Tapi yang jelas aku nggak akan mengubah keputusanku yang tadi. Aku mohon lepaskan aku, Kenny,” ujar Abigail dengan suara bergetar. “Sebelum aku bertindak lebih jauh dari ini.” Kenny terdiam seketika. Dia melonggarkan pelukannya supaya bisa melihat ekspresi wajah Abigail saat ini. Dari dulu Kenny sangat membenci ekspresi datar Abigail. Namun kini dia sangat berharap masih bisa melihat ekspresi wajah itu lebih lama lagi. “Bisa kita lupakan sejenak soal gugatan ceraimu itu? Setidaknya kasih aku kesempatan untuk membicarakan hal itu secara baik-baik denganmu.” “Kesempatan?” “Iya, beri aku kesempatan kedua, Abbey. Aku janji akan mengubah sikapku padamu.” “Entahlah, Kenny. Raga dan fisikku terlalu lelah. Aku mau pulang,” ujar Abigail. Abigail merasa seperti bermimpi di siang bolong. Dia sama sekali tidak percaya laki-laki yang sejak pertama berkenalan dengannya selalu menunjukkan sikap dingin dan kejam itu mendadak jadi baik. Masih segar dalam ingatannya bagaimana tadi Kenny menghajar tubuhnya habis-habisan. Sehingga membuat dia terpaksa harus melakukan visum sebagai pegangannya jika Kenny mempersulit proses perceraian mereka nantinya. Sekarang Kenny tiba-tiba muncul di hadapannya setelah mencarinya kemana-mana lalu mengatakan hal-hal yang sangat tidak akan mungkin diucapkan oleh seorang Kenny Dirgantara yang sangat angkuh dan sombong itu. Sikapnya sangat aneh saat ini. Abigail menilai Kenny yang sedang berdiri di hadapannya adalah bukan Kenny yang selama empat tahun dikenalnya. Namun bukannya merasa senang dengan sikap suaminya itu, Abigail justru merasa was was. Dia tahu Kenny sangat membencinya dan selalu menganggapnya tak lebih dari sampah yang menjijikkan, bahkan derajat asisten rumah tangga lebih tinggi darinya di mata Kenny. Abigail mempunyai keyakinan tersendiri bahwa di balik perubahan sikap Kenny yang secara mendadak, laki-laki itu pasti mempunyai tujuan tertentu. Sepertinya berhubungan dengan harta warisan dari kakeknya. Setidaknya itu yang tebersit di pikiran Abigail saat ini. “Kalau boleh tahu apa alasan kamu mendatangi rumah sakit ini? Sedangkan kita punya rumah sakit keluarga? Kalau kamu memang sedang sakit kenapa nggak periksa di RS. Dirgantara aja? Kamu bisa sekalian bedrest di sana kalau memang perlu,” tukas Kenny setelah melepas pelukannya. “Kamu lupa kalau kamu dan keluargamu melarangku menggunakan fasilitas milik Dirgantara tanpa seizin kalian? Sementara kalau aku harus meminta izin lebih dulu pada kalian, yang ada aku akan semakin kesakitan dan tentunya nggak bisa melanjutkan pekerjaanku. Kalian akan memaki dan mengomeliku nanti,” ujar Abigail datar. “Memangnya kamu sakit apa? Kalau ini soal tamparan tadi, aku minta maaf ya. Sekarang kita obati di RS. Dirgantara saja. Nggak enak kalau ada yang tahu kita di sini sekarang. Nanti dikiranya jadi mata-mata untuk menyelidiki tentang Santana Group.” “Aku sudah mendapatkan pengobatan. Sekarang mau pulang,” ujar Abigail tanpa ekspresi. “Kalau gitu pulang sama aku aja,” ujar Kenny. “Kamu yakin mau satu mobil bersamaku? Bukannya kamu nggak pernah mau satu mobil denganku?” Kenny seketika terdiam seraya menatap Abigail tajam seolah tidak terima pada ucapan bernada penolak itu. Namun kemudian tatapan tajam tersebut berangsur lembut lalu meraih tangan Abigail dan menggandeng istrinya itu menuju dropzone. “Kamu tunggu sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran,” ujar Kenny sebelum pergi meninggalkan Abigail. Kata-kata bernada lembut itu membuat Abigail tercengang mendengarnya. Abigail masih tidak percaya pada semua hal yang terjadi dalam beberapa menit terakhir. Dia tidak menyangka Kenny akan mengajaknya pulang bersama. Tapi Abigail terus bertanya-tanya alasan di balik perubahan sikap Kenny yang terlalu drastis itu. Biasanya Kenny tidak pernah mau satu mobil dengannya. Bahkan laki-laki itu pernah menjual mobil kesayangannya karena pernah digunakan oleh Abigail untuk mengantar kakek Beni ke rumah sakit. Alasan menggunakan mobil Kenny karena saat itu kebetulan Kenny baru pulang dan langsung dicegat oleh sopir pribadi kakeknya ketika mobil laki-laki itu melintas di depan beranda utama. Ketika Abigail sedang berpikir keras sebuah mobil sport warna merah kesayangan Kenny berhenti di dropzone. Abigail kembali tercengang. Dia kira Kenny hanya akan mengerjainya dengan memintanya menunggu di drop zone lalu pulang tanpa pamit. “Ayo, naik. Ditunggu mobil lain di belakang,” ujar Kenny membuyarkan lamunan Abigail. Tak ingin membuat runyam di tempat umum Abigail segera melangkah menuju mobil. Kenny membukakan pintu mobilnya dari dalam. Kemudian langsung tancap gas begitu melihat Abigail sudah duduk dengan nyaman di bangku penumpang. “Lain kali kalau mau pergi-pergi ngomong aja sama aku. Biar aku yang antar kamu ke manapun tujuanmu, Abbey,” ujar Kenny setelah mobilnya telah melaju sejauh beberapa meter meninggalkan Santana Hospitals. “Nggak usah repot-repot. Aku bisa minta antar sopir. Lagipula aku mau ke mana memangnya? Semua tempat yang akan aku kunjungi sudah diatur sedemikian rupa oleh keluargamu,” ujar Abigail dingin. Kenny menyemburkan napasnya kasar. Dia mulai tidak bisa menyembunyikan kekesalannya, terlihat dari rahangnya yang mengeras menahan amarah. “Mulai sekarang aku yang akan mengatur jadwalmu. Kamu juga bebas kemanapun kamu mau pergi asal bersamaku.” “Lebih baik katakan saja, sebenarnya apa tujuanmu sampai-sampai harus mengubah karaktermu sedemikian rupa, Kenny? Aku tahu kamu tersiksa luar biasa karena harus bersikap baik padaku. Jangan memaksakan diri menjadi orang lain karena itu sangat menyakitkan,” ujar Abigail dengan ekspresi datar. Tidak hanya rahangnya saja yang mengeras untuk menunjukkan bahwa Kenny tengah menahan amarah. Cengkramannya di roda kemudi juga membuktikan kemarahannya yang tertahan. “Apa aku sekejam itu selama ini, sampai kamu nggak bisa melihat sedikit saja kebaikan dalam diriku, Abbey?” ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD