1. Saktah

1459 Words
July 2011. ********** "Abbah, boleh ya?" Aku merengek pada Abbah tentang satu permintaan. Kulirik Abbah yang masih belum menjawab mauku. Beliau masih asyik menekuri kitab tebal di pangkuan. Netranya melirikku sekilas dari balik kacamata yang bertengger di hidungnya. "Sek toh Nduk, Abbah mau tanya dulu." Akhirnya Abbah bersuara. Kali ini sangat berharap Abbah akan meloloskan keinginanku. "Abbah kasih ijin," sambungnya. Mataku berbinar seketika. Dalam hati berlonjak. Senang. "Tapi ndak boleh pergi sendirian. Minimal harus ditemani sama satu santriwati. Abbah ndak bisa ngantar, bakda isya ada undangan ngisi pengajian, jadi selesei nonton harus langsung pulang lho." Lagi, Abbah merapal syarat untukku. Ya, tidak apa-apa, mau dengan siapapun, yang penting aku dibolehkan pergi malam ini. "Afifah perginya sama Retna, Bah, nanti ketemuan di mall," sahutku. Abbah mengangguk sekilas. Beliau sudah tahu kalau Retna adalah teman dekatku. Sekarang tinggal satu problem lagi-tentang siapa yang akan mengantar nanti. "Biar Resnu yang antar dan temani Dik Afifah, Bah." Suara lain menginterupsi. Nada bicaranya tidak asing menembus telingaku. Mas Resnu. Kapan lelaki itu datang? Saking seriusnya menanti jawaban Abbah, sampai tidak terdengar suara deru mobilnya terparkir di pelataran. "Assalamualaikum, Bah, maaf membuat kaget." Mas Resnu menghampiri dan duduk persis di sebelah Abbah. "Wa'alaikumussalam. Iya, Abbah jadi tenang kalau Resnu yang mengantar Afifah." Kulirik sekilas senyum Abbah mencuat mendengar usulan Mas Resnu. "Duduk, Nu, gimana kabar abi-ummi?" Abbah melempar pertanyaan pada Mas Resnu. Mereka asyik bertukar kabar sejenak, sebelum Mas Resnu gantian bertanya ke arahku. "Memangnya Dik Afifah mau ke mana?" Pertanyaan Mas Resnu sontak mengatupkan bibirku. Entah kenapa aku seketika merasa sungkan dan salah tingkah. "Mau ke bioskop, katanya nonton Harry Potter." Abbah yang menjawab. Sementara aku masih bergeming. Mas Resnu tertawa mendengar jawaban Abbah. Memangnya apa yang lucu? Apakah aneh, kalau putri seorang Kiai ingin pergi ke bioskop dan menonton film? Aku juga sama seperti remaja milenial lainnya. Suka dengan film dan n****+. Apalagi saat ini sedang tayang seri terakhir Harry Potter, tentu aku ga mau ketinggalan juga. "Dik Afifah ini ternyata Potterhead juga ya." Mas Resnu masih menguarkan tawa kecil. Iya benar, aku memang Potterhead-sebutan bagi kami para penggemar cerita fiksi Harry Potter. Aku memang tergila-gila pada n****+ fiksi fantasi serial Harry Potter, malah semua bukunya aku punya, Abbah dan ummah juga tidak melarang, asal putra-putrinya tetap menjaga kewajiban dan Akhidah kami. Bukankah itu hanya hiburan semata, tidak ada kaitannya dengan keimanan. Retna-temanku juga suka dengan drama Korea, dan aku menganggapnya wajar. Justru yang aneh orang-orang yang terlalu cepat menghakimi. Ada saja yang bilang, 'penampilan islami, tertutup rapat, berhijab syar'i, kok suka nonton daram korea, kok suka nonton Harry Potter' . Halah! Orang-orang itu hanya menilai luarnya saja, memangnya kalau sudah tertutup dan berhijab syar'i kami tidak butuh hiburan juga gitu? Entahlah, palingan aku hanya akan mengupas senyum tipis jika ada yang berkata demikian. Aku suka dengan serial Harry Potter tetapi bukan Harry karakter utama yang Kugilai, justru aku sangat menyukai Hermione Granger-salah satu tokoh perempuan di sana. "Tapi ingat Nduk, meski diantar Resnu, jam malam tetap berlaku. Setelah nonton langsung pulang." Abbah kembali memperingati. "Siap, Bah!" "Oh iya Bah, sampai lupa kedatangan Resnu ke sini mengantar titipan Abi." Kulirik Mas Resnu yang mengangsurkan bungkusan pada Abbah. Abbah mengangguk paham dan menerima pemberian Mas Resnu. Jam mengarah ke pukul 18.00 sebentar lagi azan isya. Aku pamit pada Abbah untuk siap-siap, karena bakda magrib nanti akan pergi. Pamit dengan Mas Resnu juga tentunya. Kutinggalkan ruang tamu yang dipenuhi gelak tawa Abbah saat Mas Resnu mulai melempar kalimat banyolan. Abbah dan Mas Resnu itu kalau ketemu sudah seperti tumbu (wadah dari anyaman bambu) ketemu tutup. Sangat klop sekali. Mas Resnu sudah dekat dengan keluarga kami sejak aku masih anak-anak. Itu yang aku ingat. Abi Maksum-sahabat Abbah lumayan sering berkunjung, dulu sebelum mereka pindah ke luar daerah. Usiaku dengan Mas Resnu selisih lima tahun. Sebelum melengang ke kamar, sempat kulirik gestur tubuh Mas Resnu yang menguarkan tawa. Dia terlihat lebih tampan berkali-lipat saat sedang tersenyum tipis. Ah, Astaghfirullahal adzim, kenapa aku jadi memujinya begini. *** Langit mencurahkan kasih sayangnya lewat guyuran air yang menderas. Usai menonton aku dan Retna-temanku yang ikut menonton bersama kami menuju lobi mall, sedang Mas Resnu menuju parkiran. Tetapi baru beberapa langkah suara Mas Resnu kembali terngiang. Aku dan Retna menoleh bersamaan. "Hujan deras banget Dik, kita ke kafe aja dulu sebentar ya." Usulnya. Aku menatap bingung, karena ingat dengan amanah Abbah bahwa selepas menonton kami harus langsung pulang. "Soal Abbah? Nggak usah khawatir, tadi Mas sudah telpon Abbah, katanya kita tunggu hujan agak reda dulu baru pulang." Sambungnya lagi. "Fah, lo sama Mas Resnu duluan gih ke kafe, gue mau ke toilet bentar, kebelet." Retna meringis sembari berkata. Memang sejak tadi dia mengeluh ingin buang air kecil, tapi karena kami berencana langsung pulang, Retna bilang bisa tahan sampai di rumah. Bukan tanpa sebab, karena toilet umum ada di lantai tiga, sedang kami sudah sampai di lantai dasar, Retna bilang malas kalau harus naik lagi. Aku mengekor di belakang Mas Resnu. Kami memasuki sebuah kafe, aku langsung duduk, sedang Mas Resnu memesan minum. "Buat kamu." Mas Resnu menyodorkan segelas vanila latte. Rupanya dia hapal minuman kesukaanku. "Mau nambah cemilan?" Tawarnya lagi. Aku menggeleng. Perutku terasa penuh karena sejak di dalam teater tadi sudah banyak nyemil. "Makasih, Mas." Hanya itu yang keluar dari bibirku. Entah kenapa saat di depan Mas Resnu lidahku mendadak kelu. Padahal biasanya aku ini selalu cerewet. "Dik Afifah, rencana setelah lulus nanti mau kuliah di mana?" Lagi-lagi Mas Resnu yang mengawali percakapan. "Belum tau, Mas. Kalau Mas Resnu?" "Setelah wisuda nanti Abi penginnya aku berangkat ke Kairo." Ujar Mas Resnu. Yang ku tahu dari cerita Abbah, sekarang dia memang menjadi mahasiswa di salah satu universitas swasta, mengambil jurusan teknik. Usia Mas Resnu sekarang kalau tidak salah 22 tahun, sedang aku 17 tahun, kami selisih 5 tahun. "Dik Afifah, kenapa jadi pendiam sekarang? Kamu dulu kayaknya ceriwis ya waktu kecil." "Eh, masa sih Mas?" "Dik, nanti kalau aku udah berangkat ke Kairo, kita jangan sampai putus berkabar ya." Ucap Mas Resnu tiba-tiba. Ekor mataku meliriknya yang sedang asyik mengaduk minuman menggunakan sedotan. "I-iya Mas, insyaallah," balasku singkat. "Kamu juga jangan lupa tadabbur dan hapalannya ya." "Iya Mas, apalagi?" "Jangan lupa belajar yang rajin." "Lalu, apalagi Mas?" "Jangan lupa bahagia, ya." "Terus apalagi, Mas?" "Jangan lupain aku!" Mendengar kalimat terkahir Mas Resnu sontak membuat aliran darahku kacau. Napasku seolah ikut tak beraturan. Kedua mataku memonitor ulasan senyum lelaki yang duduk di depanku itu. Harus kuakui kalau sedang tersenyum begini Mas Resnu terlihat sangat tampan. Oh Ya Allah, aku harus sering merapal istighfar saat berada di dekatnya. Hening sejenak sejurus kami sama-sama menguarkan tawa. "Mas Resnu dari dulu ga pernah berubah, sukanya bercanda," ucapku sembari memalingkan pandangan ke arah lain. Aku tidak kuat jika mataku bersirobok dengan pandangannya. Iya, aku merasa menjadi layaknya saktah saat berbicara dengan Mas Resnu. Setiap saat harus menahan napas sebelum menyambung kalimatku, sama hal layaknya hukum saktah dalam membaca Alqur'an, yang harus berhenti sejenak 2 harokat tanpa mengambil napas sebelum menyambung bacaan. "Dik, tapi aku nggak bercanda soal yang terakhir." Mas Resnu menatapku. Aku bergeming mencerna ucapannya. "Maksudnya, Mas?" "Akhirnya, lega gue. Eh, gue udah dipesenin minum, kan?" Suara Retna membuyarkan obrolanku dengan Mas Resnu. Padahal aku penasaran sekali dengan maksud ucapannya barusan. "Udah, ini kamu minum dulu." Mas Resnu menunjuk segelas teh boba kesukaan Retna dengan matanya, sejurus dia berdiri. "Kalian tunggu sebentar, biar aku lihat ke depan barangkali hujannya udah reda." Ucapnya melengang, meninggalkan aku dan Retna. "Lo itu datang di saat yang tidak tepat, Na!" Semburku pada Retna. Kulihat dia yang asyik menyendok Boba mengunakan sedotan ke dalam mulutnya. "Emang Lo ngapain sama Mas Resnu, pacaran Lo ya?" Selidik Retna. "Ngawur!" Tanganku menoyor bahu Retna. Bisa-bisanya menebak sejauh itu. "Alhamdulillah, kebetulan deh, berarti Lo ga ada apa-apa ya sama Mas Resnu?" Kali ini aku yang melirik tajam pada Retna. "Maksud Lo?" "Comblangin gue kek sama dia, Fah." Ujar Retna meringis memamerkan deretan giginya. Bocah edan. Masih sekolah kok aneh-aneh saja, lagi kutoyor Retna atas usulan yang menurutku gila. "Mengadi-ngadi Lo. Sekolah dulu yang bener Markonah! Lagian Mas Resnu juga belum tentu mau sama Lo." "Lagi pada ngomongin aku, ya?" Mas Resnu tiba-tiba sudah berdiri di depan kami. Lelaki itu apa bisa teleport seperti Harry dan kawan-kawannya? Kenapa bisa cepat sekali ada di sini tanpa terdengar ketipak langkahnya. Atau justru karena aku dan Retna yang asyik berdebat dan tidak memperhatikan sekitar. "Ayo pulang, ujannya udah reda." Sambungnya isyaratkan pada kami untuk segera beranjak. Aku berdiri dengan menyimpan tanda tanya yang belum terjawab. Tentang maksud ucapan Mas Resnu tadi. Entah nanti akan terjawab atau selamanya akan tersimpan tanpa mendapatkan titik terang. Biar saja waktu yang membuktikan. ************************************ 08-10-2020 Chan

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD