Ajakan Merry

1462 Words
Restoran Gracia, pukul 06.00 pagi “Awwww ....” Miranda mengibas-ngibaskan tangan kirinya. Darah segar mengalir dari jari telunjuknya. Ia menghisap jari telunjuknya berharap hal itu bisa menghentikan pendarahan di jarinya itu. “Kenapa, Mir?” tanya Mita, rekan Miranda sesama koki. “Lagi ngiris jahe, malah jariku yang keiris, Mit.” Miranda menjawab lalu kembali menghisap jarinya. “Kok jarinya malah dihisap? Dicuci pakai air mengalir, dong, Mir,” saran Mita. “Oh, iya.” Miranda beranjak melangkah menuju wastafel dan membiarkan tangannya diguyur air bersih. Setelah beberapa waktu, cairan merah itu tak lagi keluar dari telunjuknya. “Nih, tutup lukanya pakai ini, Mir,” ucap Mita sambil menyodorkan sebuah plaster penutup luka. “Terima kasih, Mit.” Miranda menerima plaster dan menutup lukanya. “Sama-sama, Mir. Makanya, kalau kerja jangan sambil melamun. Dari tadi aku lihat kamu melamun terus. Lagi mikirin apa sih, Mir? Mikirin cowok, ya?” selidik Mita. “Cowok aja ngga punya, Mit. Aku ... lagi kepikiran mama yang lagi sakit. Butuh biaya banyak banget, Mit. Aku mana ada uang sampai ratusan juta,” keluh Miranda. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. “Hahh … ratusan juta? Memangnya mama kamu sakit apa, Mir?” tanya Mita. “Kanker p******a, Mit.” “Awww ....” Mita yang sedang mengiris bawang bombai tak sengaja melukai ibu jarinya karena terkejut mendengar jawaban Miranda. “Lohh ... kenapa jadi gantian gini sih, Mita?” Miranda menarik Mita menuju wastafel. Ia membuka keran dan mengguyur jari Mita yang mengeluarkan cairan merah segar. “Aku kaget, Mir. Pantesan dari tadi kamu melamun aja.” Miranda mengeringkan tangan Mita dengan serbet bersih lalu memasangkan plaster ke jarinya yang tadi tidak sengaja teriris. “Ya, begitulah, Mit. Kalau kamu saja kaget apalagi aku. Ya udah, kita lanjut masak lagi, yuk, Mit.” Miranda dan Mita lanjut memasak. Hari ini Miranda mendapatkan tugas memasak nasi hainan, menu andalan restoran Gracia. Dua jam kemudian Seorang pria berbadan tinggi tegap memasuki restoran Gracia. Ini kali pertama ia datang ke restoran tersebut. Biasanya, petugas kateringlah yang mengantar pesanannya. Pria itu berambut cepak dan berbadan kekar, membuat ia terlihat seperti seorang tentara. Ia berjalan menuju kasir. Kebetulan, Miranda sedang berjaga di kasir karena petugas kasir yang sebenarnya sedang pergi ke toilet. “Mau pesan apa, Pak?” tanya Miranda. “Saya mau pesan satu porsi nasi hainan dan satu porsi bubur ayam.” Miranda menekan keyboard yang ada di komputernya. “Baik, Pak. Semua jadi tujuh puluh lima ribu rupiah,” ucap Miranda. “Ini, Mbak.” Pria tersebut memberikan satu lembar uang seratus ribuan kepada Miranda. Miranda kemudian mencetak struk dan memberikannya kepada pria itu berikut dengan kembaliannya. “Kembaliannya pegang saja. Itu tip dari saya,” ucap pria tersebut. “Terima kasih, Pak. Silakan duduk. Pesanan Bapak akan segera kami siapkan.” Pria tampan bertubuh tegap tersebut duduk di kursi tak jauh dari meja kasir. Tak lama, Mita datang membawa sebuah paper bag berisi pesanan kemudian menyerahkannya kepada pria tersebut. “Ini pesanannya, Pak.” “Terima kasih.” “Besok-besok datang lagi, ya, Pak.” Mita tersenyum manis kepada pria itu. Tak diduga, pria itu kembali membalas senyuman Mita lalu beranjak meninggalkan restoran. “Mita, Mita!” panggil Miranda. “Ehh ... iya. Ganteng banget, Mir. Kepengen banget aku jadi pacarnya,” ucap Mita seraya mendekati Miranda. “Belum kenal udah pengen jadiin pacar. Siapa tahu dia sudah punya istri.” Miranda menggeleng-gelengkan kepalanya. “Cari pacar yang pasti-pasti aja, Mita.” “Iya, Miranda. Tapi kalau dia masih lajang boleh, dong, ya.” Miranda mencubit gemas pinggang Mita lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Pukul dua siang Restoran Gracia sudah mulai sepi. Beberapa karyawan mulai membersihkan meja. Restoran itu akan segera tutup. Sebuah mobil berwarna merah memasuki pekarangan restoran Gracia. Seorang wanita dewasa nan cantik dan ayu turun dari sana. Wanita itu membuka pintu restoran dan masuk. “Maaf, Bu, kami mau tutup,” ucap seorang karyawan lelaki. “Loh, biasanya tutup jam tiga. Sekarang ‘kan baru jam dua?” Wanita itu mengamati jam berwarna emas yang melingkar di pergelangan tangannya. “Iya, Bu. Hari ini restoran ramai, semua menu sudah habis. Makanya kami tutup lebih awal,” jawab karyawan tadi. “Ohhh ... begitu.” Wanita itu hendak meninggalkan restoran ketika Miranda memanggilnya. “Kak Merry,” panggil Miranda dengan suara sedikit keras. “Miranda,” sahut Merry. Miranda menghampiri Merry yang sudah berdiri di pintu. “Aku telat, ya, Mir,” ucap Merry. Miranda mengangguk. “Gimana kalau hari ini aku traktir kamu makan di restoran yang lain?” tanya Merry. “Ngga usah repot-repot, Kak. Lagipula aku sudah makan siang, kok,” tolak Miranda halus. “Temanin aku makan dong, Mir. Bahaya wanita secantik aku kalau makan sendiri. Nanti aku diculik loh,” canda Merry. “Hahahah ... ya udah. Tunggu sebentar lagi ya, Kak. Aku beres-beres dulu.” Miranda menarik Merry dan menyuruhnya duduk. Ia lalu beranjak ke loker mengambil tasnya. “Ayo, Kak,” ajak Miranda. Kedua wanita itu berjalan menuju restoran yang tak jauh dari restoran Gracia. Merry memesan makanan untuk dirinya dan minuman untuk Miranda. Selama berada di restoran, Miranda lebih banyak diam tak seperti biasanya. Merry dan Miranda pertama kali berkenalan di restoran Gracia. Merry adalah tamu tetap di restoran tersebut dan akhirnya ia berteman dengan Miranda. “Kamu kenapa, Mir? Kok aku lihat dari tadi kamu banyak diam?” selidik Merry. Ia telah menghabiskan makanannya. “Ngga ada apa-apa, Kak.” Miranda berkilah. “Jangan bohong. Aku tahu kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu.” Miranda terdiam. Ia mengaduk minumannya. Satu teguk minuman pun belum masuk ke mulutnya. “Itu minuman kok diaduk-aduk, bukannya diminum. Cerita sama aku, siapa tahu aku bisa bantu.” “Mmmm ... gini, Kak. Mama ... mama terkena penyakit kanker p******a. Aku sedang bingung memikirkan biaya. Dokter bilang mama harus operasi dan kemoterapi. Gajiku di restoran cuma 5 jutaan. Aku ngga tahu harus bagaimana, Kak.” Miranda menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. “Apa? Mama terkena kanker p******a?” Miranda mengangguk keras. Hening. Baik Miranda maupun Merry tidak ada yang bicara untuk beberapa saat. “Mir, sebenarnya aku ada jalan. Kamu pasti bisa dapat uang itu dengan mudah.” “Apa? Benar, Kak? Kakak mau kasih aku pinjaman?” tanya Miranda dengan antusias. “Bu-bukan, Mir. Mmmm ... apa kamu masih perawan?” selidik Merry. “Ya, iyalah, Kak. Emang kenapa?” tanya Miranda penasaran. “Kamu bisa dapat uang banyak dengan satu cara.” Merry melipat kedua tangannya di atas meja. “Apa itu, Kak?” tanya Miranda lagi. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah mendapatkan biaya untuk pengobatan mamanya. “Aku hanya memberi saran. Keputusan terakhir ada di kamu. Jadi tolong pikirkan baik-baik, ya.” “Iya, Kak. Aku akan lakukan apa saja untuk mama,” jawab Miranda semangat. “Kamu yakin?” tanya Merry memastikan. Miranda mengangguk cepat. “Iya, Kak. Aku sangat butuh uang itu sekarang. Mama harus segera menjalani operasi mastektomi,” jawab Miranda meyakinkan. “Pekerjaanya apa, Kak?” “Jual keperawananmu.” Merry menyahut dengan nada berbisik. Ia tak ingin ada pengunjung lain yang mendengarkan percakapan mereka. “Apa???” Miranda membulatkan kedua matanya. Kedua tangan menutup mulutnya yang juga ikut terbuka lebar. “Iya, Mir. Itu adalah cara yang paling mudah. Dengan tubuhmu yang bagus dan parasmu yang cantik, aku yakin kamu bisa mendapatkan uang selangit. Aku hanya perlu mencari pria yang benar-benar kaya.” Merry mencoba meyakinkan Miranda. “Tapi, Kak. Apa ngga ada cara yang lain?” tanya Miranda. “Miranda, coba kamu pikirkan. Dari mana kamu bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu yang singkat?” Miranda terdiam. Ia memutar-mutar gelas yang ada di hadapannya. Tawaran dari Merry sangat menarik, tetapi teramat bertolak belakang dengan hati kecilnya. “Gimana, Mir? Apa kamu sudah buat keputusan?” tanya Merry sambil mengangkat kedua alisnya. “Emm … maaf, Kak. Sepertinya aku tidak bisa.” Miranda menjawab pelan. “Baiklah kalau begitu. Aku hanya mencoba menolongmu. Coba kamu pikir-pikir lagi saranku. Kalau kamu berubah pikiran, jangan segan-segan untuk menghubungiku.” Merry tersenyum kecil sambil memegang tangan Miranda. “Apakah aku harus menjual keperawananku?” batin Miranda. Hatinya masih belum bisa mengambil keputusan yang terbaik. Di satu sisi, ia membutuhkan uang dalam jumlah besar. Di sisi lain, jalan pintas yang ditawarkan Merry tidak sesuai dengan hati nuraninya. “Tidak … tidak. Kalau ibu tahu aku menjual keperawananku, bisa-bisa ibu malah tambah sakit,” batinnya lagi. “Mir, habisin minumannya. Setelah itu kita pulang, ya,” ucap Merry memecahkan lamunan Miranda. Gadis berambut ikal itu pun meneguk minumannya dengan perlahan. Ia lalu meletakkan gelasnya di atas meja. Sore itu, Merry mengantar Miranda pulang ke rumah dengan mobil merahnya. Sesampainya di depan rumah Miranda, Merry kembali berpesan agar Miranda mempertimbangkan saran yang sudah ia berikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD