[13]

1179 Words
“Welcome to the club.” Ruby sama sekali tak terbiasa dengan cara penyambutan yang cukup heboh. Menurutnya. Ia sendiri belum menyetujui apa pun, tolong dipahami, apa pun yang Justin tawarkan. Bahkan sekadar membaca ulang kontrak saja, Ruby enggan. Ia tak ingin berkecimpung di dunia yang akan menampilkan wajahnya. Yang mana hidupnya tak lagi sesederhana menikmati teh diiring senja. Atau sekadar belanja di supermarket tanpa blitz kamera. Menjadi istri Carl saja, ia sudah cukup kerepotan menghadapi pencari berita. Apalagi kalau dirinya diburu dan diulik kehidupannya? Tidak. Tak bisa ia bayangkan jika itu terjadi. Apa yang Justin katakan bukan hal sepele. Siapa yang tak kenal model serta public figure di bawah naungan SEO Fashion? Kebanyakan dari mereka, memiliki nama dan popularitas tinggi. Bahkan beberapa di antaranya termasuk orang yang berpengaruh di dunia hiburan serta pagelaran busana. Termasuk … wanita yang menyambut Ruby sore ini. Rambut brown bayage-nya mendadak menjadi icon tahun ini. Bentuk wajahnya mencitrakan wanita berhati lembut juga ramah. Binar di matanya juga memancarkan hal berbau feminism yang begitu kuat. Giselle Namizuka. “Kenapa malah diam di depan pintu?” tanya Giselle dengan senyum riang. “Enggak perlu sungkan. Ayo … “ Giselle sedikit menarik tangan Ruby. Sejak telepon dari Justin satu jam lalu, ia sudah mempersiapkan diri. Termasuk tiga temannya yang lain. Sudah lama Justin tak membawakan rekan kerja yang cocok dengan mereka bertiga. Ugh! Jangan salah pahami mereka yang katanya, sombong. Hanya menginginkan pekerjaan dengan nilai bayaran yang fantastis. Hanya mau menghadiri pertemuan dengan banyak keuntungan terutama untuk meningkatkan relasi mereka. tak hanya itu, mereka juga disebut sebagai tiga model SEO yang sangat amat pemilih. Padahal … yah, harus Giselle akui, semuanya hampir benar. Tetapi ada satu pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas gunjingan terhadap mereka. juga penilaian kalau mereka ini memberi kesan sebagai wanita-wanita yang rewel mengenai sesuatu. Siapa lagi kalau bukan Justin Stokholm? Pria itu yang memberi pengajaran ekstra keras untuk masa depan mereka. Justin membentuk mindset yang tertancap kuat di benak serta otak mereka, kalau mereka mahal harganya. Sebanding dengan uang yang dikeluarkan klien setelah mereka bekerja sama. tak ada yang tak menguntungkan tiap kali mereka muncul di laman berita utama. Tidak. mereka tak suka berita yang bisa menjatuhkan karier. Ketiganya berlomba meraih nama besar juga prestasi tapi tak ada persaingan di sana. semuanya maju bersama. semuanya memiliki identitas yang tak bisa disamakan satu sama lain. Justin membuat mereka memiliki hal-hal yang tak mudah untuk dicapai orang lain. karena menurut Justin, mereka memiliki potensi. Ruby hanya bisa melempar senyum tipis nan canggung. “Apa … tak masalah aku ke sini?” Lagi-lagi Giselle tersenyum. “Kenapa harus menjadi masalah?” “Ehm … siapa tahu kau sedang bekerja?” Suara tawa wanita yang masih menarik tangan Ruby terdengar renyah. “Pekerjaan kami sudah diselesaikan dua minggu lalu. Kami diberi libur yang banyak oleh Justin.” “Kami?” Giselle mengangguk segera. “Nah … inilah kami.” Mereka berbelok ke kanan di mana Ruby terperangah. Selain landscape kota terlihat begitu indah lengkap dengan icon gedung berbentuk ujung pulpen berlapis emas terlihat jelas, juga dua wanita yang tersenyum menyambut Ruby. “Hai,” sapa mereka dengan ramahnya. Ursula Lacome dan Harley Princessa duduk di sana. Sama seperti penyambutan Giselle, senyum mereka ada untuk Ruby. Entah bagaimana Ruby harus membalas sambutan yang menurutnya hangat ini. padahal sepanjang perjalanan ke apartement Giselle, Ruby hanya mendengar sekelumit tentang mereka. lantas Ruby ditinggalkan begitu saja oleh Justin termasuk Irena karena katanya, “Jadwalku padat, Ruby. Kau akan bersenang-senang dengan mereka bertiga. Tenanglah, bukan hal buruk yang akan menyapamu nanti.” Ruby tak habis pikir dengan keputusan Justin yang seenaknya. “Aku belum menyetujui.” Ruby menghela panjang. Sekali lagi ia pun meminta agar diturunkan di halte. Urusannya dengan Justin sudah selesai, kan? Ia tak berminat dengan semua tawaran yang Justin ajukan. “Setelah bertemu mereka, aku yakin kau menyetujui, Ruby. Jangan terlalu skeptis.” Justin tergelak. “Brina akan menjemputmu di lobby dan mengantarkan ke unit Giselle. Bersantailah sejenak. jam empat sore aku jemput.” Ruby kehabisan kata-kata. “Kenapa teman baru kita tak ingin memperkenalkan diri?” tanya Ursula dengan sedikit memicing. Padahal ia tak terbiasa tersenyum ramah tapi ancaman Justin membuatnya harus menyingkirkan sedikit sikap sinisnya. “Bu-bukan begitu,” Bahu Ruby terkulai lemah. “Aku masih belum bisa mencerna apa yang baru terjadi di hidupku.” Haley terkikik, Giselle tersenyum makin lebar, sementara Ursula berdecak. “Kau harus segera terbiasa.” Ursula mengibas pelan. menyesap sekali lagi cola dingin yang menjadi kesukaannya. Hanya di hari cheating mereka bisa mengonsumsi makanan yang disukai. Selebihnya? Ehm … jangan harap. Kunsultan gizi serta pengatur makan yang Irena pekerjakan untuk mereka sangat keji. Alias tak memiliki belas kasih perkaran makanan yang masuk ke tubuh mereka. katanya, “Tubuh yang indah, kulit yang sehat, mata yang berbinar cerah, rambut yang berkilau, tak didapat hanya dari perawatan salon, Girls. Semuanya dari dalam tubuh. Hanya sehari dalam seminggu kalian boleh makan sepuasnya. Selebihnya?” Ucapan itu beriring dengan tatapan laser milik Nicca, ahli gizi yang sering ada di sekita mereka. “Aku hanya bisa mengucapkan selamat datang.” Harley bangun dri duduk santainya. Mengulurkan tangan pada Ruby lengkap dengan senyum ramah. “Kau … sepertinya sudah tahu aku, kan?” Ruby pada akhirnya mencoba untuk mengakrabkan diri saja. Lagi pula, tak etis rasanya kalau menolak keramahan mereka yang membuat ia cukup terkejut. Ruby masih punya sopan santun sebagai seorang tamu. “Harley Princessa. Siapa yang tak mengenal kamu?” Ia pun menyambut uluran tangan Harley. “Aku …” Ingin sekali Ruby mengatakan namanya. Ia tak terbiasa dengan nama Eve namun apa boleh buat. Sejak awal dirinya memperkenalkan diri pada Justin, nama Eve muncul begitu saja. Lagi pula, nama itu merupakan satu kesatuan yang ia miliki, kan? “Aku … Eve.” *** Kate meletakkan cangkir teh hijaunya perlahan. Meski cairan itu memasuki tenggorokan dengan mendatangkan rasa nyaman, tapi apa yang ada di depannya sungguh membuat ia harus menekan emosinya. Bagaimana bisa dirinya harus duduk bersama gadis ini? Gadis yang senyumnya terlihat manis tapi entah kenapa Kate merasa, senyum itu memiliki tujuan tersendiri. “Apa kabar, Tante?” tanyanya dengan ramah. “Baik.” “Syukurlah. Aku senang mendengarnya.” Kate tak perlu merasa terintimidasi tapi ia memang tak menyenangi kunjungan gadis itu hari ni. “Saya tak bisa menjamumu lebih lama. Ada banyak yang harus saya kerjakan.” Freya tersenyum membiarkan sang pemilik rumah mulai meninggalkannya. Sebelum Kate benar-benar pergi, ia pun berkata, “Apa Tante menyambut Ruby seperti ini dulu?” Kate menghentikan langkahnya. “Ehm … kurasa tidak. Ruby selalu disambut dengan baik di sini. Tak peduli asalnya dari mana.” Ia pun menumpukan dagu pada tangan. Matanya menatap Kate sedikit meremehkan, lantas tersenyum lebar. “Aku akan berusaha membuat Tante menerima keberadaanku di sini. Carl termasuk pria yang agak kolot. Menikah harus dengan restu Anda, Tante.” Ia pun sedikit membungkuk. “Maafkan ketidaksopananku barusan.” Namun seringai licik tercetak di sudut bibirnya. Dibiarkan Kate berlalu begitu saja tanpa merespon permintaan maafnya. “Tunggu saja, Kate. Akan kupastikan itu terjadi. Kau tak akan bisa mencegahku kali ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD