8. Takdir

2102 Words
"Aku tidak keberatan menunggumu lebih lama. Karena ku yakin, pada akhirnya kamu yang dipilih Tuhan mendampingiku di akhir cerita." ----- "Mister, anda tidak pulang?" Nicholas yang masih berada di dalam ruang kerja Edward bertanya. "Jangan lupa, kalau malam ini anda ada janji menghadiri jamuan makan malam bersama Tuan Alexander." Edward menepuk pelan keningnya. "Astaga, hampir saja aku lupa." Terlalu asyik mengobrol dengan Hans membuat pria itu lupa agenda wajib hari ini. "Nic, menurutmu, apa aku harus tetap datang malam ini ke pesta tersebut?" tanya Edward kemudian. Ia terlihat ragu sekarang. Bukannya langsung menjawab, Nicholas malah tertawa pelan. Ia tahu, bosnya itu pasti malas untuk menghadiri acara jamuan makan malam seperti ini. Alih-alih berbicara bisnis, biasanya para konglomerat malah sibuk saling pamer harta kekayaan. Hal inilah yang sangat dihindari oleh Edward. "Kalau anda tidak ingin Tuan Alexander marah, sebaiknya sekarang bergegas untuk pulang. Beliau bahkan hari ini sudah dua kali mengingatkan agar anda hadir dalam acara tersebut." "Padahal aku tahu apa tujuan Pak tua itu memaksaku untuk ikut." Sekali lagi Nicholas tertawa. "Harusnya anda senang, Mister. Siapa tahu pulang dari sana, anda benar-benar mendapatkan calon istri. Ingat, pengalihan jabatan CEO sudah semakin dekat." Edward menghela napas panjang. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain menghadiri acara tersebut. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Tolong kau handle semua pekerjaanku hari ini. Ada beberapa laporan yang belum selesai aku periksa." Di posisi berdirinya, Nicholas mengangguk paham. "Setelah ini, akan langsung saya kerjakan." Edward kemudian bangkit dari duduknya. Menyambut tas kerja yang Nicholas serahkan lalu bergegas keluar ruangan. **** Sebelum benar-benar pergi ke tempat acara, Edward memilih untuk singgah terlebih dahulu ke rumah Alexander. Untuk kali pertama setelah pulang dari Indonesia, pria itu kembali menginjakkan kakinya di sana. Memasuki rumah nan megah yang berada di distrik Keningston, seorang asisten rumah tangga yang sangat Edward kenal datang menyambut. Raut keterkejutan terlihat jelas di wajah wanita paruh baya itu. "Selamat datang, Tuan muda. Senang melihat anda datang kemari setelah sekian lama." Edward mengangguk sekilas. Melempar senyum ke arah wanita bernama Sisilia Laurence tersebut. "Bagaimana kabarmu, Aunty Sisilia? Apa penyakit gulamu masih sering kambuh?" Sisilia turut tersenyum kemudian menjawab pertanyaan Edward. "Thanks, God. Keadaanku jauh lebih baik sekarang. Apalagi nyonya besar sudah mengajariku bagaimana cara menjalani diet gula yang baik." "Senang mendengarnya." Edward menanggapi sembari terus melangkah masuk menuju ruang keluarga. "Terlihat jelas penampilanmu sekarang lebih segar dari pada biasanya." Selesai mengucapkan kalimat itu, pandangan Edward beralih kepada sosok wanita lain yang sedang duduk di sofa sembari membaca buku. "Aunty Sisilia, tolong beritahu Papa kalau aku sudah datang dan menunggunya." Sisilia mengangguk paham lalu beranjak pergi untuk segera memberitahukan Alexander. Sementara menunggu sang ayah, Edward kembali melanglah menghampiri ibunya yang sedang duduk di sofa. "Ma, apa kabar?" Demi mendengar suara yang sangat ia hapal, Liliana langsung menutup buku yang ia baca. Menoleh ke sumber suara, wanita berumur setengah abad tersebut mendapati anak sulungnya telah berdiri sempurna di sebelahnya. "Ya Tuhan, Edward." Lilianan langsung bangkit dari duduknya. Wanita itu mendekat, sejurus kemudian mendaratkan pelukan serta ciuman singkat di pipi Edward. "Mama rindu denganmu, Ed." Mata Liliana nyaris berkaca-kaca. Terharu mengingat cukup lama ia tidak bertemu dengan anaknya tersebut. Alih-alih mengajak duduk, hal yang dilakukan Liliana berikutnya adalah mencubit lengan dan pipi Edward hingga pria itu mengaduh kesakitan. "Ma, hentikan. Kenapa setiap bertemu denganku, Mama selalu mencubit seperti ini?" Rengek Edward. Pria itu terus mengusap pipinya yang memerah akibat cubitan dari Liliana. "Mama hanya gemas kepadamu," sahut Liliana santai. "Salah sendiri kau membuat Mama begitu rindu, Ed." Semenjak membantu Alexander di AlphaBeta, Edward memang sibuk dan begitu tenggelam dalam pekerjaan. Tak jarang, bila Liliana sedang rindu, wanita itu yang mengalah pergi mengunjungi Edward secara langsung di kantor. "Maafkan aku, Ma," ucap Edward penuh sesal. "Mulai sekarang, aku akan lebih banyak menyempatkan waktu untuk mengunjungi Mama dan Papa." Binar bahagia terlihat jelas di mata Liliana. Ia terlampau senang mendengar apa yang diucapkan Edward kepadanya. Seperti diketahui, anak lelakinya itu begitu sulit bila diminta singgah apalagi menginap di rumah Alexander dan Liliana. "Kau janji?" Liliana kembali memastikan. Edward tersenyum lalu mengangguk. "Aku jan ---" "Jangan terlalu banyak mengumbar janji pada Mama mu, Ed," potong Alexander. Pria itu terlihat sedang menuruni anak tangga bermaksud untuk menghampiri Liliana dan Edward. "Papa tidak suka kau mempermainkan perasaan Mama mu." Sambung Alexander setelah ia benar-benar sudah berdiri di samping Edward. "Ya Tuhan, Pa. Kali ini aku bersungguh-sungguh. Aku janji akan sering mengunjungi kalian." Alexander menatap penuh sangsi ke arah anaknya tersebut. "Kita lihat saja. Apa kali ini kau menepati janji." Sementara Liliana tertawa melihat tingkah laku anak dan suaminya yang memang jarang akur di setiap pertemuan. Tapi ia tahu, kalau kedua lelakinya tersebut saling sayang satu sama lain. "Sudahlah, hentikan perdebatan kalian yang tidak penting. Sekarang bergegaslah pergi. Takut-takut jalanan macet, kalian bisa terlambat tiba di tempat acara." "Mama tidak ikut bersama kami?" Bukan Liliana, malah Alexander yang menjawab pertanyaan Edward. "Mama mu sudah puas menemani Papa menghadiri berbagai macam pesta dan jamuan makan malam. Sudah saatnya kau belajar menggantikan. Karena sebentar lagi, kau yang mengambil alih semuanya, Ed." Edward menghela napas pendek, ia tahu benar maksud ucapan ayahnya. Sebagai pewaris tunggal AlphaBeta, siap tidak siap, sebentar lagi ia yang harus menggantikan kebiasaan yang sering dilakukan Alexander. Termasuk menghadiri jamuan-jamuan penting seperti hari ini. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Pa." **** Tepat pukul 7.30 malam, Edward dan Alexander tiba di Hotel Hilton Park Lane yang ada di distrik kelas atas Mayfair. Sebagian besar para tamu undangan sudah tampak hadir bahkan saling berbaur satu sama lain. Alexander sendiri meminta Edward untuk terus mengekorinya hingga mereka berhenti di salah satu kerumunan yang Edward yakini adalah teman-teman dekat ayahnya. "Alexander Edgar Cullen, akhirnya kau datang juga." Seorang pria bertubuh gempal menyambut kedatangan Alexander dan Edward. "Darren Alistair ... " sahut Alexander. "Kau sudah sampai lebih dulu rupanya." Pria itu memeluk sekilas kemudian melanjutkan perbincangan. "Aku juga baru sampai. Ku lihat sudah ada Antonio dan Marcus di Ballroom ini. Hanya Dylan yang belum ku temukan batang hidungnya." Alexander tersenyum menanggapi ucapan Darren. Sementara ayahnya tengah sibuk berbincang, Edward meminta izin untuk mengambil minuman. Dan ketika ia melangkah kembali, dari kejauhan iris matanya menangkap keberadaan seseorang yang sangat familiar tengah berbincang dengan Alexander. Demi memastikan penglihatannya, Edward mengambil langkah besar untuk segera mendekat. "Ini dia putraku. Pewaris tunggal AlphaBeta, Sebastian Eduardo Cullen." Ketika Edward benar-benar sampai, Alexander langsung memintanya untuk berkenalan dengan dua orang tamu yang ia yakini baru bergabung. Dengan hormat, Edward mengulurkan tangan ke arah pria yang ia ketahui bernama Dylan Arley tersebut. Setelah itu, ia beralih kepada sosok wanita cantik yang berdiri tepat di samping Dylan. "Senang bertemu denganmu Naomi. Sudah ku bilang, kita memang jodoh." Seringai penuh kemenangan terlihat jelas di wajah Edward. "Kalian sudah saling kenal?" Secara bersamaan, Dylan dan Alexander bertanya. Edward mengangguk sembari tersenyum penuh arti. "Tentu saja, Mr. Dylan. Siapa yang tidak mengenal wanita secantik putri anda." Pandangan mata Dylan beralih pada Naomi. "Benar begitu, Naomi?" tanyanya memastikan. "Kenapa tidak pernah cerita pada Papa?" Naomi tersenyum. Lalu mengangguk sekilas. "Benar, Pa. Aku memang mengenalnya. Lagi pula, di negara ini, siapa yang tidak tahu Edward Cullen? Playboy yang paling digilai para wanita." "Oh astaga, Naomi." Suara berat Edward terdengar dengan sedikit nada meringis di sana. "Aku anggap itu pujian," ucapnya. "Tapi harusnya kau katakan juga kepada semua orang kalau kita bukan hanya saling kenal." Naomi menarik napasnya dalam-dalam. Lantas detik kemudian ia memasang sikap waspada. Bisa kacau kalau pria itu menceritakan semua kejadian yang pernah mereka berdua lakukan kepada Dylan dan Alexander. "Mr. Ed ---" "Jadi kalian juga sudah saling dekat?" Kali ini Dylan tanpa sengaja memotong ucapan Naomi. "Bisa dikatakan demikian, Mr. Dylan," sahut Edward. "Bahkan beberapa malam yang lalu aku sempat mengantar Naomi pulang. Sebenarnya aku ingin singgah untuk menemui anda. Tapi karena sudah larut malam, ku urungkan niatan itu." "Tunggu dulu ... " Dylan menginterupsi. "Mengantar Naomi pulang? Maksudmu, kau yang mengantar Naomi saat dia tengah mabuk?" Sekali lagi Dylan memastikan. Edward mengangguk penuh percaya diri. "Benar, aku yang mengantar Naomi malam itu." Lantas hal berikutnya yang ditunjukkan Dylan adalah senyum. Seakan-akan mendapatkan ketenangan dalam hatinya. "Well, Lex, sepertinya tidak begitu sulit untuk meneruskan rencana yang kita perbincangkan tempo hari." Alexander turut tersenyum lebar menanggapi ucapan Dylan. "Siapa yang sangka kalau mereka berdua sudah saling kenal. Sepertinya ini semua akan lebih mudah." Pandangan Alexander kini beralih ke Edward. "Kau tahu, kenapa Papa begitu memaksamu untuk ikut malam ini? Karena Papa ingin mengenalkanmu dengan anak Dylan yang cantik dan pintar ini," ucapnya penuh bangga. "Kalau cocok, kami bahkan merencanakan akan menjodohkan kalian." Sementara Edward tersenyum lebar, berbeda dengan Naomi yang langsung menatap tajam ke arah ayahnya. "Pa ... " Naomi menggantung ucapannya. "Tenang, Naomi," sahut Dylan. "Kalian berdua tidak perlu menjawab hari ini. Silahkan dipikirkan terlebih dahulu. Sementara itu, Papa dan Mr.Alex akan meninggalkan kalian berdua untuk berbincang." Kali ini Naomi tidak membalas perkataan Dylan, melainkan mengatupkan rapat-rapat bibirnya. Membiarkan kedua pria paruh baya itu pergi terlebih dahulu, detik selanjutnya ia langsung menarik pergelangan tangan Edward. Membawa pria itu menjauh dari kerumunan. "Apa maksud semua ucapanmu tadi?" Naomi tidak menahan diri lagi ketika mereka berdua sudah berada di luar Ballroom. Edward menyeringai. Bersikap begitu santai. "Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya sedang menikmati takdir dari Tuhan." Ada nada mengejek terselip di kalimatnya. "Kau lihat sendiri. Susah payah menghindariku, akhirnya kita bertemu lagi. Bahkan lebih parahnya, kedua orang tua kita bermaksud untuk menjodohkan. Tuhan sepertinya memang ingin menyatukan kita berdua." "Jangan gila!" Naomi mendesis tajam. "Aku pastikan itu tidak akan pernah terjadi." Edward melangkah. Mendekati Naomi mengikis jarak di antara mereka berdua. Membuat Naomi tanpa sadar mundur teratur seiring langkah maju pria itu. "Kalau kemarin aku pasrah pada nasib, kali ini aku pastikan untuk mendapatkanmu." Edward berucap penuh percaya diri. "Kau pikir, aku mau menjadi pasanganmu? Jangan mimpi Edward Cullen. Seribu kali kau berusaha, seribu kali juga aku akan menolaknya." Seringai miring masih tersungging di wajah tampan Edward. Nyatanya ucapan Naomi tidak sedikit pun membuat pria itu gentar. "Maka akan ku wujudkan mimpi itu," sahut Edward. "Aku bahkan tidak sabar memberi tahu Papamu dan Papaku soal kita yang sudah pernah tidur bersama. Malah nyaris melakukannya dua kali." Naomi tidak tahu harus bersikap seperti apalagi menanggapi ucapan Edward. Pria itu berhasil membuatnya malu dan kesal dalam waktu bersamaan. Maka hal selanjutnya yang Naomi lakukan adalah melangkah maju. Mendekati posisi pria yang sebelumnya susah payah ia hindari. "Jangan macam-macam," katanya sembari melayangkan tatapan menghujam ke arah Edward. "Aku bisa saja menghabisi nyawamu bila kau mengatakan hal itu pada papaku!" Alih-alih takut, Edward malah tertawa secara terang-terangan di hadapan Naomi. Menganggap ancaman yang wanita itu berikan hanya sekedar lelucon. Ia bahkan membalas tatapan Naomi tak kalah intens. "Silahkan saja membunuhku. Kalau aku mati, aku bersumpah akan menghantuimu setiap saat. Berkunjung ke kamarmu, bahkan ikut menemanimu tidur di setiap malam." Naomi menarik napas dalam. Mencoba menahan diri agar tidak semakin tersulut emosi. Semua ucapan Edward membuatnya hampir gila. Bagaimana bisa pria itu berniat untuk menghantuinya tiap malam. Dasar sinting. Naomi tidak tahu lagi harus bersikap apa. Karena tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Edward, ia memilih meninggalkan pria itu begitu saja. Kembali masuk ke Ballroom mencari keberadaan Dylan. "Pa, apa sebaiknya kita pulang saja?" ajak Naomi saat ia menemukan Dylan yang tengah minum dan berbincang dengan para kolega bisnisnya. Pria paruh baya itu menautkan kedua belah alisnya bingung. "Kenapa? Sesuatu terjadi denganmu?" Naomi menggelengkan kepalanya. "Tiba-tiba aku merasa pusing." Dylan mengangguk paham. "Baiklah kalau kau mau pulang. Kita pamit terlebih dahulu. Tapi ngomong-ngomong bagaimana perbincanganmu dengan Edward? Apa kalian tidak merencanakan sesuatu setelah ini?" "Pa, aku dan ---" "Kami sepakat akan melangsungkan makan malam bersama besok malam, Tuan Dylan." Dari arah belakang, tiba-tiba Edward menghampiri dan langsung memotong kalimat Naomi. Sontak saja wanita itu menoleh dan langsung melotot tidak terima dengan apa yang ia dengar Berbeda dengan Dylan, ia terlihat senang dengan apa yang Edward katakan. "Ah, aku senang sekali mendengarnya. Kalau begitu, aku tunggu kedatanganmu besok di rumah untuk menjemput Naomi." Seringai tercetak di wajah Edward. Ia bahkan tidak memerdulikan tatapan kesal yang terang-terangan ditunjukkan oleh Naomi. "Tenang saja, Mr. Dylan. Besok, aku akan menjemput putri anda tepat waktu." . . Terima kasih yang masih setia mengikuti cerita ini. Jangan lupa tinggalkan komentar kalian. Btw, Plis, ga usah tanya lagi kapan cerita ini update yaa Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silahkan follow/add. . . ====Note=== . Halo, Cerita ini eksklusif tayang/terbit di aplikasi Dreame/innovel dan hanya bisa di baca di sana. Jadi, jika kalian menemukan cerita ini dijual bebas dalam bentuk PDF oleh orang yang tidak bertanggung jawab, mohon bantuannya untuk melapor/memberitahu aku, yah. Karena tindakan tersebut bisa di proses secara hukum dan di tuntut untuk mengganti rugi. . Salam, Fhee
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD