[10]

1196 Words
Ruby menatap tak percaya tiga lembar kertas yang Justin berikan padanya. Sejak kedatangannya ke gedung yang ia lihat jauh lebih futuristik dan sangat iconik ini, ia tak menyangka disodorkan hal yang membuat jantungnya tak normal berdetak. Bahkan ia juga merasa matanya menempel pada deretan angka yang tertera di sana. “Ini ... tak mungkin.” Akhirnya Ruby bisa juga mengeluarkan suara. “Anda sedang memeras saya?” tanyanya sembari menatap pria yang menjadi lawan bicara penuh geram. “Tidak mungkin biaya perbaikan sampai sebanyak ini.” Justin terkekeh. “Kau lupa, Nona, mobilku Lamborghini keluaran terbaru. Limited edition. Kau bisa cek di bursa mobil mewah dan bisa kalkulasi berapa harganya. Kerusakan yang kau sebabkan memang terlihat sepele. Tapi tiang itu merusak mesin dan dashboard mobilku cukup parah.” Ruby menganga lebar. “Apa aku harus meminta pertanggungjawaban tiang listrik di sana?” Justin bersandar nyaman. Menyalakan rokok yang ada di saku jasnya. Tak memedulikan kalau ruangan ini nantinya pekat dengan asap beracun. Ekor matanya menunggu respon selanjutnya dari Ruby yang duduk gelisah. Semuanya sudah Justin atur dengan baik. Konyol juga saat bengkel tempat di mana ia membawa Merry untuk diperbaiki. Katanya, “Kau gila? Kau ingin meminta tebusan siapa, sih? Apa kau merencanakan sesuatu?” Kepala bengkel yang juga sahabat karibnya, Zack memicing curiga. Tak biasanya Justin minta dibuatkan berbagai macam perincian perbaikan. Mungkin terdengar biasa saja baginya untuk memberikan karena memang di dalamnya tertera apa saja yang harus diperbaiki. Namun yang tidak biasa, Zack diminta untuk melipat gandakan semua besarnya biasa. Mungkin kalau satu atau dua kali, Zack masih bisa menoleransi. Tapi ini? Tiga kali. Astaga, Tuhan! apa Justin Stockholm terlibat kecelakaan fatal yang membuat otaknya tak bisa berpikir normal? Siapa yang akan memercayai semua perincian biaya yang terpaksa Zack buat? Hanya orang bodoh yang akan memercayainya. “Menangkap paus butuh pancingan yang besar, Zack,” kata Justin sembari tertawa puas. “Merry harus kembali mulus tanpa cacat. Oiya, ganti jok dan interiornya dengan design terbaru. Vintage dengan nuansa cokelat mengkilat sepertinya cocok dengan Merry.” Justin tak mau menghilangkan senyum di wajah tiap kali melihat lembaran yang ia dapat dari Zack. Terserah sahabatnya itu mau berspekulasi apa pun mengenai dirinya. Memang ini bukan kebiasaannya juga, sih. Tapi kalau ia menuliskan nominal yang biasa, entah kenapa pasti wanita itu sanggup menebusnya. Sekali pindai, penilaian Justin tak pernah meleset. Wanita itu bukan wanita dari kalangan biasa. Anting yang dipakai saat malam itu, kalau tidak salah koleksi Infinity Jewerly terbaru. Siapa yang tak kenal merk Infinity Jewerly? Dan anting serupa tetes embun sederhana tapi kilaunya tak bisa ditutupi keindahannya, seharga 5000$. Belum lagi gelang yang melingkari tangan wanita itu. Tidak. Justin tak tertarik dengan harga yang melingkupi sang wanita. Ia hanya ingin keberadaan wanita itu di sini dan akan ia buat itu terjadi. Tak peduli seberapa mahal ia harus membayar bahkan dengan kebohongan sekali pun, Justin tak jadi soal. Dirinya terlanjur terpesona. Pada mata hijau yang masih menatapnya dengan sorot tak percaya. “Apa perincian itu terlihat membual, Nona?” Asap mengepul dari sela bibir Justin. “Kau bisa cek sendiri ke bengkel yang menangani. Maaf, Merry mobil kesayanganku. Aku memperlakukannya dengan sangat baik. Dan jikalau ada goresan sedikit saja, aku tak pernah sungkan mengeluarkan banyak uang.” Ruby berdecak sebal. “Aku tak ingin mencari tahu sejauh itu, Pak Justin.” Ia pun meletakkan lembaran yang membuat hatinya gusar. “Tapi berikan tenggat bagiku untuk mengumpulkan semua biaya yang tertera ini.” Sungguh, Ruby tak ingin memercayai tapi mau bagaimana lagi? Semua yang Justin berikan terlihat valid dan tak perlu diragukan lagi. “Berapa lama?” Wanita itu tampak berpikir sebelum akhirnya ia bicara. “Dua minggu.” Kalkulasinya mengatakan, tak mungkin pembagian harta gana-gini yang tertera di surat perceraian itu segera masuk ke rekeningnya. Ia juga harus memikirkan kelanjutan hidupnya. Tak mudah mencari uang di masa sekarang. Tak mungkin juga ia menjual rumah keluarganya. Yang benar saja. Ia masih sehat dan memiliki keahlian meski tak banyak. Mungkin setelah masalahnya dengan Justin selesai, ia bisa fokus mencari pekerjaan baru. “Saya hanya memiliki separuh dari biaya yang ada.” Ruby segera menimpali. Takut disangka sebagai wanita tak bertanggung jawab dengan mobil kesayangan pria yang masih asyik dengan batang nikotinnya. “Saya segera melakukan p********n sekarang dan buktinya saya kirim ke nomor Anda.” Justin hanya mengangguk setuju. Berharap Ruby tak melakukan p********n itu. Sepertinya gertakan ini membuat Justin yakin, Ruby bukan wanita biasa. Ketenangan yang Ruby buat di ruangan ini mengusik sekali. Biasanya jikalau berkaitan dengan penggantian dalam jumlah besar, ada sorot khawatir serta takut yang bisa membuat Justin semakin mendesak. Membuat orang itu menyetujui semua syarat yang dibuat. Namun Ruby? Apa tindakannya selanjutnya? Tak mungkin ia biarkan buruannya lepas. Sementara Ruby sedikit gemetar mengeluarkan ponselnya. Selama menjadi istri Carl, belum pernah sedikit pun ia mencatut uang suaminya. Semua kebutuhannya terpenuhi lewat kartu-kartu yang khusus Carl beri padanya. Apa yang ia kenakan serta koleksi pakaiannya di rumah Dominique dulu adalah keinginan ibu mertuanya. Beliau yang rajin sekali membelikan semua hal yang tak pernah terbayang Ruby sebelumnya. Uang yang ada di rekeningnya sekarang, hasil penjualan perhiasan yang tanpa sengaja terbawa olehnya. Kartu yang Carl beri, ia tinggal di kamar. Ia sudah bertekad tak mau menyentuh apa pun yang pernah ia sentuh. Tak bisa Ruby lupakan tuduhan Carl padanya selepas Charles berpulang. Jauh lebih menyakitkan ketimbang sikap dingin dan kasar Carl yang sudah Ruby anggap keseharian. Tak pernah ada niat Ruby untuk menggerogoti keluarga Dominique dari segi harta. Hidup mengajarkan untuk bergantung pada kemampuannya sendiri. Suatu saat, orang lain yang ada di sekitarnya pasti pergi. Kepada siapa ia menggantungkan hidup kecuali kaki dan tangannya? Apalagi saat harapan menginginkan keluarga yang benar-benar menerimanya pupus, Ruby meneguhkan hati. Memakai uang Carl secukup dan sewajarnya saja. Matanya terpejam kuat. Nomor rekeningnya sudah ia salin dan tinggal satu klik pada tombol ‘transfer’, maka saldo yang ada di rekeningnya akan berpindah. Selanjutnya ia hidup menunggu surat cerai itu datang dan menerima bagiannya. Tak jadi soal untuk saat ini hatinya benar-benar terkoyak. Lagi juga, ia tak perlu merasa heran dengan semua ucapan Carl, kan? Menarik napas panjang, Ruby pun melakukannya. Ia yakin, pasti menemukan jalan untuk melanjutkan hidup tak seberapanya ini. lantas setelah p********n itu berhasil, segera ia screenshoot sebagai bukti jikalau ia memang tak asal bicara mengenai tanggung jawab. “Saya sudah melaku—“ “Baiklah, aku menyerah!” Justin berdecak kesal. Dimatikan segera rokok yang masih mengepul di asbak. “Kau menang!” Ruby mengerjap bingung. “Menang?” Justin segera menarik lembaran yang masih terserak di meja tamunya. Meremas kasar dan segera membuangnya. “Kau tak perlu melakukan p********n apa pun.” Ruby terperangah. “M-maksudnya?” “Aku membebaskanmu dari tanggung jawab atas Merry.” Semakin jadi mulut Ruby terbuka lebar. “Tapi, Pak ... “ “Sebagai gantinya, aku ingin tanggung jawab yang lain.” Ruby masih belum merespons apa pun. Otaknya sibuk mencerna. Apa maksud semua ini? Justin mengerutkan kening. “Dari ekspresimu ... kau sudah transfer ke rekening yang ada di sana?” Tanpa ragu Ruby mengangguk. “Ehm ... bagaimana, ya? Uang itu tak bisa kembali dengan mudah sepertinya.” Mulut Ruby semakin lebar terperangah. “Artinya kau memang memilih untuk terjebak, Eve.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD