Episode 2: Beruntung

2189 Words
Aleo sedang tertidur saat Gustian menggenggam tanganya dengan mata berkaca-kaca. Beberapa hari yang lalu dokter sudah mengeluarkan hasil tes DNA Aleo. Hasilnya menyatakan bahwa 99,9% DNA Aleo dan Gustian cocok. Beberapa kali kudengar Gustian meminta maaf pada Aleo. Aku sengaja menjauh keluar dan memberi mereka waktu untuk bersama. Kupikir Gustian tidak menginginkan Aleo. Tapi melihat dia yang seperti itu aku yakin keputusan untuk tak memberi tau Gustian tentang Aleo diambil secara sepihak oleh kak Hilda. Tak berapa lama kemudian Gustian keluar dengan raut wajah yang begitu terpukul. "Terima kasih kau sudah menjaga Aleo dan tolong jagalah Aleo untuk seterusnya" "Sudah kukatakan kau tidak perlu khawatir atas hak asuh Aleo. Aku juga tidak memintamu untuk mengambilnya. Lagipula jika kau mengambilnya dari sisihku maka aku pasti akan kesepian" Aku tertunduk saat mengatakan kata itu pada Gustian. "Aku akan membiayai Aleo seumur hidupku. Tapi hari ini akan menjadi hari terakhir aku bertemu denganya." Cukup lama kami terdiam sampai Gustian melanjutkan kembali ucapanya. "Jangan pernah datang atau hubungi aku lagi jika tidak ada hal yang mendesak tentang Aleo. Dan ini, bawalah ATM ini bersamamu." Gustian menyerahkan kartu ATM padaku. Aku tidak akan menolaknya. Lagipula kami butuh biaya hidup dan sudah sepantasnya ayahnya membiayai hidup Aleo. "Kenapa kau tak ingin menemui Aleo lagi? Apa dihatimu bahkan tidak ada ikatan batin sama sekali dengannya?" Aku mencoba mencari tau alasan Gustian melakukanya "Kau tidak perlu tau, lakukan saja apa yang kupinta darimu. Dan ingat jangan pernah menghubungiku jika bukan karna Aleo" Dasar. Dia pikir dia siapa? Aku menarik kembali ucapanku waktu itu yang menganggap Aleo beruntung punya orang tua seperti dia. Nyatanya Aleo sungguh malang punya ayah yang bahkan tak ingin bertemu dengannya lagi. Kulihat Gustian mencium Aleo sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan rumah sakit. Tadi dia bilang tidak ingin menemui Aleo lagi, padahal sepertinya dia menyayangi Aleo. Laki-laki seperti apa yang disukai oleh kak Hilda ini? "Mama" Suara lemah Aleo menyadarkanku dari lamunan panjang yang tak berkesudahan. "Oh jagoan mama sudah bangun. Mau minum sayang?" Aleo hanya menggeleng dan berusaha duduk. "Mama tadi Aleo bermimpi. Aleo melihat papa" Seketika aku tersentak, apa tadi Aleo tidak tidur? Apa dia menyadari papanya ada disampingnya beberapa saat yang lalu? Tapi segera kutepis rasa gelisahku dan tersenyum manis padanya. "Memangnya Aleo sudah pernah melihat papa? Dari mana anak mama ini tau kalau dia adalah papanya Aleo?" Aku bertanya ingin mencari tau jawaban dari rasa penasaranku. "Katanya maaf ma" Aleo menjawab seperti tak yakin "Sudahlah sayang, mimpi hanyalah bunga tidur. Apa Aleo mau makan buah?" Aku segera mengalihkan perhatian Aleo ke piring berisi buah yang sejak tadi sudah kupotong sembari menunggu dia bangun tidur. Aleoku suka makan buah. "Mau ma" Aleo mengangguk senang mendengar tawaranku. Maafkan mama Aleo. Mama terpaksa harus berbohong karna ayah kandungmu tidak bisa bertemu denganmu lagi. Mama tidak mau Aleo kecewa jika tau tentang ayahmu yang seperti itu. Meskipun mama yakin Aleo pasti belum mengerti dengan rumitnya dunia orang dewasa tapi mama ingin menjaga perasaan Aleo. Aku membatin seraya mengelus rambut Aleo yang mulai terlihat panjang, bayiku ini menjadi semakin tampan sekarang. Makanya yang masih belepotan dan sedikit kesusahan memegang sendok membuatku ingin membantunya. Tapi Aleo selalu berteriak dan ingin mencoba makan sendiri. *** Akhirnya Aleo diperbolehkan untuk pulang setelah  2 minggu penuh dirawat dirumah sakit. Aku bisa bernafas lega sekarang. Aleoku sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Saat ingin melunasi tagihan rumah sakit ternyata Gustian sudah melakukanya terlebih dahulu. Entah kapan dia melakukanya karna aku sama sekali tak melihat Gustian disekitar resepsionis. Aku sengaja masih mengambil cuti kerja untuk memastikan Aleo sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Untuk sementara kami bisa menggunakan uang yang diberikan oleh ayahnya. Aku belum sempat memeriksa berapa uang yang diberikan ayah berengsek itu pada Aleo. Tapi aku yakin mengingat orang itu bukanlah orang sembarangan jumlahnya pasti tidak sedikit. Keesokan harinya aku mengajak Aleo jalan-jalan ke mall untuk membeli mainan baru yang mungkin dia inginkan. Aleoku sering sekali melihat anak tetangga kami bermain mobil-mobilan yang bisa dikendalikan menggunakan remote. Sepertinya dia menginginkan mainan itu. Tapi entah mengapa dia tidak merengek seperti anak kebanyakan jika menginginkan sesuatu. Mana mungkinkan dia mengerti dengan kondisi keuanganku? Aleo cuma balita berumur 4,4 tahun tidak mungkin dia sudah bisa bersikap dewasa melebihi usianya. Entahlah kadang Aleo membuatku tak bisa berkata-kata. Sejujurnya aku sedikit merasa bersalah, mungkin semua ini terjadi karna Aleo sering mendengarkan percakapan kami jika sedang bekerja di restaurant atau sering mendengar ibu kontrakan menagih uang kontrakan karna sudah jatuh tempo. Aku takut Aleo jadi tak berani mengekspresikan keinginanya karna ketidakmampuanku. Aku mengajak Aleo ke ATM terdekat untuk mengambil uang. Dengan takut-takut kutekan kode pin yang diberikan ayah Aleo beberapa hari lalu. Saat mesin ATM menunjukan nominal yang tertera di kartu tersebut aku tercengang tak percaya,  500 juta? Apa orang itu sudah gila? Segera kutarik nominal 500 ribu yang kupikir cukup untuk sekedar membelikan Aleo mainan dan kutinggalkan tempat itu dengan perasaan gelisah. Takut ada yang membuntuti atau mengetahui kalau aku memegang ATM senilai ratusan juta rupiah. Aleo tampak heran dengan kelakuanku. "Mama ada apa?" "Tidak sayang, mama cuma mau buru2 membelikanmu sesuatu" Aku segera beralasan demikian dan mengajak Aleo menjauh. Bagaimanapun hari ini juga aku akan menemui orang itu. Aku harus mengembalikan kartu ini, uang sebanyak ini dia bahkan bisa membelikan Aleo rumah. Dan dia malah dengan begitu mudahnya memberikan uang ini padaku. Biaya hidup Aleo saja jika ditotalkan tidak mungkin mencapai 500 juta. Lagipula aku tidak menginginkan ganti rugi. Kuajak Aleo ke konter mainan anak yang berada dilantai 2. Entah kebetulan seperti apa yang terjadi dalam kehidupan Aleo dan ayahnya. Secara tak sengaja mereka bertemu saat kami baru saja sampai dilantai 2 dan ayahnya baru saja mau turun bersama seorang wanita. Gustian sedikit terkejut ketika dia hampir bertabrakan dengan kami. Aku yang bahkan lebih terkejut lagi dan bahkan setengah berteriak karna begitu kaget bertemu dengan orang yang beberapa saat lalu sedang kupikirkan. Aku memilih pura-pura tak mengenal gustian dan menarik Aleo bersamaku. Bagaimanapun aku tidak mau terlibat dengan kehidupan orang kaya itu meskipun secara tidak langsung kami terhubung oleh Aleo. Aleo terlihat sangat senang saat kuajak memilih mainan yang dia inginkan. Matanya berbinar memandangi satu persatu mainan yang begitu banyak didepan matanya. Bahagia sekali bisa melihat ekspresi Aleo yang seperti itu, jadi pengen nagis. Aku segera menyembunyikan mataku yang sudah berkaca-kaca karna begitu terharu melihat kebahagiaanya. Lama sekali Aleoku memilih. dia sepertinya tak pernah puas berkeliling konter mainan walaupun ini sudah kali ke 4 dia melakukanya. Sampai pada deretan mobil-mobilan yang bisa dia kendarai, Aleo berhenti dan menoleh kearahku "Yang ini boleh ma?" Tanyanya sambil menunjukan sebuah mobil-mobilan yang sangat besar. Sedikit ragu kucek label harganya Rp. 2.899.900. Astaga.  Mahal sekali, apa tidak apa-apa aku membelikan Aleo mobil-mobilan seperti ini? sebelum sempat menjawab, seseorang datang dan menjawab pertanyaan Aleo. "Tentu boleh sayang, iya kan Nola?" Aku ternganga tak percaya. Baru beberapa hari yang lalu dia mengatakan tak mau menemui Aleo lagi, tapi hari ini dia malah datang dengan sendirinya dihadapan Aleo. Ya dia, siapa lagi kalau bukan Gustian, ayah kandung Aleo. "Paman ini siapa ma?" Ada nyeri dalam hatiku saat Aleo dengan polosnya mempertanyakan siapa orang yang ada dihadapanya ini. "Oh paman teman mama mu sayang, kenalkan paman Gustian" Aleo melirik kearahku meminta persetujuan.  Kuanggukan kepala agar dia segera menyambut uluran tangan Gustian. "Namaku Aleo Atha Alexandro paman, panggil saja Aleo" Aku terharu saat Aleo mencium tangan Gustian. Andai dia tau kalau orang yang ada di hadapanya ini adalah ayahnya sendiri. "Jadi bolehkan ma?" Aleo menatapku dengan tatapan penuh permohonan. Sedang aku, kulirik Gustian yang langsung mengangguk seakan mengerti kalau aku meminta persetujuan darinya. "Tentu saja boleh sayang" Aku tersenyum melihat raut wajah Aleo yang berbinar ceria. Tapi sesaat kemudian raut ceria itu berganti dengan raut sedih. "Ada apa sayang? aleo tidak suka?" Aleo sedikit terdiam kemudian dengan lesu dia menjawab. "Mama punya uang? Pasti harganya mahalkan? Apa mama sudah bayar kontrakan?" Aku ternganga tak percaya. Anak sekecil itu bagaimana mungkin pikiranya begitu dewasa. Sebelum aku menjawab lagi-lagi Gustian kembali mendahuluiku. "Hari ini paman yang akan bayar sayang. Pilih apapun yang Aleo suka dan jangan pikirkan harganya, oke?" Aleo tampak ragu dengan tawaran Gustian. "Oke hari ini mari kita serahkan urusan mainanya pada paman Gustian, setuju?" Aleo mengangguk dan dengan riang kembali menyentuh mobil-mobilan yang sepertinya sangat diinginkanya itu. Baiklah hari ini akan kubiarkan anak dan ayah ini menghabiskan waktu bersama. Gustian meminta Aleo untuk memilih mainan lainnya, tapi Aleo terus menggeleng dan hanya menginginkan mobil-mobilan itu. "Kata mama kami harus hemat agar bisa menabung untuk beli s**u dan keperluan sekolah Aleo, tahun depankan Aleo sekolah" Gustian langsung melotot kearahku. Apa yang salah dengan berhemat? Aku membesarkanya seperti itu karna kehidupan kami menuntutku untuk mengajarkanya menata masa depan yang lebih terjamin. Pada akhirnya Gustian membeli banyak sekali mainan untuk Aleo, meski tanpa persetujuanku dan Aleo tentunya. *** Gustian mengantar kami sampai kerumah. Aku sama sekali tak menolak apalagi saat kulihat tumpukan mainan yang begitu banyak yang tentu saja akan sangat merepotkan jika aku memutuskan membawanya sendiri. Terlebih saat melihat senyum Aleo yang tak kunjung surut setelah melihat mobil yang dikendarai Gustian. Aku tau Aleo ku suka sekali pada mobil. Sesampainya di kontrakan, Gustian memaksa ikut masuk kedalam rumah. Mungkin dia ingin memastikan sendiri bagaimana tempat tinggal anaknya. "Silahkan masuk pak" Aku terpaksa memakai sebutan bapak pada Gustian. Setidaknya sebutan itu lebih sopan dari pada langsung menyebut namanya. "Paman terima kasih. Ini pertama kalinya Aleo punya banyak mainan" Aleo berhambur kepelukan Gustian saat Gustian telah duduk disatu-satunya sofa yang ada diruang tamu. "Paman senang jika Aleo bahagia menerima hadiah dari paman. Tapi paman boleh bertanya?" "Tanya apa paman?" "Apa Aleo tidak rindu pada papa? Aleo pernah lihat papa?" Aku terkejut dengan pertanyaan Gustian. Dia mau apa? kenapa tiba-tiba dia membahas tentang papa Aleo? Apa dia akan mengakui kejujuranya pada Aleo? "Papa sudah diatas langit paman. Aleo belum pernah bertemu papa" Gustian langsung menatapku dengan marah. Kenapa? Apa dia tidak suka jika kukatakan pada Aleo bahwa ayahnya sudah meninggal? "Aleo main ke kamar sayang, ada yang harus paman katakan pada mamamu." "Baiklah paman" Aleo tife anak yang penurut. Dia langsung berlari kekamar sambil membawa beberapa mainan barunya. Bahkan teriakanku yang melarangnya untuk berlari sama sekali tidak dihiraukanya. Sepeninggal Aleo, Gustian langsung menatapku tajam. "Bagaimana mungkin kau bahkan tidak pernah membelikan dia mainan? Apa kau ini seorang ibu?" Aku langsung terdiam. Gustian benar. Tapi jangankan untuk membeli mainan, untuk sekedar makan dan bayar kontrakan saja aku sudah cukup kesulitan. "Lalu kau menceritakan kesulitanmu pada anak sekecil dia? Bagaimana mungkin dia bisa tau kalau kau belum bayar kontrakan?" Sekali lagi aku terdiam tak mau membela diri dengan mengatakan kalau pemilik kontrakanlah yang sering teriak-teriak menagih uang kontrakan sehingga anak sekecil Aleo pun mengetahui kesulitan ibunya. "Dan kau? Kau bahkan mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal?" Gustian semakin menatapku tajam. Kali ini aku membela diri, ini bukan kesalahanku. Aku terpaksa, aku tak mau Aleo berharap terlalu banyak tentang sosok ayah yang belum tentu bisa dia temui. "Lalu kemana saja kau selama ini? Kemana kau saat kak Hilda mengerang kesakitan dirumah sakit sembari menunggu seseorang yang harus bertanggung jawab pada sosok anak yang dia kandung? Kemana kau saat kak Hilda dimakamkan? Dan kemarin kau baru saja mengatakan tidak mau menemui Aleo lagi, lalu kenapa sekarang kau malah menceramahiku?" Aku mencoba menahan suaraku agar Aleo tidak mendengar pembicaraan kami. "Kau menyalahkanku? Lalu mengapa baru sekarang kau menghubungiku? Kenapa tidak dari dulu kau katakan dengan jujur tentang keadaan Hilda, dengan begitu semua ini tidak mungkin akan terjadi" "Jika bukan untuk menghormati wasiat yang kak Hilda ucapkan sebelum meninggal, sudah pasti aku akan langsung menghubungimu dan meminta pertanggung jawaban penuh atas meninggalnya kak Hilda dan hidup Aleo. Kau tau aku bahkan mengorbankan masa mudaku dan mungkin seumur hidupku untuk menjadi ibu Aleo. Lalu atas dasar apa kau marah dan menyalahkan semuanya padaku? Tidakkah sekali saja kau berkaca pada kesalahanmu yang telah menghancurkan hidup orang lain?" Aku menangis. Tak bisa membendung emosi yang sudah bertahun-tahun kutahan. Tau apa Gustian tentang hidupku dan Aleo? Tau apa dia tentang perjuanganku membesarkan putra yang mungkin tidak mau diakuinya itu. Gustian terdiam tak berani membela diri lagi. "Kau lihat keadaan rumah yang kami tempati ini? Bahkan untuk tinggal ditempat seperti inipun kami harus hidup berhemat, menyisihkan rupiah demi rupiah untuk membeli s**u Aleo. Jangankan membeli mainan terkadang demi membeli perlengkapan bayi Aleo aku bahkan hanya makan sehari sekali. Jadi tau apa kau tentang hidupku hingga dengan mudahnya kau memarahiku hanya karna aku tak pernah membelikanya mainan?" "Aku minta maaf jika Aleo menjadi anak yang menekan semua keinginanya karna memiliki ibu yang tidak berguna sepertiku. Tapi tolong jangan ragukan perasaan sayangku padanya, jangan ragukan statusku sebagai ibunya hanya karna aku tak bisa membelikan mainan untuk anakku" "Pulanglah dan terima kasih untuk semua pemberianmu. Ini, aku tak bisa menerimanya, uang ini terlalu banyak" Kuserahkan kembali ATM yang diberikan Gustian kemarin. Aku tak mau dianggap memanfaatkan kekayaannya. Toh selama ini aku masih bisa menghidupi Aleo. "Aku tidak akan mengambil apa yang sudah kuberikan. Gunakanlah uang itu untuk membuat hidup Aleo lebih layak" Gustian berdiri dan meninggalkanku yang masih sesugukan menangis diruang tamu. Aku harus bagaimana kak Hilda? Bagaimana kau bisa mencintai laki-laki seperti Gustian? Apa yang begitu kau sukai dari sifatnya yang begitu arogan dan egois itu? *** to be continue. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD