Sabtu ini Soni akan pulang. Biasanya setiap Sabtu Soni memang akan selalu pulang ke rumah dan akan kembali Minggu sore ke proyek tempatnya bekerja.
Tiba-tiba Ponsel Andhini berdering.
“Halo, ada apa, Mas?” Seperti itu lah biasanya Andhini membuka percakapan dengan suaminya itu. Tidak ada yang spesial dan tidak ada kata sayang. Hubungan mereka memang hambar. Semenjak Andhini menikahi pria itu, Dhini memang tidak pernah mendapatkan perlakuan istimewa.
“Dhini, mas pulang hari ini. apa mau mas bawakan sesuatu.”
“Nggak usah mas, nanti mau aku masakin apa?”
“Terserah aja.”
“Baiklah, aku tutup ya mas.” Dhinipun menutup panggilan telepon dari suaminya itu.
Soni dulunya adalah kekasih Resti—kakak Mira dan Andhini. Waktu mereka berdua menjalin kasih, Mira sering membawa Andhini setiap kencan bersama Soni sehingga membuat Soni menjadi sangat dekat dengan Adhini. Kedekatan antara Soni dan Andhini berubah menjadi bunga-bunga cinta. Hingga pada akhirnya Soni malah melamar Andhini bukannya Resti.
Entah takdir apa yang menimpa Andhini, semenjak SMP Andhini selalu saja jadi orang ketiga diantara hubungan orang lain. Padahal Andhini bukanlah gadis yang centil. Dia cenderung baik, penurut dan pintar. Andhini juga memiliki kelebihan lain, yaitu cantik.
Andhini memang sangat cantik. Kulit kuning langsat khas melayu dengan wajah yang bersih dan mulus. Tubuh langsing dengan tinggi 152 cm membuat Andhini memang tampak lebih imut dari usianya. Cara berpakainnya juga sederhana, tidak ada yang mencolok. Tapi Andhini memang memiliki ukuran payudàra yang bagus dan sintal. Buah dàda yang selalu tercetak indah dibalik baju yang selalu dia kenakan.
Mungkin alasan itulah hingga begitu banyak pria yang menggandrungi Andhini. Tapi sayangnya selalu pria yang sudah memiliki kekasih. Entah itu suatu kesialan atau anugerah untuknya.
“Soni pulang hari ini Dhin?” Neti menghampiri Andhini yang sedang menyiapkan masakan didapur.
“Iya ma, tadi mas Soni nanya, mau dibawain apa pas pulang? Apakah mama mau dibawain sesuatu?”
“Nggak usah, kolesterol mama sedang tinggi. Papamu juga darah tinggi dan kolesterolnya sedang naik.”
“Baiklah ma. Oiya mama dan papa jadi minggu minggu depan terbang ke pontianak?” Andhini masih asyik menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasaknya.
“Jadi, Agung menyuruh mama dan papa kesana. Mama juga rindu dengan cucu-cucu mama yang disana.” Andhini tampak tersenyum.
“Ma, Andhini mau nyari kerja, boleh nggak ma?”
“Kerja? Kenapa tiba-tiba?” Andhini memang sudah memikirkan hal itu beberapa hari ini.
“Mas Agung setuju kalau Dhini mencari Asisten untuk membantu pekerjaan rumah dan untuk nemenin mama dan papa. Jadi Andhini rencana mau kerja lagi. Andhini bosen dirumah ma, terlebih sikap mbak Mira yang semakin hari semakin kelewatan.” Andhini tidak mampu menahan buliran airmata yang keluar begitu saja.
“Dhini mau kerja dimana?”
“Di butik milik teman Dhini. Dia menawarkan Dihini untuk membantunya mengelola butik itu. Sekalian nantikan Dhini bisa promosi keahlian Dhini sebagai MUA kepada para pelànggan butik itu.” Dhini membohongi Netti. Butik yang dimaksud adalah milik Reinald. Tidak ada yang tau jika Reinald memiliki bisnis lain diluar sana. Reinald memang sangat cerdas. Entah Reinald yang kelewat cerdas, atau Mira yang kelewat cuek terhadap suaminya.
Mira tidak perduli dengan apapun usaha yang dilakukan suaminya. Baginya semua permintaanya harus terpenuhi, sekalipun suaminya harus mencuri. Reinald juga tidak memberitahu Mira karena wanita itu akan semakin royal dan gelap mata jika mengetahui bisnis Reinald yang lainnya.
“Sudah dibicarakan dengan Soni?”
“Belum sich ma, nanti akan Dhini bicarakan dengan mas Soni. Tapi Dhini rasa mas Soni tidak akan keberatan.”
“Mama hanya bisa menyetujui jika itu memang baik untukmu. Yang penting Andhini jaga diri baik-baik.” Netti memang begitu menyayangi anak bungsunya itu.
-
-
-
-
-
Soni sedang bersiap hendak pulang. Dia rindu dengan istri dan anaknya. Penampilannya sederhana dengan wajah khas timur tengah. Soni memang terlihat cukup tampan. Namun Soni tidak piawai membuat istrinya bahagia.
Hidupnya sangat lurus selurus jalan tol. Bahkan menyebut kata “cantik” atau “sayang” saja, Soni hampir tidak pernah. Di ranjang pun, dia tidak cukup mampu memuaskan istrinya. Dia memang pria yang dingin dan terkesan cuek kepada pasangan.
“Pulang sekarang pak Soni,” Kata Dion-Site manager di proyek tempat Soni bekerja.
“Iya pak,” jawab Soni dengan senyum merekah.
“Titip salam ya untuk keluarga. Besok tolong cepat balik ya, sebab proyek kita mendesak untuk segera diselesaikan.”
“Baik pak, besok siang saya segera kembali ke proyek.”
Begitulah Soni, masalah pekerjaan dia akan sangat loyal. Namun untuk urusan asmara, Soni termasuk pria yang dingin.
Tak butuh waktu lama, akhirnya motor matic berwarna biru itu melaju meninggalkan mess.
Setelah 4 jam perjalanan, Sonipun sampai didepan rumahnya. Memarkir motor matic biru itu dan masuk kedalam rumah.
“Papa ....” Aulia langsung mengejar dan mendekap pria tersebut.
“Hai sayang ... mana mama?” tanya Soni pada putrinya.
“Ada di dalam, papa bawain apa untuk Aulia?” Gadis itu selalu menagih sesuatu setiap ayahnya pulang bekerja.
“Papa beliin, ini ....” Soni menyodorkan sekantong makan ringan ketangan putrinya.
“Makasih papa ....” Aulia menciumi pipi ayahnya.
“Bagi sama Asri ya nak.”
“Oke pa,” kata Aulia sambil berlalu kedalam rumah.
Tampak Andhini juga menghampiri Soni, menyalami pria itu dengan takzim. Segera mengambil barang-barang bawaan Soni tanpa mengucap sepatah katapun. Sementara Reinald yang sedang duduk santai diruang tamu, merasa tidak nyaman dengan pemandangan tersebut.
“Mas, apa kabar?” Soni menghampiri Reinald, Reinald tersenyum dan berusaha menyimpan rasa ketidak sukaannya pada Soni.
“Baik, bagaimana dengan pekerjaanmu?” Reinald membalas jabat tangan dari Soni
“Alhamdulillah, baik mas. Maaf, aku sangat lelah, mau istirahat dulu mas.” Soni undur diri dan masuk kekamarnya. Disusul oleh Andhini sambil membawa secangkir teh dan makanan kecil.
Plak ...
Koran yang sedang dibaca Reinald, dia lempar keatas meja.
Sial! Sedang apa mereka berdua-duaan didalam kamar? gerutu Reinald dalam hatinya. Reinald sangat marah melihat keintiman Soni dan istrinya.
Reinald pun segera menuju kamarnya dan mengambil kunci mobil yang berada diatas nakas.
“Mau kemana kamu mas?” tanya Mira yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Ada urusan sebentar, aku pergi dulu.”
“Tapi mas ....”
Reinald tetap berlalu tanpa memedulikan pertanyaan dari Mira. Hatinya terbakar cemburu.
Reinald segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Hallo ....” Seorang pria bernama Andi menjawab dari balik telepon
“Lu dimana?” jawab Reinald tanpa basa basi.
“Dirumah, lagi nonton bola, kenapa memangnya?”
“Kita ke barista sekarang. Kita pake mobil lu atau naik taksi online saja.”
“Siap bos!” Andi tampak senang dengan ajakan Reinald.
Barista adalah tempat favorit mereka berdua. Club sekaligus tempat karaoke itu memang selalu buka diawal waktu. Tempat itu merupakan persinggahan bagi kedua pria itu untuk menghibur diri mereka.
Reinald merupakan pribadi yang sangat baik dulunya. ketika Reinald masih menjadi pegawai biasa. Tanpa jabatan dan tanpa kekayaan. Reinald tidak mengenal yang namanya club, minuman keras, tempat karaoke apalagi wanita penghibur.
Namun semua berubah seiring perubahan status ekonomi. Kini Reinald tampak terbiasa dengan semua itu. Ada masalah sedikit saja, larinya langsung ke barista. Reinald bahkan tidak pernah lagi menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Dia begitu terlena dengan dunianya. Di tambah istrinya juga tidak pernah lagi mengingatkannya dengan akhirat. Mira sendiri juga lalai dengan akhiratnya.