“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Carl dengan suara penuh intimidasi. Matanya memindai Ruby seolah wanita itu virus mematikan.
“Aku ... “ Ruby memejam sejenak. “Aku ingin bertemu Richard.”
Carl memicing curiga. “Ada keperluan apa?”
“Nyonya Ruby ada urusan denganku, Carl. Bisakah kau tenang? Kau membuat suasana di sini mendadak tak nyaman,” kata Richard sembari tersenyum lebar. “Masuklah, Nyonya. Aku sudah menunggumu sejak tadi.”
“Aku butuh tahu apa yang wanita ini lakukan, Richard. Kenapa kau bertingkah seolah ada di pihaknya?”
Bicara dengan Carl memang membutuhkan kesabaran ekstra. “Aku ada di pihak yang membayar jasaku lebih,” seloroh Richard. “Sudah kuminta Paula menyiapkan teh untukmu, Nyonya. Silakan, duduk di sini.”
Carl mendengkus tak suka. Membuang pandangannya ke arah lain lantaran tak ingin berlama-lama memperhatikan Ruby. Tak berguna. Pikirnya begitu. Meski ekor matanya tak bisa diajak bekerja sama, di mana Ruby berusaha menyamankan diri duduk di sofa. Terlihat wajah cantik istrinya tampak tegang juga gusar. Sesekali tangan Ruby meremas ujung kemeja pertanda ada sesuatu yang mengganggunya.
Tapi apa?
Bukan urusan Carl, kan, seharusnya?
“Sudah kau selesaikan urusan perceraianku, Rich?” Carl bersandar pada punggung sofa. Masih setia mengamati apa yang ingin Ruby lakukan di sini, di ruangan Richard. Sepanjang pengetahuannya mengenai sosok sang istri, ia jarang sekali keluar rumah. Tipe wanita rumahan yang lebih menyukai aktivitas di rumah ketimbang menghabiskan banyak waktu di pusat perbelanjaan.
“Kau sungguh tak sabar, Carl.” Richard terkekeh. “Jangan sampai kau menyesal mempercepat perceraian kalian.”
Carl berdecih. “Aku bersyukur jika surat itu selesai dalam waktu tiga hari. Aku tak ingin berlama-lama bersandiwara dengan pernikahan serupa neraka ini.”
Tangan Ruby tanpa sadar terkepal. Ia berusaha semaksimal mungkin bertahan tanpa perlu ada air mata yang keluar. Padahal hatinya terasa sakit sekali meski sudah sering mendengar Carl mengatakan hal itu, tapi sekarang? Di depan orang lain?
Ya Tuhan! Carl sangat keterlaluan.
Richard segera menyodorkan draft terakhir surat perceraian mereka berdua. Masing-masing ia berikan pada Ruby juga Carl. “Aku akan menjelaskan beberapa poin yang terdapat di surat ini,” kata Richard segera. Yang mana mendapat tanggapan Carl berupa decakan sebal.
“Percepat penjelasanmu, Rich. Aku tak punya banyak waktu.”
Pria berjas hitam itu mendesah pelan. “Baiklah. Kuharap kau menyimak dengan baik.” Ia pun membacakan bagian terpenting dari surat yang akan mereka tanda tangani ini. Termasuk di dalamnya pembagian harta dan aset selama pernikahan itu terjadi.
“Aku tak peduli dengan aset yang kau sebutkan, Rich.”
Ruby mengerjap tak percaya. “Benarkah?”
Hal itu sontak menarik atensi Carl. “Bukankah Nyonya Ruby Dominique tidak tertarik dengan harta yang kami punya?” Ia pun sedikit mencondongkan dirinya. “Jadi ini urusan yang membuatmu keluar rumah? Karena pembagian harta setelah perceraian?”
Tangan Ruby makin terkepal. Wajahnya tertunduk dengan perasaan berkecamuk.
“Carl, jangan terlalu kejam dengan kata-kata,” peringat Richard. “Apa yang tertera di sini adalah haknya. Malah kalau kubuat perbandingan, semua yang tercantum di sini tak akan membuatmu rugi.”
Carl tergelak.
“Harga dirimu sebatas itu, Ruby? Apa kau juga akan membuat surat kuasa atas klaim warisan saham ayahku?”
“Kau!” Ruby tak tahan lagi. Air matanya menetes begitu saja.
“Aku mempertanyakan keteguhanmu, Ruby.” Carl tertawa puas. “Ternyata ... ah, jauh sekali dari ekspektasiku.”
***
“Jangan terlalu serius menanggapi ucapan Tuan Carl, Nyonya,” kata Richard berusaha mencairkan suasana. Di depannya, sang wanita sejak tadi menunduk juga sesekali menghela napas. Richard sedikit banyak memahami kenapa Ruby enggan bicara.
Padahal sudah berlalu lima belas menit mereka di sana. Di kedai kopi yang cukup berjarak dari gedung Unique Corp. Tempat di mana Richard sering menghabiskan waktu jika membutuhkan ketenangan. Dan pria itu rasa, tempat ini juga bisa meredakan kalut yang Ruby punya.
Ya ... meski hanya sesaat.
“Gampang sekali kau berucap, Richard,” kata Ruby dengan senyumnya yang tipis. “Ucapan Carl memang benar. Tak seharusnya aku menemuimu untuk membicarakan pembagian harga.” Ruby mengangkat pandangannya. “Konyol sekali.”
“Dalam pengajuan perceraian, memang ada persoalan yang berkaitan dengan harta yang dimiliki selama masa pernikahan. Carl juga sudah mengatur berapa banyak yang akan diserahkan padamu meski kalau aku boleh jujur, itu hanya sedikit sekali dari apa yang ia miliki,” dengkus Richard tapi tak lama pria itu tertawa. “Kau tak akan membuatnya bangkrut. Tenang saja.”
Ruby tak ingin menanggapi apa-apa. Ia memilih untuk menikmati teh melatinya. Interior di kafe ini mendadak menarik perhatiannya. Terasa nuansa etnik serta kedamaian yang membuat dirinya sedikit tenang. Begitu juga rasa teh yang mulai menyapa lidahnya. “Ini enak,” puji Ruby.
“Kafe ini tempat aku menenangkan diri, Nyonya.”
Ruby tersenyum simpul. “Aku sudah tak lagi menyandang gelar nyonya Dominique. Tak perlu terlalu formal padaku, Richard. Lagi pula sepertinya umur kita tak terlalu jauh. Iya, kan?”
“Setidaknya aku dan Carl sebaya.”
“Ya Tuhan!” Ruby tak memercayai apa yang baru Richard katakan. “Kau serius?”
“Apa tampangku terlihat lebih tua?” Richard tertawa mendapati ekspresi Ruby yang terlihat syok.
“Tidak,” Ruby menggeleng dengan cepat. “Aku pikir kau seusia denganku.”
Makin jadi tawa yang Richard ciptakan. “Seharusnya aku yang menghiburku, Nyo—oke, baiklah. Ruby. Aku masih belum terbiasa asal kau tahu.” Pria itu pun mulai bisa mengendalikan dirinya. “Menyoal mengenai pembicaraan tadi, setelah kau menandatangani surat perceraian kalian, secara hukum pembagian harta yang tertera sudah menjadi hakmu.”
“Kapan bisa aku pergunakan?” tanya Ruby sedikit tak sabar.
“Setelah surat itu disahkan kementerian hukum,” sahut Richard singkat tapi penuh ketegasan. “Berhubung perceraian ini Carl minta diproses dengan cepat, aku rasa kau bisa segera menggunakannya.”
Ruby mendesah lega. “Syukurlah. Aku merasa bebanku sedikit terangkat.” Ia pun mulai bisa menyamankan dirinya setelah sejak tadi, ia selalu dilanda ketegangan.
“Apa pria itu sangat menyebalkan? Memintamu mengganti dengan segera? Konyol sekali,” decih Richard tak suka.
Menganggapi ucapan Richard, Ruby menggeleng pelan. “Aku hanya tidak ingin memperpanjang urusan. Aku tak ingin ada masalah di kemudian hari. Kau tahu, nama Carlton Dominique seperti medan magnet. Siapa pun ingin mengambil keuntungan dari nama itu, kan?”
Rupanya begitu. Richard mengangguk sekilas atas pemikiran Ruby. Tak menyangka di tengah masalah yang cukup pelik juga menyakiti hati wanita itu, masih tersisa kebaikan untuk Carl. Tak peduli betapa sering suaminya itu melukai harga dirinya. Bahkan menurut Richard, pembicaraan di ruangannya tadi sangat keterlaluan.
“Seharusnya kau juga memikirkan dirimu, Ruby. Ada saat di mana kau mengalah, tapi ada waktu di mana kau harus menegakkan kepala.”
Ruby tersenyum getir. “Tak apa. Aku tahu batasku di mana.”
“Carl terlalu bodoh menyia-nyiakan keberadaanmu, Ruby.”
“Kedatanganku hanya beban untuknya, Richard. Kurasa telingamu sering mendengarkan keluhan Carl mengenai aku, kan?”
Richard mencecap kopi pesanannya. Pertanyaan Ruby benar adanya. Yang keluar dari mulut Carl mengenai Rubu hanya keburukan dan prasangka buruk. Bukan sekali dua kali Carl mengatakan kalau Ruby hanya memanfaatkan keadaan. Terutama karena kondisi Charles yang sakit parah. Yang mana tak mungkin Carl menolak permintaan ayahnya itu.
Namun seiring berjalannya waktu, anggapan mengenai Ruby perlahan berkurang. Setidaknya di mata Richard, belum pernah ia temui tingkah istri bosnya itu berulah. Malah memperlihatkan betapa wanita itu anggun dan berkelas.
“Tehku sudah habis,” kata Ruby seraya bersiap. “Terima kasih traktirannya, Richard. Kurasa ini terakhir kalinya kita bertemu. Terima kasih sudah membantuku. Kutunggu surat perceraian resmi tiba di rumah.”
“Semoga kau berbahagia, Ruby.”
Senyum tipis Ruby beri sebagai respon sebelum ia benar-benar melangkah meninggalkan Richard. Urusannya sudah selesai. Ia hanya tinggal menunggu apa yang menjadi haknya. Membereskan masalahnya dengan pria asing yang menurutnya menyebalkan. Lalu ... ia bisa melanjutkan hidup dengan ketenangan.
Mungkin ... bisa sekalian merengkuh bahagia? Entahlah. Yang jelas, Ruby harus mulai menyusun hidupnya yang baru.