Chapter 4 - I Hate Rain
Hari ini terengqr petir di sana sini. Hujan mulai turun dan semakin lama frekuensinya semakin cepat dan deras. Clarisa memeluk Rendy dengan erat. Sepertinya fobia hujan dan petir belum sepenuhnya hilang dari dalam dirinya. Clarisa jadi ingat dulu saat ia pertama kali memeluk Rendy. Saat itu di sedang lembur di kantor. Entah kenapa cuaca mendadak mendung dan turun hujan. Belum lagi ditambah mati lampu.
Rendy membalas pelukan Clarisa. Wajar saja sih Clarisa masih ketakutan. Karena memang menghilangkan fobia itu tidak semudah membersihkan noda di baju. Butuh proses dan waktu. Rendy juga kembali Ingat kemasa lalu. Saat pertama kali ia kerja di Molefato Wedding Organizer. Ia melihat Clarisa yang ketakutan karena mendengar suara petir. Clarisa pingsan saat itu. Rendy segera menolongnya. Itu pertama kalinya Rendy melihat sisi lain dari Clarisa.
Flash Back.
Rendy masuk ruangan yang di tunjukkan Rini. Besok ada tugas yang Rendy harus di kerjakan. Baru saja masuk sudah diberikan segudang pekerjaan. Sepertinya, kerjaan ini harusnya Angga yang mengerjakan. Jadi imbasnya ke Rendy “Haaaahhhhh” desah Rendy setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Sementara di luar ruangan Rendy para, cewek sedang bergosip ria tentang ke datangan Rendy. Bagaimana tidak, cowok seguanteng Rendy bakalan jadi topik pembicaraan di kantor. Setelah kemarin lelah melaksanakan acara nikah anaknya dubes Australia. Ada pencerahan sedikit ketika melihat cowok ramah dan murah senyum itu.
“Rendy namanya noh lagi ada di ruangannya. Gue tadi ketemu, ramahnya minta ampun, belum senyumnya beeuuhh bikin jantung gue mau copot dah,” cablak Silvi dengan logat kental betawinya. Meskipun tangannya sedang bersolek manis merias wajahnya. Tapi, mulutnya komat kamit menceritakan ke kagumannya pada Rendy.
“Eta nu ganteng tea. Duh pasti kesemsem atuh,” ucap Wahida dengan dialek sundanya.
“Tumben aja mba Clarisa ga marah sama si ganteng. Duuhh dah punya pacar belum yah dia?” Liana ikut nimbrung.
“Eh udah udah kerja. Ketahuan mba Clarisa. Abislah kita. Jangan sampe di kasih SP apalagi di pecat,” seru Annisa salah satu staff yang baru kerja sebulan di WO Molefatho ini.
“Iye aye juga tahu keles. Cuci mata dikit kaga ape-ape kali Nis,” protes Silvi.
“Nya entos, bener juga. Bahaya kalo mba Clarisa tau kita malah liatin si ganteng Rendy,,”
“Ya udah bubar bubar yuk!”
♡♡♡♡
Angin malam begitu kencang. Dedauan terjatuh karena angin yang mengamuk. Gerimis kecil mulai turun, nampaknya akan ada hujan besar di malam ini. Pastinya membuat orang nyaman, untuk tarik selimut dan di buai oleh mimpi. Tapi, tidak dengan Clarisa. Ia masih asik dengan sketsa baju kebaya hijaunya. Hari ini, ia lembur bersama Ayas kepala bagian busana. Ia bertekad malam ini harus selesai agar lusa bisa di pakai oleh pengantin, “Lo jahit yang bener yah. Jangan sampe ada ke salahan. Gue mau ke gudang dulu ngambil bahan brukat sama puring kayanya kurang,” perintah Clarisa pada Ayas.
“Baik mba,” sahut Ayas singkat. Clarisa berjalan menuju gudang. Ia melirik keluar jendela. Clarisa benci hujan. Ia memalingkan muka kemudian fokus ke tujuan semula. Gudang.
“Mana yah ni bahan. Perasan kemaren masih ada stocknya deh,” rutuknya sambil mencari brukat hijau daun yang akan Clarisa gunakan untuk kebaya buatannya.
Duuaarr!!
Suara petir itu membuat Clarisa tercekat. Ia buru-buru lari dari gudang sambil membawa brukat hijau.
Duuuarr!!
“Aaahhhh stop!!!” Clarisa ketakutan. “BUNDAAAA!!” pekiknya. Pikiran Clarisa terbang ke tiga tahun yang silam. Saat bunda masih hidup. Bunda yang selalu baik hati di matanya. Clarisa sangat menyayangi bunda. Begitupun sebaliknya. Bunda selalu bisa jadi partner kerja yang baik. Pendengar setia. Dan bisa jadi apapun yang Clarisa mau. Clarisa memang sangat takut dengan petir. Makannya dia benci hujan. Kata Clarisa, orang-orang akan terbatasi aktifitas di luar, kalau hujan datang.
“Tenang sayang. Bunda selalu bersama kamu. Kamu jangan takut yah. Peluk bunda kalo kamu takut,” ucap bunda lembut sambil memeluk Clarisa. “Kalo nanti bunda ga ada. Kamu harus terbiasa dengan suara petir. Kamu harus kuat yah,” terusnya.
Clarisa manyun. “Apa sih bunda. Bunda harus tetep peluk Clarisa. Bunda ga boleh ke mana-mana. Clarisa mau bunda tetep peluk Clarisa kalo mau ujan. Apa lagi kalo petirnya gede-gede kaya gini,” rengek Clarisa pada saat itu. Lalu siapa sekarang yang akan memeluk Clarisa di saat ini? Bunda telah tiada. Tidak ada orang yang bisa ia dekap.
Duuarr!!
“Aaahhhhhh STOOOOPPP!! I hate rain,” Clarisa sangat ketakutan. Dan sialnya lampu kantorpun mendadak mati. Lengkaplah sudah. Sikap Clarisa yang galak seakan lenyap. Sekarang yang ada seperti anak-anak yang ketakutan di tinggal ibunya. Air mata mengalir di pipinya. Rasanya ingin semua cepat berlalu.
Tak. Tuk. Tak. Tuk.
Suara sepatu itu semakin mendekati Clarisa yang sedang jongkok di sudut ruangan sambil mendakap telinganya. Clarisa terus memandang bayangan yang akan menghampirinya. Terlalu gelap untuk menebak siapa yang datang. Jantung Clarisa berdegup kencang. Rasa rasanya, lengkaplah penderitaannya. Sudah takut petir, gelap pula.
“Kamu ga apa-apa?” suara itu bikin bulu kuduk Clarisa merinding. Kira-kira siapakah gerangan dia?
Siapakah yang menghampiri Clarisa?
Berhasilkah Clarisa mengatasi rasa takutnya?
********
“Kamu ga apa-apa?” suara itu bikin bulu kuduk Clarisa merinding. Kira-kira siapakah gerangan dia? Clarisa semakin ketakutan. Tidak menyangka sama sekali, kalau jadinya akan begini. Tadinya, Clarisa lembur karena ingin menyelesaikan kebaya hijau pesanan Clientnya. Tapi malah petaka yang datang.
“Kamu engga apa-apa?” ulangnya. Seperti suara cowok. Namun wajahnya tidak tampak jelas.
“Lo siapa? Gu... gue.. takut!” Clarisa tergagap sambil menangis. Cowok itu tidak menjawab pertanyaan Clarisa. Dalam takut Clarisa langsung memeluk cowok itu. Tidak perduli siapa gerangan cowok itu. Yang jelas sekarang ia sangat ketakutan. Hanya pelukan yang hangat, yang Clarisa butuhkan saat ini. Clarisa terus menangis sambil gemetar. Cowok itu sangat mengerti memperlakukan perempuan. Ia mengelus lembut punggung Clarisa. Dadanya yang bidang dan tubuhnya yang wangi membuat Clarisa nyaman di posisi itu.
“Udah jangan nangis ada aku di sini. Jangan takut, sebentar lagi juga hujannya reda,” ucap lembut cowok itu.
“Gu.. gue benci hujan! Gue benci petir!” tidak lama Clarisa melemas. Pandanganya mulai kabur. Kegelapan telah menjemputnya. Clarisa pingsan. Cowok itu panik.
“Hei.. bangun. Duh dia pingsan lagi. Aku harus bawa dia kemana nih? Mana gelap. Kayanya dia ketakutan banget,” cowok itu kemudian menggendong Clarisa. Siapa kira-kira cowok misterius itu?
♡♡♡♡
Flash Back
DUUARR!! Suara petir itu menggelegar keras.
“Semua penghianat. Semua yang bunda percaya berbalik menghianati bunda. Ayah kamu selingkuh di belakang bunda!!” bunda Clarisa menangis sambil berbicara seperti itu. Mereka berdua sekarang sedang berada di dalam mobil.
Kring.. kring.. kring..
Ponsel bunda Clarisa berbuyi. “Haloo.. apa..? Engga mungkin... Apa? Bukan saya yang salah, kalo kamu kaya gitu...” Clarisa hanya memandang bundanya.
“Bun..” Bunda Clarisa melambaikan tangannya, tanda tidak mau di ganggu. Bunda Clarisa terus marah-marah dalam telepon itu. Entah siapa yang menelepon bunda. Kayanya sangat menjengkelkan sekali. Malam ini hujan sangat deras, tidak kalah pertir sangat menggelegar membuat Clarisa ketakutan. Bunda mulai kehilangan kendali. Clarisa melihat ada sebuah mini bus di depannya. Bunda lepas kontrol.
Ckkkiiitt..
“BUUNNDDAA!!!” pekik Clarisa. Ia membuka matanya. Ia melihat kesekitarnya. Ternyata Clarisa masih ada di kantor. Di ruangannya. Mimpi buruk itu terus menghantuinya. Kenyataan pahit yang merenggut bunda tersayangnya. Kejadian itu terus menjadi mimpi buruk bagi Clarisa.
“Mba Clarisa ga apa-apa?” tanya Ayas.
“Duh mba tadi pingsan. Ana kira mba ke gudang. Tahunya pingsan di sini,” Hah? Clarisa pingsan di ruang kerjanya? Perasaan Clarisa pingsan di depan gudang deh? Terus cowok misterius itu siapa?
“Gue emang ke gudang kali. Gue cuma kecapean. Tar juga baikan kok. Gimana Ayas kebaya hijaunya udah siap? Deadlinenya tinggal dua hari lagi. Dan lo Ana, udah edit foto pre wedding yang di ambil Rendy kan?” rempet Clarisa. Baru bangun dari pingsan, bukannya lemas malah ngomel.
“Udah selesai mba. Baiknya mba istirahat deh,” saran Ayas.
“Ana juga udah selesai. Foto yang di ambil Rendy bagus bagus. Sangat detail dan jernih,” puji Ana.
“Ga usah lebay deh. Emang harus gitu kan, kalo kerja di sini. Harus menunjukan yang terbaik! Dia masih karyawan baru di sini!” Ana dan Ayas hanya diam. Memang Clarisa wataknya susah di tebak. Galaknya minta ampun perhatianpun salah.
“Dan elo Ayas. Gue ga apa-apa. Gue mau pulang dulu. Ini udah pagi kan? lo pada pulang aja. Nanti dateng aja jam sepuluh. Meeting dadakan sama tim. Siapin semuanya. Nanti gue kasih tau Rini, buat ngasih tahu yang lain!” Clarisa beranjak dari sofanya. Kemudian pergi keluar ruanganya. Clarisa masuk mobil, ia pergi menuju rumahnya.
Siapa cowok semalem itu? Kayanya gue ga pernah liat cowok senyaman itu. Terlalu gelap buat lihat tuh muka cowok. Apa ia gue cuma berhalusinasi? Aaahhhh masa bodo! Yang penting sekarang gue ga apa-apa, gumam Clarisa dalam hati.
♡♡♡♡
Pukul 05.00 Wib.
Rendy baru saja sampai di rumah. Lelah sekali sepertinya setelah lembur semalaman. Ponsel Rendy berbunyi.
“Hallo... Iya... oh meeting dadakan? Jam berapa? .... oh jam sepuluh.. ok nanti saya datang.. terimakasih..” Rendy menutup teleponnya.
“Ya ampun Ren, kamu baru pulang?” tanya Anadewi saat Rendy baru masuk rumah.
“Eh kak Anadewi. Ia kak. Abis lembur. Nanti jam sepuluh juga ke kantor lagi,” jawab Rendy.
“Ya ampun kak. Hari pertama kerja udah di suruh lembur. Hari ini di suruh kerja pula. Kaya kerja rodi aja,” potes Okta adik bungsu Rendy.
“Kakak ga apa-apa kok Okta. Yah.. emang udah konsekuensinya sebagai karyawan. Kerjaan ini tantangan banget buat kakak. Lagian kakak juga udah ke ikat kontrak di kantor itu,” jelas Rendy.
“Gajinya gede yah kak? Kalo lembur terus harus ada uang tambahannya dong!” Okta masih belum menerima kakaknya di perlakukan seperti itu.
“Sayang. Dengerin kakak yah. Kakak ga masalah kok. Kalo masalah gaji kakak ga masalahin. Yang penting kakak suka sama kerjaan itu. Percuma kan kalo gaji besar, tapi kakak ga suka kerjaan itu,” Rendy selalu bisa menetralkan situasi.
“Benar katamu Rendy, kakak bangga sama kamu,” dukung Anadewi.
“Ah kakak ini. Aku juga bangga punya dua malaikat adik sama kakak yang cantik-cantik ini hhihi,” gombal Rendy.
“Haha kakak bisa aja. Kalo kita malaikat. Terus siapa dong bidadarinya?” goda Okta.
“Okta. Udah kasian kakakmu harus istirahat. Isitrahat sana Ren, nanti jam sembilan kakak bangunin. Biar kakak siapin air hangat sama sarapannya,” titah Anadewi.
“Aku juga pengen kerja. Kak Anadewi kerja. Kak Rendy kerja. Coba aja papah perduli sama kita,” keluh Okta.
“Udah ya Okta. Kamu kan masih sekolah. Kamu yang rajin aja dulu belajarnya. Bukannya papah ga perduli. Yah mungkin sekarang udah punya kehidupan lain,” lagi lagi Rendy mencairkan situasi.
“Iya sih kak. Kalo mama papah ga cerai. Pasti papah masih tinggal di sini,”
“Okta. Mama sekarang udah tenang di surga sana. Kita hidup tanpa papah juga bahagia kok, kamu masih punya kakak sama kak Rendy kan?” Anadewi ikut membujuk Okta.
“Ya udah Rendy masuk kamar dulu yah kak. Jangan lupa jam sembilan bagunin Rendy hehe,” Rendy nyengir kuda.
“Ya udah sana!”
“Kamu yang rajin yah sekolahnya Okta,” ucap Rendy sebelum pergi ke kamarnya.
“Siap kakak ganteng hhehe,” Rendy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian masuk ke kamarnya untuk istirahat.
♡♡♡♡
Pukul 10.00Wib
“Jadi ini konsepnya. Adat jawanya di sini kental sekali. Setelah uparaca adat. Client meminta kebaya hijau sebagai baju resepsinya sama kaya dekorasinya. Ini rencananya,” Clarisa memulai meetingnya dengan planing konsep kerja yang akan mereka laksanakan besok.
“Inget ga boleh ada ke salahan. Rendy, ini acara pertama kamu. Kamu harus membuat client kita puas. Siap kamu?” tanya Clarisa.
“Baik mba,” singatnya.
“Oke ada pertanyaan?”
Semua terdiam. Ya memang mungkin tidak ada pertanyaan. Apa yang mau di tanyakan? Semua lengkap di jelaskan Clarisa. Ia selalu menjelaskan lebih detail.
Meeting selesai.