Chapter 5 - Pengantin Baru

2530 Words
Chapter 5 - Pengantin Baru Setelah selesai bulan madu di Singapur. Clarisa dan Rendy memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Mereka rasa seminggu bulan madu sudah cukup. Karena Clarisa juga harus kembali bekerja di Molefato Wedding Organizer miliknya. Rendy juga harus kembali jadi fotografer. Biasa kalau pengantin baru, maunya berduaan terus. Dunia serasa milik berdua. Namun seindah apapun berdua, tetap saja. Mereka harus kembali menjalani rutinitas mereka sebelum menikah. Karena masih banyak client yang menunggu hasil kerja Clarisa. Sekarang Clarisa dan Rendy sedang ada di kantor. Mereka sedang membahas tentang lensa. Mereka menjejersan satu per satu lensa yang mereka punya. Lagi-lagi Rendy menjelaskan fungsi lensa yang akan mereka pakai satu per satu. “Ini namanya lensa Kit atau lensa jenis normal. Berukuran 50-55mm dan memberi karakter bidikan normal. Gambar yang di hasilkan ga beda jauh sama yang di lihat mata. Sebuah lensa yang memetakan citra yang nampak seperti prespektif pandang normal mata manusia. Pemetaan prespektif tersebut di dapatkan karena panjang fokus lensa sebanding dengan jarak diagonal bidang fokal dengan sudut pandang diagonal sekitar 53 derajat,” jelas Rendy. “Nah kalo ini lensa wide angel, lensa ini bisa menangkap subjek luas dalam ruangan yang sempit. Karakter lensa ini adalah membuat subjek lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Dengan lensa jenis ini, kita bisa memotret lebih banyak orang yang berjejer jika dibandingkan dengan lensa kit atau lensa standar di dalam ruangan. Semakin pendek jarak fokusnya maka semakin lebar pandangannya. Lensa dengan panjang fokus lebih pendek dari pada lensa normal, sesuai dengan ukuran bingkai citra pada bidang film pada kamera film, maupun dimensi sensor pada bidang fokal pada kamera digital,” Rendy menghela napas panjang dan kembali menjelaskan pada Clarisa. “Menurut standar fotografi, lensa normal adalah lensa yang mempunyai panjang fokus mendekati panjang diagonal bidang fokal. Lensa sudut lebar dengan panjang fokus yang lebih pendek akan memproyeksikan lingkaran citra yang lebih besar ke bidang fokal. Ukuran lensa ini beragam mulai dari 17mm, 24mm, 28mm dan 35mm,” tambah Rendy. “Hhuftt.. ternyata perinciannya banyak banget yah. Terus kalo lensa fish eye?” Clarisa masih penasaran. “Lensa fish eye merupakan lensa wide angel dengan diameter 14mm, 15mm dan 16mm. Lensa ini memberikan pandangan 180 derajat. Gambar yang di hasilkan dari lensa ini akan cenderung melengkung, terdistorsi menjadi oval dan terlihat seperti gepeng,” “Lensa mata ikan adalah lensa sudut lebar dengan sudut panjang hemisperis yang sangat lebar. Lensa mata ikan pertama kali di design dan di kembangkan guna kepentingan meteorologi untuk mempelajari barisan awan. Dan pertama kali di sebut 'whole-sky lenses', lensa mata ikan menjadi populer pada fotografi umum karena distorsi citranya yang khas, gitu Clara.” Untuk kesekian kalinya manggut-manggut. Entah karena mendengarkan penjelasan Rendy atau karena paras Rendy yang begitu memukau. “Kamu ngerti kan sayang? Sama apa yang aku jelasin tadi?” tanya Rendy. “Hah? I.. iya lah ngerti emang ada berapa lensa sih Ren? Kok kamu sampai tahu sejarahnya sampe ukurannya segala,” heran Clarisa. Soalnya dari tadi melongo memandang Rendy. Namun, Clarisa tetap fokus dengan perkataan Rendy. Makin kagum saja ia pada Rendy. Pengetahuan tentang kamera dan fotografi begitu luas. Rendy tersenyum “Kurang lebih yang aku tahu. Ada sebelas yaitu lensa fokus halus, lensa kit, lensa fokus tunggal, lensa tetap, lensa fish eye, lensa wide angel, lensa tele, lensa zoom, lensa super zoom, lensa parfokal dan ambiguitas lens,” Clarisa mengetuk-ngetukan jari telunjuk ke dagunya. “Banyak juga yah, yang tadi kamu jelasin baru tiga berarti. Masih ada delapan lensa lagi Rendy. Hehe sementara itu dulu deh. Gimana kalo langsung praktek?” Usul Clarisa. “Emm ga bisa Clara, di sini objeknya kurang bagus. Tar deh kalo kita main ke luar. Biar ojeknya bervariasi. Mendingan kamu pelajarin aja dulu sebelas lensa itu. Tar aku catetin, kalo kamu engga ngerti tinggal tanya ke aku. Gimana?” Memang iya sih. Mana bagus coba viewnya di Kantor. Mau foto siapa? Karyawan kantor? Bangku? Meja? Laptop? Benar-benar tidak menarik. “Oke deh terserah kamu aja,” Clarisa pasrah. Clarisa merasa de Javu. Dulu juga Clarisa pernah dijelaskan soal lensa oleh Rendy. Namun, saat itu Clarisa mendengarkannya saat di rumah sakit. Saat malapetaka itu terjadi. Saat Rendy harus kecelakaan oleh kesalahan kecil yang di lakukan Clarisa. Kalau saja Clarisa tidak kecentilan memfoto Rendy diam-diam. Mungkin saja Clarisa tidak akan menabrak lighting. Dan Rendy mungkin tidak akan mengalami kejadian naas itu. Rendy sampai harus mengalami koma, tapi berkat semua itu. Clarisa kembali berubah. Sifat Clara kembali pada diri Clarisa yang sudah lama hilang. "Kamu janji yah Ren, jangan pernah tinggalin aku," cetus Clarisa tiba-tiba. Gara-gara teringat kejadian saat Rendy kecelakaan. Clarisa jadi mellow. Clarisa sudah cukup sakit kehilangan bundanya. Ia tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi lagi. "Iya sayang. Aku janji akan selalu disamping kamu. Kok kamu nangis, udah ah. Jadi mellow gini. Kita lanjut belajar lagi aja," Rendy mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun, Clarisa masih saja terjebak ingatan di masa lalunya. Pikirannya melambung pada masa saat Rendy kecelakaan. Tiba di lokasi pre wedding, semua sibuk dengan tugasnya masih-masing. Semua tim langsung di sibukan dengan arahan Clarisa. “Ullie lo jangan lupa cek lighting, kabel-kabel dan lain-lain. Jangan sampe ada ke salahan. Nurmala lo jangan ceroboh lagi. Ayas, gaunnya jangan sampe kotor. Rendy...” Clarisa terdiam sejenak. “Lo udah siap?” Loh? kenapa pertanyan yang keluar dari mulut Clarisa. Dia benar-benar mati kutu di buatnya. Clarisa langsung meleos pergi. Dan kembali ke clientnya. “Clara!” Panggil Rendy sambil menghampiri Clarisa. “Clara? Gue bukan Clara! Clara udah mati!!” dampratnya. “Astaga lo ngomong ke mana aja. Huftt.. emang lo mau beneran mati? Engga kan? Gue cuma mau bilang kalo lensa wide angel nya lupa gue bawa. Ga pake lensa itu ga apa-apa kan?” Clarisa malah mengerutkan dahinya. Mungkin tidak mengerti apa yang di ucapkan Rendy. “Maksud lo?” Rendy tersenyum. “Jenis lensa yang di gunakan SLR atau DSL itu banyak yang gue tau itu ada lensa fokus halus, lensa kit, lensa fokus tunggal, lensa tetap, lensa fish eye, lensa wide angel, lensa tele, lensa zoom, lensa super zoom, lensa parfokal dan ambiguitas lens. Semua itu punya fungsinya sendiri-sendiri. Kita harus menggunakan lensa yang tepat buat hasil jepretan yang bagus juga,” jelas Rendy. Clarisa malah melongo melihat Rendy. Setengah kagum, karena dia banyak tahu tentang kamera. Di satu sisi, dia juga masih terpesona dengan karisma Rendy. “Coba gue liat camera lo,” lah ko Clarisa engga nyambung sih. Dengan pasrah Rendy menyerahkan cameranya. Clarisa membidik sebuah objek di depannya. “Pake lensa yang ini juga ga apa-apa ko Ren, lensa apa yang di pake sekarang?” tanya Clarisa sambil terus melihat objek di camera Rendy. “Itu lensa kit. Bisa di bilang kamera natural. Jadi hasil jepretannya ga jauh beda sama aslinya, client juga minta pake lensa fish eye. Biar ada efek yang berbeda nantinya,” jelasnya. “Eumm gitu. Lo mau kan ajarin gue tentang foto? Berikut lensa-lensa yang kata lo tadi?” Clarisa masih fokus dengan camera Rendy, sambil sekali kali ia memotret objek yang ada di hadapanya. “Boleh, lo lagi motret apa sih?” Clarisa tersenyum jail. Rendy baru sadar kalau Clarisa sedang memfoto dirinya. “Jail banget sih! Ntar camera gue rusak kalo fotoin gue haha,” Rendy malah tertawa. “Engga kok ganteng,” ups! keceplosan. Wajah Clarisa merah padam. “Apa lo bilang tadi? Gue ga denger hhaha,” lagi lagi Rendy ngakak. “Rese lo! Udah nih!” Clarisa memberikan camera Rendy dengan kasar. “Ga usah marah juga kali. Gue kan bercanda. Iya gue denger. Lo tadi bilang gue ganteng kan?” muka Rendy mulai serius. Deg! Ya ampun tatapannya engga nahan. Bikin gue sesak napas aja. Ya Tuhan gue beneran jatuh cinta sama Rendy, gumam Clarisa dalam hati. Clarisa tersenyum malu. Rasanya malu sekali kepergok ngomong ganteng sama orangnya langsung. “Engga ko! Salah denger kali lo!” bohongnya. “Ckckck Clara Clara.. ada-ada aja lo. Akuin aja lah kalo gue emang ganteng. Hehe” Rendy nyengir kuda. “RENDY!! Jangan panggil gue Clara. Clara udah mati!!!!” Clarisa malah marah. Rendy mendekat. “Oke. Oke. Semua orang punya pilihan. Menurut gue sih lo harus berubah deh Ris, kita ga pernah tau kan hidup kita sampe kapan. Kalo iya kita berubah pas kita masih hidup. Nah kalo kita dah mati. Terus sikap kita di benci orang gimana? Bisa bisa mereka nyumpahin kita pas kita mati,” Rendy memberikan wajengan pada Clarisa. “Jangan so tahu deh. Lo ga akan pernah ngerti apa yang gue rasain,” protes Clarisa. “Apapun yang terjadi di kehidupan masa lalu lo. Biarlah berlalu. Kita harus menatap masa depan, tanpa bayangan masa lalu. Masalah umur ga ada yang tahu. Jangan lo anggap kematian seseorang itu, sebagai pertanda Tuhan benci sama lo. Tuhan ngambil seseorang yang lo sayangi, bukan karena ga ada alesan. Tapi, Tuhan mengambil mereka untuk kita bisa menghargai betapa petingnya mereka ketika mereka sudah tiada,” hati Clarisa berdesir. Rasanya seperti dapat pencerahan dari Rendy. “Kok jadi ngomongin mati! Serem tau! Udah ah!” Clarisa mengalihkan pembicaraan. “Haha, Mati besok atau sekarangpun ga ada yang tahu, Ris. Ga perlu lo takutin. Cepat atau lambat pasti terjadi,” baru kali ini Rendy banyak omong. “Udah ah!” Clarisa menjauh dari Rendy. Rendy hanya tersenyum. Clarisa membalas senyumannya. Rendy membalikan badannya. Dia mulai sibuk dengan cameranya. Sementara di belakang Clarisa mengambil handphone yang ada di tas kecilnya. Ia mulai memotret Rendy dari belakang menggunakan handphonenya. Ia sambil senyam senyum dan mundur. Ya Tuhan dari belakang aja seksi banget. Apalagi dari depan. Ahhh.. Rendy. Lo itu manusia atau malaikat sih? Kok begini amet aaaaahh gue cinta lo Ren. Cinta lo! Clarisa berteriak dalam hati. “AAAWWWAAASSS CLARA!!!!” teriakan Rendy mengejutkan Clarisa. Clarisa di dorong Rendy. Ia terhempas ke lantai. PRRAAAGGG!!! Suara itu begitu keras. Ia meliat Rendy yang tersungkur juga ke tanah. Pecahan lampu lighting berserakan di mana-mana. Ia menghampiri Rendy. Sempat Clarisa melihat Rendy kejang-kejang dan sekarang Rendy terdiam. Sepertinya tidak sadarkan diri. “Rendy!” teriaknya. Ia memangku kepala Rendy. Darah segar? Rendy tidak sadarkan diri. Darah segar mengalir deras di kepalanya. Cairan kental berwarana merah itu terus membanjiri kepala Rendy. Tidak hanya itu, mungkin Rendy ke setrum juga. Karena ada percikan api di lampu itu. Dan tadi sempet kejang-kejang juga. Wajahnya mulai memucat dan bibirnya berubah menjadi biru. Kenapa ini? Rendy kenapa? “REN!! RENDDYYY! Help me please!! Cepet bawa Rendy ke rumah sakit!!! CEPET!!” teriak Clarisa panik sambil menangis. “Help me please! Ren bangun Ren! RENNDDDYYY!!!” pekiknya sambil menangis. Clarisa mengguncang-guncang tubuh Rendy. Darah Rendy sudah banyak keluar sampai mengotori baju Clarisa. Rendy di gotong di bawa ke mobil. Clarisa duduk di jok belakang bersama Rendy. Ia langsung menyobek bajunya. Dan mengikatkan kain itu pada kepala Rendy. Mungkin agar darahnya berhenti. “Ren, lo pasti kuat Ren,” ucapnya sambil menangis. Clarisa terus memandang Rendy yang semakin melemah. “Cepetan dong pak nyetirnya!” perintah Clarisa pada supir kantornya. Baru saja tadi Clarisa curi-curi pandang pada Rendy. Clarisa ingat percakapannya dengan Rendy. “RENDY!! Jangan panggil gue Clara. Clara udah mati!!!!” Clarisa malah marah. Rendy mendekat. “Oke. Oke. Semua orang punya pilihan. Menurut gue sih lo harus berubah deh Ris, kita ga pernah tau kan hidup kita sampe kapan. Kalo iya kita berubah pas kita masih hidup. Nah kalo kita dah mati. Terus sikap kita di benci orang gimana? Bisa bisa mereka nyumpahin kita pas kita mati,” Rendy memberikan wajengan pada Clarisa. “Jangan so tahu deh. Lo ga akan pernah ngerti apa yang gue rasain,” protes Clarisa. “Apapun yang terjadi di kehidupan masa lalu lo. Biarlah berlalu. Kita harus menatap masa depan tanpa bayangan masa lalu. Masalah umur ga ada yang tau. Jangan lo anggap kematian seseorang itu, sebagai pertanda Tuhan benci sama lo. Tuhan ngambil seseorang yang lo sayangi, bukan karena ga ada alesan. Tapi, Tuhan mengambil mereka, untuk kita bisa menghargai betapa petingnya mereka ketika mereka sudah tiada,” hati Clarisa berdesir. Rasanya seperti dapat pencerahan dari Rendy. “Kok jadi ngomongin mati! Serem tahu! Udah ah!” Clarisa mengalihkan pembicaraan. “Haha.. Mati besok atau sekarangpun ga ada yang tahu, Ris. Ga perlu lo takutin. Cepat atau lambat pasti terjadi,” baru kali ini Rendy banyak omong. “Udah ah!” Clarisa menjauh dari Rendy. Rendy hanya tersenyum. Clarisa membalas senyumannya. Masih teringat jelas semua kejadian sebelum Rendy kecelakaan. Memang sedikit aneh. Sejak tadi Rendy membicarakan kematian. Apakah itu pertanda? Oh tidak!! Clarisa langsung mengecek nadi Rendy. Kemudian ia tempelkan tangannya di d**a Rendy. Detak jantungnya semakin lemah. “Ren, please jangan tinggalin gue.. Please Ren lo harus kuat,” lirih Clarisa. Ia masih berharap semua ini hanya mimpi. ******** Rumah Sakit Medical Sehat Tim medis langsung membawa Rendy ke UGD. Sepertinya yang di alami Rendy sangat serius. Mereka bolak-balik masuk ruangan Rendy. Sementara Clarisa, hanya terduduk dan menangisi Rendy. Kalau saja dia tadi tahu, akan ada lighting yang jatuh. Clarisa lebih memilih dirinya yang celaka ketimbang Rendy. Tuhan, jangan ambil dia Tuhan. Baru aja gue ngerasa nyaman sama dia. Jangan ambil orang yang gue sayangi lagi. Cukup bunda aja yang pergi. Jangan ambil Rendy Tuhan. Jangan! Clarisa bergumam dalam hati. Tim WO Molefatho datang menghapiri Clarisa yang masih bersenderan di tembok, sambil menangis duduk di lantai. “Mba gimana kondisi kak Rendy?” tanya Silvi khawatir. Clarisa bangun dari duduknya. “Kenapa lighting itu bisa jatoh? Ullie gue bilang jangan ada kesalahan!!! Elo kan bagian logistik. Masa bisa jatoh gitu?!!!” tandas Clarisa sambil menangis sesegukan. “Lo mau gue pecat HAH!” “Udah Ris udah. Eumm.. Maaf lebih baik kalian kembali ke lokasi aja. Biar saya sama Clarisa yang di sini,” Rini mencoba menenangkan suasana. Semuanya menurut saja permintaan Rini. Mereka pergi meninggalkan rumah sakit. Ullie menangis sambil pergi. Ia merasa bertangung jawab atas kejadian ini. Secara tidak langsung, Uliie merasa ini salah dia karena memang dia belum cek lighting yang akan di pakai pemotretan. “Rin, Rendy Rin. Gue takut,” keluhnya pada Rini. Clarisa menangis dalam pelukan Rini. “Gue tahu kok, lo merasa bersalah. Udah yah gue yakin Clara, Rendy bisa bertahan,” Clara? Hufft kali ini Clarisa sedang tidak mau membahas panggilannya. Ia sedang terfokus dengan Rendy. “Gue ga mau dia pergi Rin, gue ga mau!! Udah cukup semuanya udah cukup!! Gue ga mau kehilangan orang yang gue cintai lagi!!” Rini mengerutkan dahinya. “Jadi lo cinta sama Rendy?” Ups! Clarisa keceplosan. Apa boleh buat. Ia benar-benar shock atas kejadian ini. Clarisa hanya mengangguk tanpa kata. Ya ampun ternyata sahabatku jatuh cinta sama Rendy. Pantas saja aku sering lihat Rendy dan Clarisa selalu bersamaan beberapa bulan terakhir ini. Benar kata Clarisa. Sudah cukup ia menderita. Cukup Tuhan. Jangan ambil Rendy dari sisinya, gumam Rini dalam hati. “Kenapa lo ga akuin aja Ris?” tanya Rini. Clarisa menggeleng pasrah. Ia tidak tahu kata apa lagi yang ingin ia ucapkan. Yang Clarisa butuhkan saat ini adalah kesembuhan Rendy. Tidak lama dokter keluar. “Gimana dok kondisi Rendy?” Dokter sedikit panik. “Pasien kehilangan banyak darah. Beberapa pecahan masuk dalam otaknya. Bisa di bilang ini gegar otak yang cukup parah. Belum lagi strum tegangan tinggi. Mungkin saja ada beberapa syaraf yang rusak. Tapi, saya akan memeriksanya lebih lanjut. Setelah keluar hasilnya, saya akan melakukan tindakan lebih intensif. Dengan berat hati saya katakan. Jika dalam dua puluh empat jam pasien tidak siuman. Maka dia akan koma,” jelas dokter. “Oh my God! Rendy,” ucap Clarisa. Ini sungguh mimpi buruk bagi Clarisa. “Saya tinggal dulu. Saya harus melakukan beberapa tindakan sebelum keluar hasil tesnya. Mungkin pasien harus operasi dulu agar sisa pecahan kacanya bisa dikeluarkan dari otaknya,” pamit dokter. “Lakukan yang terbaik buat Rendy dok. Berapapun biayanya asalkan Rendy selamat,” Clarisa pasrah. Setelah dokter pergi. Clarisa kembali memeluk Rini. Ini benar-benar mimpi buruk baginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD