"Kau pulang terlambat lagi." Bella menatap Gerald dengan wajah sinis ketika ia terlambat lagi untuk makan malam.
Dengan wajah lesuh dan perasaan yang masih campur aduk, ia menghampiri Bella. Mencoba menyunggingkan senyum semanis mungkin untuk adik terkecilnya."Maafkan aku Bella, maukah kau memaafkan aku?"
"Memang kau dari mana saja sih?" tanya Anthony.
"Dia kencan." Richard menjawabnya sebelum Gerald bersuara.
Heaven, William dan Anthony saling melirik. Sementara Gerald mencoba mengganti topik."Lucy sudah pindah ke apartemennya?"
"Kencan?" Kini Bella justru yang bertanya. "Kau tidak pernah berkata padaku kalo punya pacar."
"Bukan pacar Bella, tapi calon kakak barumu," koreksi Richard.
"Kakak baru?" Bella menoleh ke Gerald matanya seolah akan keluar. "Kau akan menikah?"
"Aku harus menikah Bella, ini untukmu dan semuanya." Gerald mengelus rambut coklat emas adiknya.
"Ngomong-ngomong kau kencan kemana?" tanya Anthony dengan nada jahil.
"Playland." Richard menjawab lagi hingga semua mata tertuju padanya."Daphne yang memberitahuku, jadi jangan salah paham, aku tidak mungkin memata-matai kakakku sendiri, tenang."
"Playland?" Anthony menatap Gerald."Kalian tidak sedang kencan sambil mengasuh anakkan? jangan bilang dia sudah bersuami," canda Anthony.
Bella dengan cepat melempar bantalnya ke wajah Anthony."Dia bukan kamu Anthony."
Anthony hanya tertawa sembari kembali membuka buka tabnya. Mengamati dan mengawasi setiap hal agar sesuai dengan aturan yang dijalankan perusahaan. Serta hubungan bisnis dengan perusahaan lain.
"Gerald siapa perempuan yang akan kamu nikahi? kau sudah memastikan dia orang baik?" Bella bertanya dengan antusias bercampur kecemasan.
Gerald mengusap lembut rambut Bella. "Sepertinya aku tidak bisa menjelaskan detailnya padamu Bella. Aku pikir kau juga tidak akan tau siapa dia. Tapi, dia seorang perempuan lajang dan baik." Gerald menekankan nadanya pada kata baik.
Bella menghembuskan nafas panjang."Aku tidak harus tau siapa dia. Aku hanya ingin tau ceritanya," gerutu Bella. Wajahnya cemberut sembari mengemasi tugas-tugas belajarnya.
"Iya, iya. Akan aku ceritakan nanti. Tapi sebelumnya." Gerald menatap jam di dinding. "Sepertinya kau harus tidur sekarang Tuan Putri."
"Aku tidak ingin tidur."
Gerald tersenyum pada Bella."Harus, jika tidak. Aku tidak bisa menemanimu kali ini." Ancamannya terasa begitu lembut seperti seorang ayah yang penuh dengan kasih sayang.
"Iya. Kau harus tidur," ucap Heaven.
Bella cemberut lalu menatap Gerald."Sampai kapan wajah Heaven terus seperti iblis Gerald. Aku jadi tidak bisa membantahnya."
William yang sedang asik dengan cemilannya tersedak. Richard yang memainkan kursi goyang keluarga yang cukup kuno hampir terjengkak. Sementara Anthony hampir saja menjatuhkan Tab yang berisi data penting perusahaan, karena tertawa.
Sementara Heaven menaikkan satu alisnya, lalu berkata dengan suara datar seperti biasa."Ini salah satu alasan aku seperti iblis, agar kau tetap menurut padaku tuan putri manja." Heaven menatap semua saudaranya. "Dan berhenti memandangku dengan wajah konyol kalian."
"Ya, setidaknya kami tidak seperti iblis," goda William.
Heaven hanya menghembuskan nafas panjang, lalu meninggalkan ruangan.
Gerald menatap Heaven, mencoba membaca ekspresi datar Heaven yang pergi."Apa dia marah?"
"Mungkin. Omongan William keterlaluan," kata Anthony.
"Aku rasa dia juga tidak tau apakah dia marah atau tidak. Jadi tenanglah. Aku yakin besok dia masih sama. Tanpa ekspresi," jelas Richard yang tampak mengamati kursi goyang keluarganya. Memastikan tidak ada yang patah setelah ia hampir terjengkang.
"Kau harus minta padanya segera, William. Dia sakit, butuh dukungan. Bukan ejekan kalian." Gerald menatap Bella."Kau juga Bella, aku rasa jika Heaven sudah sembuh dia akan sangat kecewa padamu."
Bella menunduk."Maaf Gerald."
Gerald menyentuh ujung hidung Bella."Jangan padaku, simpan itu untuk Heaven. Sekarang waktunya untuk tidur."
"Berjanjilah kau akan tidur hingga pagi bersamaku. Aku mau saat membuka mata kau masih di kamarku."
Gerald mengangguk."Baiklah." Lelaki itu meraih pinggang Bella lalu mengendongnya seperti bayi belasan bulan."Ayo kita tidur."
"Gerald aku bukan anak kecil."
"Bagi kami, kau tetap bayi berusia sembilan bulan," jelas Anthony.
Gerald menatap Hindun, pelayan pribadi Bella dan berkata," bereskan semua perlengkapan adikku Hindun, dia harus tidur sekarang."
"Baik Mr.Bernneth."
Gerald berlari menaiki tangga, disambut oleh tawa Bella yang memenuhi ruangan yang selalu Sunti tanpa putri terakhir keluarga Bernneth.
Anthony menatap lekat Bella hingga ujung rambut gadis itu tak terlihat lagi, lalu memandangi tiga adiknya."Siapapun ayahnya, aku bahagia ia terlahir di dunia." Adik-adik Anthony tersenyum lalu mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Oke. Kau ingin cerita apa hari ini," tawar Gerald.
"Tentu saja tentang dia. Apakah kau sudah lama bersamanya."
Gerald menggeleng."Kami bahkan baru bertemu dua hari yang lalu."
"Kau jatuh cinta pada pandangan pertama?"
Gerald menatap Bella, ia jelas tidak akan berkata ya. Karena dipertemuan pertama mereka, ia sama sekali tidak jatuh cinta. Bahkan tertarik. Ya dia sama sekali tidak tertarik. Jadi untuk apa ia terluka saat Marina pergi meninggalkannya dengan wajah penuh rasa takut. Itu sama sekali tidak berarti. Ia hanya penderita anxiety, dan mungkin anxiety nya kembali muncul karena dia bahkan tidak meminum obat sebelumnya. Gerald mengerutkan alisnya, kalo itu Anxiety bukankah seharusnya ia tidak membiarkan Marina sendirian pergi dalam kegelapan. Sekarang Gerald justru yang dihantui rasa bersalah.
"Gerald!" Nada Bella sedikit berteriak.
Gerald menoleh dengan cepat pada Bella sembari mengerjap-kerjapkan matanya karena terkejut."Ya Tuan Putri?"
Bella menyipit."Kau melupakan pertanyaanku?"
Gerald menggeleng."Tentu saja tidak, begini Bella, sayangnya aku bukan lelaki dengan tipe seperti itu. Dan aku juga tidak yakin cinta seperti itu ada. Tapi hubunganku dengannya terlalu sulit untuk dijelaskan. Bukankah kau tidak suka sesuatu yang rumit?"
"Itu menjengkelkan."
Gerald mengangguk, menyetujui pendapat Bella."Sekarang tidurlah Tuan Putri."
Bella mendecis."Tapi aku butuh cerita untuk tidur."
"Kalo begitu aku akan ceritakan bagaimana kami di Playland."
Bella mengangguk."Ceritakan sedetail-detailnya. Aku tidak pernah ke sana, ibu melarangku Gerald. Kapan-kapan kita pergi ke sana ya?"
"Kita akan ke sana saat kau liburan."
"Sungguh? terimakasih Gerald." Bella memeluk erat sang kakak dengan perasaan berbunga. "Baiklah cerita sekarang."
Gerald mengangguk, ia mulai menceritakan setiap detail Playland dengan bentuk kalimat diskriptif hingga Bella seolah tidak bisa mengerjap karena rasa kagum karena gambaran dalam pikirannya. Hingga akhirnya mata Bella pelan-pelan berubah menjadi berat lalu larut ke dalam mimpinya.
Gerald yang menemani di samping Bella yang sudah tertidur lelap mulai mengambil posisi duduk. Matanya mulai teralihkan ke arah foto sang ibu dan Bella yang waktu itu beumur satu tahun.
Gerald tersenyum kecil."Mommy, apa kau senang sekarang? aku benar-benar sangat berusaha untuk sebuah pernikahan. Meski aku melakukannya demi syarat warisan itu. Tapi aku benar-benar ingin kau berada di sini sekarang, menunjukkan padaku apa yang harus aku lakukan Mommy lalu tersenyum gembira saat aku ada di altar." Gerald tertawa kecil, nada tawa terdengar begitu putus asa."Jika kau berada di sini, kau pasti akan mengomel karena aku ingin menikah dengan perempuan biasa. Tapi kau akan selalu memberi saran terbaikmu untukku, untuk anak-anakmu yang luar biasa bandel ini." Gerald menghembuskan nafas panjang lalu menunduk."Perempuan yang ingin aku nikahi itu terlalu rewel. Tapi entah kenapa hatiku begitu menginginkannya untuk menjadi istriku. Dan kau tau kan Mommy, karena didikanmu dan Ayah, aku tidak pernah melepas hal yang ku inginkan. Jadi, bisakah kau membantuku di atas sana?"