BAB 02

1002 Words
Hening. Hening sekali. Eric hanya duduk sambil memandangi istrinya sedang memasak olahan telur. Ia mengagumi tubuhnya yang sudah terbalut dress katun lembut selutut. Apapun yang dipakai oleh wanita ini selalu membuat dirinya seksi dan menawan. Iya, seorang wanita kelas atas memang berbeda. “Maafkan aku, untuk sementara, kita makan olahan telur saja, masih belum belanja,” kata Sherry menyodorkan piring penuh telur orak arik lezat. Ia kemudian duduk di kursi depan Eric, lalu menikmati telurnya pula. Eric mencicipinya. Selama ini lidahnya terbiasa makan makanan berkualitas yang disajikan chef pribadi. Namun telur yang dimasak oleh Sherry jauh lebih lezat dari semua masakan itu. Tentu saja ini diakibatkan kepuasan hati. Seorang Nona Saunders memasak untuknya. “Aku sudah membuatkan kartu kredit untukmu, buatlah berbelanja besok,” kata Eric bersikap dingin, “jangan irit, seleraku mahal, jangan sampai sarapan besok pagi hanya melihat roti dan selai.” “Iya, aku akan belanja nanti sore.” “Jangan mengecewakanku, Nona Sherry Saunders pasti sangat berbakat melakukan apapun'kan?” Sherry sangat tidak suka dengan sindiran demi sindiran yang dikatakan suaminya. Dia pun meralat, “Sherry Bryson.” “Oh, kukira kau malu menyandang nama itu, aku tidak sabar melihatmu malu saat kau harus bertemu teman-temanmu. Sherry Saunders menikahi Eric Bryson.” “Kenapa aku harus malu?” “Benar juga, kenapa harus malu? Eric Bryson sudah kaya dan keluarga Saunders sudah jatuh miskin.” “Kau tidak perlu mengingatkannya terus. Aku tidak malu kalaupun harus keluar dari rumah ini, aku setuju menikah denganmu demi melunasi hutang ayahku.” Eric mengeluarkan umpatan jalanan dari bibirnya. Dia terlihat sangat tidak suka dengan salah satu fakta yang dikatakan oleh Sherry. Sherry sedikit takut dengan sikapnya. Sikap itulah yang membuat sosok lembut seperti dirinya tidak mungkin bertahan hidup dengan orang sekasar Eric. Dia menegaskan, “Aku minta maaf kalau ayahku menyusahkanmu.” “Kenapa kau yang minta maaf!” bentak Eric tidak tahan, “aku ingin sekali membunuh ayahmu karena membuatmu susah!” Awalnya Sherry terperanjat dengan bentakannya. Ia menggelengkan kepala cepat. “Jangan lakukan apapun padanya, Eric.” “Mana ada waktu aku mengurusnya?” “Semoga ayah baik-baik saja.” “Kau terlalu baik, dia bahkan tidak peduli kau akan digiring masuk ke tempat pelacuran. Sekali lagi, berterimakasihlah padaku aku melunasi sisa hutangnya.” “Terima kasih.” “Cih!” reaksi benci lagi-lagi terlihat dari mimik wajah Eric. Dia sangat tidak suka dengan sikap tabah yang dimiliki Sherry. Sherry hanya tersenyum kecil. “Aku sungguh menghargainya, Eric.” “Sudahlah, besok aku mengharapkan sarapan pagi yang enak ketimbang ini,” kata Eric seolah ingin menghindar. Dia menyelesaikan makannya tanpa sisa. Lalu segera berdiri berniat pergi ke ruang kerjanya. Sherry melihat piring itu. “Kau tidak suka?” “Tidak, rasanya hambar,” jawab Eric berbohong. Dia segera berjalan menjauh. “Kau menghabiskannya.” “Aku menghargai makanan, Sherry, seburuk apapun makanannya akan kuhabiskan. Lagipula aku lapar, jangan senang hati hanya karena telur hambar itu habis.” Sherry mengambil piring-piring dan mencucinya di wastafel. Kemudian ia membersihkan meja dapur. Setelah tidak mendapatkan perintah lagi dari Eric, dia merasa waktu siangnya bebas. Padahal ini adalah hari pernikahannya, tapi semuanya terasa tidak menggembirakan. Tidak ada perayaan, tidak ada keluarga dekat atau teman, tidak ada makan bersama. Ah, sebuah pernikahan yang dingin. Namun bukan dirinya kalau tidak dapat membahagiakan diri dalam keadaan sulit. Halaman belakang. Iya, halaman belakang rumah mewah ini yang merupakan taman bunga pribadi Sherry. Dia bersyukur suaminya tidak menghancurkan hutan kecilnya. Rumah ini telah dipasang tembok tinggi yang diselimuti oleh tanaman bersulur. Dari mulai bugenvil hingga mawar rambat, bunga-bunga berbagai warna terlihat sangat indah. Ada kolam ikan kecil lengkap dengan air mancur yang bersebelahan kursi-kursi taman. Sekalipun rumah sudah seperti penggambaran neraka dengan kedatangan Eric yang tak berperasaan. Akan tetapi surga dunia di belakang rumah dapat menepis sedikit kepedihannya. Wanita ini mulai menyalakan kran dan menyemprotkan air ke semua tanamannya. Walaupun ada penyiram otomatis, memang lebih menyenangkan kalau menyiramnya sendiri. Ia ingin berlama-lama disana sebenarnya. Namun berlalunya detik jam sudah mengharuskan ia berbelanja. Wanita ini menyibukkan diri dengan urusan rumah. Sebenarnya dia hanya ingin menghindari Eric. Tak ingin rasanya satu kamar dengannya. Takut. Ia takut membayangkan. Malam yang dingin, udara di luar sangat dingin karena sedang turun salju. Saat itu ia makan malam sendirian karena Eric tidak mau turun dari ranjang kamar. Sherry akhirnya menaiki anak tangga menuju ke kamar utama. Langkahnya semakin berat saat mendekati tujuan. Dia berusaha menepis keraguannya ketika sudah membuka pintu. Ruangan sudah remang karena hanya disinari lampu meja. Aroma mawar semerbak di udara. Benar-benar sebuah kamar pengantin. “Hei, Sayang, kau kemana saja?” sindir Eric yang terlihat sudah telentang di atas ranjang mewah. Ia sudah telanjang d**a seolah memperlihatkan. "Aku sudah merindukanmu ini, sungguh, dari atas sampai bawah, aku sudah sangat menginginkanmu." Sherry menutup pintu. Ia langsung mengambil baju tidur dari dalam lemari. Kemudian berganti di ruang khusus ganti. "Aku ganti baju dahulu." “Kau terlihat gugup sekali di malam pernikahan kita, kubilang'kan aku tidak akan menyentuhmu, tidak perlu setakut itu,” sindir Eric lagi saat melihat istrinya masuk ke dalam kamar mandi dalam balutan piyama sutra merah. "Aku hanya bilang aku menginginkanmu saja." Sherry keluar setelah beberapa menit. Dia tidak yakin bisa tidur dengan nyenyak di samping Eric. Sebagai wanita tulen, dia tertarik secara naluri dengan sosok pria seperti itu. Wajah rupawan, kulit bersih, d**a bidang, tangan berotot, pinggang kencang. “Selamat tidur, Eric,” kata Sherry dengan sopan sambil menaikkan tubuhnya di atas ranjang. Dia segera menutupi tubuhnya dengan selimut hingga leher seolah tidak ingin lama-lama dinikmati oleh mata suaminya. “Mana ciuman selamat malam untukku, Sayang?” goda Eric mendekati tubuh Sherry, lalu membelai kulit wajahnya dengan punggung tangan. “Eric-” Eric semakin mendekatkan jarak tubuh mereka. Ia memainkan bibir bawah Sherry dengan sejuta pikiran sensual. "Hanya ciuman selamat tidur." Sherry berdegup kencang karena embusan napas Eric menghangatkan kulit wajahnya. Sesuatu yang tidak pernah dia rasakan selama ini. Mereka berciuman singkat. Eric tidak ingin menggoda Sherry lebih lama. Jadi dia segera menjauh setelah merasakan kelembutan bibir itu. “Kenapa kau ini sangat menggoda? Namamu benar-benar cocok dengan bibirmu, rasanya lembut dan manis seperti Cheri,” pujinya segera merebahkan diri lagi di ranjang. Sherry memalingkan tubuh tidak ingin Eric betapa merah pipinya saat ini. Dia mengatur napasnya agar lebih teratur. Eric kembali berkata, “aku lupa memberitahumu, hari Sabtu nanti kita mengadakan pesta perayaan penikahan kita di gedung sewaanku. Kamu harus tampil lebih menawan. Tunjukan kalau kau sangat cantik, kau ini Sherry Saunders, aku sangat ingin tahu pendapat orang ketika aku bersamamu di pesta. Mereka sudah pasti akan iri melihatku berhasil berada di kawasan ini dan menikahi seorang gadis kesayangan Mr. Saunders.” “Iya.” “Baiklah, selamat tidur, Sherry. Semoga mimpi indah.” “Selamat tidur, Eric. Semoga mimpi indah pula.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD