BAB 03

1249 Words
Sejak bangun dari tidur, Sherry hanya termenung di meja makan. Dia sudah menyedu kopi untuk suaminya. Pikirannya kemana-mana. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan kalau berada di pernikahan semacam ini? Tidak diinginkan, hanya dianggap sebagai piala kemenangan? Eric menuruni anak tangga dengan masih mengenakan kimono merah. Ikatan talinya tampak longgar. Dia jelas tidak memakai apapun dibaliknya. Kulit tropis yang ia miliki sangat memikat, terutama bagian d**a bidangnya. “Pagi, Sherry,” sapanya setengah malas. Dia menghempaskan diri di atas kursi depan sang istri. Ia menyapa balik, “Pagi, aku sudah membuatkan kopi untukmu.” “Terima kasih.” “Sama-sama.” “Bagaimana malammu? Nyenyak? Atau sudah bermimpi indah?” “Nyenyak.” “Kebetulan semalam aku bermimpi kita sedang menikmati waktu berdua di atas pasir pantai, romantis sekali.” “Oh.” “Kau mau tahu kita berbuat apa?” “Apa?” “Tentu saja bercinta.” Eric tertawa dengan jawabannya sendiri. “Kau pikir apa keinginanku padamu hingga sampai terbawa mimpi?” Sherry menyunggingkan senyuman palsu. “Begitu ya—” “Kau memang sangat buruk kalau ingin mengelabuiku, Sayang,” goda Eric menyeringai culas. Ia membelai cangkir kopinya yang masih hangat. Sindiran pun keluar dari mulutnya, “padahal Ms. Saunders terkenal akan senyuman tulusnya—yang mampu menaklukkan hati semua laki-laki.” Sherry perlahan berdiri, lalu berpamitan halus, “aku mengurus cucian kita kemarin.” “Cucian? Untuk apa kamu peduli hal semacam itu, hari ini pengurus rumah tangga kita akan datang, tugasmu bukan mengurus baju-bajuku, Sherry,” terang Eric menyeruput kopinya sedikit. “Tugasmu adalah menyenangkan hatiku, sejauh ini belum berhasil, jadi sebaiknya lakukan sesuatu ketika aku pulang kerja nanti,” tambahnya kemudian. “Apa yang kau inginkan?” “Cobalah memakai pakaian yang menggoda, dan hentikan pandanganmu padaku yang seperti melihat sampah di antara emas.” Sherry mengeryit. Dia tidak tahu sampai kapan Eric akan menuduhnya begitu. “Eric, aku tidak melihatmu seperti itu.” “Pandangamu itu, iya itu—sekarang pun masih sama,” Eric tidak bersemangat. Ia dangan benci dengan tatapan 'kasihan' orang lain. Aura di sekitarnya menjadi gelap karena kekecewaannya. “Apa salahku? Kenapa aku selalu salah di matamu?” tanya Sherry berusaha menghindari tatapan mata dengan Eric. Eric mengulurkan tangannya ke arah telapak tangan kanan Sherry yang ada di atas meja. “Aku sangat ingin menyentuhmu.” Sherry lagi-lagi menghindari kontak fisik. “Eric—maafkan aku, berikan aku waktu.” “Dasar tidak tahu diri! Kau kira siapa yang menolongmu!” bentak Eric sambil menggebrak meja. Dia membuat cangkir bergetar sehingga kopinya tumpah sebagian. Sherry menunduk saja. Dia ingin sekali melarikan diri, namun tidak berani menggerakkan tubuh sejengkal pun. Eric terus memarahinya, “jangan bertingkah polos padaku!” “Aku—” Sherry berusaha mengendalikan detak jantungnya yang tidak karuhan. “Kau sangat memuakkan, Ms. Saunders,” potong Eric seraya melempar cangkir kopinya sampai terjatuh ke lantai. Suara pecahannya mampu membuat pasangan ini hening selama beberapa detik. Sherry kemudian ingin membersihkan pecahannya sekaligus genangan sisa kopi. Air matanya sudah menggantung ingin terlepas dari kelopaknya. Eric menggapai tangannya cepat. Dia menegaskan, “jangan dibersihkan, sudah kubilang membersihkan kekacauan rumah ini bukan tugasmu.” Ia kemudian melepaskan tangan wanita itu sembari sedikit meledeknya dengan sombong. “Oh, maaf, Ms. Saunders, aku punya kebiasaan buruk, aku selalu ingin menyentuh wanita-wanita cantik.” Sherry membelai tangannya yang sakit karena cengkraman barusan. Dia memandangi Eric tanpa tahu harus membalas apa. Kalau segala ucapannya salah, untuk apa menanggapinya? Bukannya pergi, Eric malah mendekati Sherry. Lalu mendorongnya hingga sampai tembok samping lemari pendingin. Dia sengaja membuat wanita itu tidak bisa melepaskan diri. Satu tangan di tembok, satu tangan membelai pipinya. Ia mencondongkan wajah di antara surai lembut Sherry. Aroma manis khas yang sudah lama dia rindukan. Masih sama, semuanya masih sama. Inilah Sherry. Apapun yang melekat di tubuh itu adalah obsesinya. Sherry tidak mampu mengendalikan diri. Napasnya memburu karena hidung mereka saling menyentuh. “Eric?” “Kau terlalu menggoda,” bisik Eric. Kemampuannya dalam merayu sudah lama terasah. Untuk membangkitkan keinginan badani seorang wanita adalah hal mudah. Dia memulai ciumannya dari pinggiran bibir Sherry, lalu cuping telinganya, sementara tangan sibuk melepaskan kancing depan piyama wanita itu. Semua dilakukan dengan cara sensual. Helaan napas hangat sang istri meningkatkan hasratnya. Ia menciumi leher halusnya, turun—turun—turun hingga bahu. Dalam sekejab saja kemeja wanita ini sudah setengah terbuka. “Aku menginginkanmu,” desah Eric mulai tidak bisa berpikir jernih saat melihat sekilas kulit d**a Sherry di balik baju sutranya. Ketukan keras terdengar di depan. Suara bel bersahut-sahutan selama beberapa saat. “Eric?” panggil Sherry mulai tersadar. Ia berusaha membenarkan kancingnya sembari mendorong d**a Eric. “Eric, kumohon, ada orang di luar—” “Mr. Bryson, selamat pagi!” seru seseorang di depan pintu depan. “Mr. Bryson? Mrs. Bryson?” Eric mengenggam pergelangan tangan Sherry karena tidak ingin pemandangan indah tubuh itu lenyap. “Aku sudah tidak bisa menahannya lagi,” bisiknya dengan napas memburu. Ia kembali menciumi leher Sherry dengan sedikit lebih kasar. Ia tidak ingin wanita itu menyudahi apa yang belum dimulai. “Ada—” “Kau menginginkannya juga, aku bisa merasakannya,” bisik Eric mulai meraba pinggang Sherry. “Mr. Bryson!” panggil seseorang lagi dan lagi, “Mrs. Bryson?” Sherry tidak nyaman dengan panggilan dari panggilan itu. “Eric—” “Sialan!” umpat Eric akhirnya melepaskan diri, “siapa yang berani menggangguku!” Dia membenarkan kimononya yang sudah hampir melorot. Lalu berjalan dengan langkah cepat ke arah pintu depan. Sudah jelas dia ingin mendamprat siapapun yang mengganggu. Aura seksualitas masih berada di sekitar Sherry. Dia tergesa-gesa memasang kancingnya kembali. “Astaga.” Ia membelai dadanya yang masih berdebar-debar. Mungkin dia tidak mau mengakuinya, namun perlakuan barusan benar-benar dia nikmati. Tak lama kemudian, Eric kembali dengan membawa tiga orang setengah baya, satu wanita, dua pria. Ia menunjuk wanita agak gemuk yang sudah berseragam hitam, “Sherry, ini Mrs. Grange, pengurus rumah kita,” menuding pria berjas hitam formal,  “lalu ini Mr. Linton, sopirmu,” pandangannya beralih ke pria satunya yang sudah berpakaian ala tukang kebun, lengkap dengan topi bambunya, “—dan Mr. Elwood, tukang kebun kita, aku tahu kebiasaanmu berkebun, tapi kali ini—biarkan Mr. Elwood yang mengurusnya.” Eric mengarahkan tangannga pada Sherry, “Ini istriku, Sherry. Mungkin kalian mengenalnya, dia yang paling terkenal di kawasan Paradise ini'kan? Sherry Saunders.” Sherry tersenyum pahit pada mereka. Dia tahu sikap yang Eric bawakan seolah-olah sedang memamerkan penghargaan pada mereka. “Salam kenal.” “Ayah anda sangat berjasa di kawasan tempat tinggal saya dulu, Mrs. Bryson,” puji Mrs. Grange tersenyum penuh kekaguman. Wanita ini tidak menyangka Sherry Saunders ternyata jauh lebih anggun daripada yang dikatakan semua orang. “Sayangnya Mr. Saunders sedang banyak masalah, aku sudah menanganinya,sebagai menantu yang baik,” kata Eric lagi-lagi hanya ingin meningkatkan 'nilai' dirinya di hadapan semua orang. Semua pun menaruh hormat padanya. Eric terus saja menceritakan tentang kondisi rumah paling mewah di Paradise ini yang sudah jadi miliknya. Sherry berjalan pergi meninggalkan mereka. Dia menaiki anak tangga menuju kamar. Tidak tahu apa yang mengganggu pikirannya. Namun terasa sakit saat Eric sungguh menganggap dirinya hanya sebuah “piala”, sebuah “pencapaian” tertinggi, dimana tidak ada satu pun lawan yang bisa menandinginnya. Dialah sang pemenang. Sejak kecil, Sherry memang diperlakukan bak seorang putri dari negeri dongeng. Kekayaaan keluarga Saunders yang tiada tara membuat semua keinginannya terkabul. Dialah anak emas, mereka yang bisa berteman dengannya adalah dari kalangan baik-baik. Dia tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan dijadikan “pencapaian” dari seorang berandalan dari daerah kumuh seperti Eric. Kalau diperbolehkan memilih, dia lebih ingin melunasi hutang itu dengan cara mencicil ketimbang menikahinya. Akan tetapi semuanya sudah terjadi. Sang ayah entah ada dimana. Dia selalu berharap semoga hidupnya selalu aman dan terlindungi. Biarlah dia bertahan sampai Eric bosan dengan dirinya. Pasti begitu, bukan? Masih banyak “piala” lain di luar sana yang pasti ingin diraih Eric. Menyedihkan. Pernikahan suci dan hidup bahagia selamanya bak negeri dongeng tidak mungkin ia dapatkan. Baru masuk ke kamar, tubuh Sherry langsung dipeluk dari belakang. “Aku masih menginginkanmu,” bisik Eric menyingkap rambut wanita itu agar dapat mencium lehernya. Sherry melepaskan tangan Eric dari perutnya. “Kau tidak bekerja?” “Apa yang sudah dimulai, harus diselesaikan.” Eric perlahan meraba kancing piyama Sherry. “Aku sudah tergoda, Sayang.” Sherry memegang tangan itu seraya memberikan alasan, “Ba—Bagaimana kalau malam ini saja? Aku—ingin mandi—” Eric tahu itu hanyalah penolakan halus. Dia tidak marah, melainkan menikmati permainan Sherry. Suara gelak tawa rendah terlepas dari bibirnya. Ia membalikkan tubuh Sherry. Kemudian menyeringai lebar saat mengatakan, “Malam ini, kalau begitu, itu ucapanmu sendiri, Ms. Saunders tidak pernah berbohong'kan?” “Iya,” Sherry menahan napas saat menjawabnya. Eric mengarahkan pandangan ke d**a wanita itu, “Aku menantikan agar kulitmu lebih halus—malam ini,” lalu pergi masuk ke kamar mandi. *****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD