1
Setelah mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, Ollie mengintip dari jendela kamarnya. Di depan rumahnya terparkir mobil putih mengkilap, benar-benar keren pikirnya. Itu sebelum dia tahu apa maksud kedatangan pengendara mobil tersebut. Dia tidak melihat siapa orang yang datang bertamu ke rumahnya itu.
Di ruangan tamu terjadi perbincangan yang menariknya, membuat Ollie mendengarkan secara diam-diam apa yang dibicarakan tamu dan ibunya. Setelah menyimak apa yang didengarnya membuat dia tak percaya.
”Saya datang kemari bermaksud untuk melamar anak ibu?” suara pria tersebut yang benar-benar membuatnya syok. Apa? Dia mau melamarku pikir Ollie kalut. Kenapa? Apa aku kenal dengannya. Dilihat dari jauh orangnya dewasa banget, suaranya membuat orang tenang dengan senyum selalu mengembang di mulutnya. Oh My God! Apa yang terjadi disini? Ollie benar-benar panik mendengar apa yang disampaikan oleh orang tersebut.
”Itu terserah kepada anaknya.” Ibu menjawab kalem seperti biasa sambil tersenyum. Ibu juga menyerahkan semua keputusan kepadaku seperti biasa, tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. ”Lihatlah sendiri keadaan anaknya seperti apa?” kata beliau sambil menolehkan kepala ke arahku dan tahu bahwa aku mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi.
Mendengar akan dilamar Ollie membuat tingkah seolah-olah dia orang gila, dengan tingkah laku yang dibuatnya senorak mungkin dan menjijikan dengan menganggap bahwa ketika lelaki itu melihat kearahnya, dia akan berubah pikiran.
Ollie melihat pria tersebut tetap tersenyum, tidak peduli apapun yang diperbuatnya. Seolah-olah dia tahu bahwa apa yang dilakukan Ollie hanya untuk membuatnya berubah pikiran.
Dengan putus asa karena apa yang dilakukannya tidak berhasil, akhirnya Ollie berkata ”Aku masih ingin sekolah.”
”Akan ku tunggu.” Jawabnya sambil terus tersenyum dan pandangannya tidak pernah meninggalkan Ollie.
Dengan kalut Ollie berlari ke kamarnya, apa yang telah dilakukannya tidak membuat orang itu berubah pikiran tentang niatnya. Ollie berniat pergi dari rumah dan mulai membuka lemari, betapa terkejutnya dia ketika melihat apa isi lemarinya sekarang. Isi lemari yang semula pakaiannya tidak ada lagi, semuanya sudah berganti dengan pakaian untuk pernikahan dalam berbagai model.
”Apa? Kemana pakaian-pakaianku?” kata Ollie panik, dia melihat ada sebuah ransel yang berisi pakaiannya. Ia mengambil ransel tersebut dan mulai melarikan diri dari rumah, setiba di luar dia bertemu dengan ayahnya.
”Aku masih mau sekolah, Ayah?” kata Ollie sambil melirik dengan liar kearah rumah takut akan dikejar oleh lelaki itu. Ayah Ollie hanya tersenyum dan mengangguk kearah anaknya. Ollie berlari menjauh dari rumah, jauh dari orang yang ingin melamarnya. Ollie kelelahan setelah cukup jauh dari rumahnya, memang dia tidak bisa berlari kencang dan itupun akan membuat dadanya sesak. Dengan terengah-engah Ollie tersentak dari tidurnya, dilihatnya jam di atas meja yang menunjukkan pukul lima pagi. ”Sudah Subuh.” Desahnya sambil bangkit dari tempat tidur untuk menunaikan kewajibannya.
Setelah segar, sehabis mandi Ollie duduk di tempat tidurnya kembali dan mengingat-ingat lagi mimpinya tadi. Kenapa mimpi seperti itu yang dialaminya, benar-benar tidak masuk akal. Ollie lagi fokus untuk menyelesaikan skripsinya dan menyita semua waktu dan pikirannya, tidak ada celah sedikitpun baginya sekarang untuk berpikir yang bukan-bukan. Apalagi berpikir yang serius tentang pernikahan bahkan pacarpun dia tidak punya, dan kenapa dia bermimpi seperti itu. Apakah sebuah pertanda? Ataukah hanya bunga tidur, Ollie tidak tahu.
”Ollie...!” sayup-sayup terdengar suara Ibunya memanggilnya dari lantai bawah.
”Iya, Bu...!” Ollie menjawab sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju tempat ibunya menunggunya.
”Ada apa ibuku sayang” menghampiri ibunya, mencium kedua pipinya dan duduk di sampingnya di meja makan.
”Sudah siap semuanya?” tanya beliau sambil mengambilkan sarapan buat Ollie.
”Yap...” jawab Ollie sambil mengambil roti yang diberikan ibunya dan melahapnya dengan nikmat.
”Jangan sampai sakit lagi, walaupun harus fokus ke skripsimu. Jaga kesehatan dengan pola makan teratur, jangan lupa makan. Kamu itu kalau sudah sibuk sering menunda-nunda makan.” Ollie manggut-manggut dan terus makan sambil tersenyum kearahnya. ”Kenapa senyum seperti itu? Bukan senyuman yang ibu mau, tetapi kamu harus ingat dan lakukan apa yang ibu katakan tadi.” Kata ibunya sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anaknya yang paling bandel kalau soal makan.
Hari ini Ollie akan kembali ke kampusnya di kota, untuk menyelesaikan kembali skripsinya yang tertunda karena sakit. Persiapan sudah dilakukan semalam, apa saja yang akan di bawahnya. Ollie akan berangkat dengan naik travel, jadi tidak perlu tukar mobil untuk sampai ke tempat kos-kosannya.
Ketika Ollie meminum s**u dan mengakhiri sarapannya, kedua adik perempuannya turun untuk memulai sarapan mereka. Dengan muka cemberut, dan terlihat masam. Ollie mengangkat alis tanda bertanya secara tidak langsung apa yang terjadi. Sambil meletakkan gelas yang sudah kosong Ollie berkata ”Ada apa dengan wajah kalian? Pagi-pagi sudah bertampang menunduh seperti itu?”
Sambil melirik satu sama lain kedua adiknya menatap ibu mereka masih sambil cemberut.
”Ibu tidak adil” Tia memulai rajukannya.
”Bagian mana ibu yang tidak adil?” ibu menjawab dan menyerahkan sarapan buat mereka berdua.
”Ibu tidak memanggil kami untuk sarapan!” Lulu tetap cemberut sambil makan sarapannya.
”Oh itu.” Jawab ibu sambil menyerahkan gelas s**u mereka. ”Tidak ibu panggil sekalipun kalian tetap akan ke bawah untuk sarapan bukan? Beda dengan kakakmu ini, tidak dipanggil nanti dia kabur untuk pergi tanpa sarapan.” Sambil melirik Ollie yang sedang memandang kedua adiknya bergantian.
”Sebegitukah istimewanya diriku ini?” goda Ollie kepada kedua adiknya sambil tersenyum jail. ”Bisa tidak diteruskan diskusi ini, kaliankan tidak merajuk tetapi mencoba membuatku kena omelan panjang dari ibu.” Tambah Ollie dengan mata melotot kepada adiknya.
Kedua adiknya tersenyum simpul dan melanjutkan sarapannya. Kejailan mereka untuk membuat Ollie diomelin ibu mereka tidak berjalan dengan baik, ketahuan oleh Ollie maupun ibunya. Kebiasaan Ollie yang tidak pernah sarapan selalu membuat ibu mengejarnya saat sekolah dulu, dan terus diingatkan untuk makan apabila di rumah. Sering terlambat dan menunda-nunda waktu makan, membuat ibunya mempunyai kebiasan untuk menyuruhnya makan dan bila belum juga makan maka beliau akan menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulut Ollie yang terus melakukan kegiatannya entah dia sedang berpakaian, memakai sepatu atau melakukan kegiatan lainnya kecuali kalau Ollie di kamar mandi tentunya.
”Tidak ada yang bakal mengajarkan kita PR lagi nih!” keluh Lulu sambil melirik kearah Ollie.
”Kakak, terlalu sebentar liburnya kali ini.” Timpal Tia dengan mulut penuh makanan.
”Apakah kalian membuat kakakmu mengerjakan tugas kalian lagi?” tanya ibu dengan nada volume suara yang sedikit naik.
Mereka saling melirik keceplosan di saat yang tidak tepat karena Ollie libur kali ini untuk memulihkan kesehatannya. Takut berlanjut omelan ibu bakal panjang Ollie berusaha menenangkan ibu mereka sambil tersenyum”Tidak kok, Bu. Mereka hanya minta saran kepada Ollie.”
”Benar begitu, Tia! Lulu!” tanya ibu tegas.
”Benar, Bu!” jawab mereka serempak tidak mau diomelin.
Suara mobil berhenti dan klaksonnya berbunyi tiga kali, membuat semua bergegas mengantar Ollie keluar dan berpamitan kepada semuanya. Ayah seperti biasanya berada di luar setiap pagi dengan kegiatan rutinnya, ketika semua orang sudah berada di luar untuk mengantar Ollie termasuk adik laki-lakinya yang sedari tadi tidak kelihatan waktu sarapan.
”Ollie pamit, Bu!” sambil menyalaminya dan mencium kedua pipinya.
”Kalian bertiga jaga ayah dan ibu, ya! Kakak pergi dulu.” Ollie berkata kepada ketiga adiknya.
”Beres! Fokus aja ke skripsinya dan bawa gelarnya.” Canda Didi adik lelaki Ollie sambil tersenyum. ”Didi juga pamit besok juga mau ke Jawa.” Katanya serius.
”Belajar yang serius di sana, ya!” kata Ollie sambil mencubit pipinya main-main dan berjalan menuju kearah ayahnya yang sedang mengobrol dengan sopir travel.
”Ollie pamit, Yah!” sambil menyalami tangannya dan menciun kedua pipinya.
”Hati-hati di jalan dan jaga kesehatanmu. Jangan sampai sakit lagi.” Kata ayah sambil menarik hidung Ollie yang menjadi kebiasaannya kepada setiap anak-anaknya.
”Iya, ayah. Assalamu’alaikum” Ollie masuk ke dalam mobil, setelah mantap duduk ditempatnya berbalik dan melambai. Mobilpun meluncur dengan mengklakson ke arah keluarganya.
∞
”Mom, aku dapat beasiswa keluar negeri.” Hendry menghampiri ibunya yang sedang santai membaca di beranda rumah setiap sore.
”Benarkah!” wajah bahagia mendapat kabar gembira itu bersinar, namun meredup tak lama kemudian seakan cemas akan sesuatu.
”Kenapa dengan wajah ini?” tanya Hendry sambil mengelus lembut pipi ibunya dengan jarinya sambil tersenyum sedih.
”Kau tidak apa-apa dengan keputusan ini?” ibunya bertanya lembut.
”Sudah pasti.” Jawab Hendry dengan nada suara yang benar-benar yakin. ”Memang ada apa?” tanya Hendry penasaran dengan betapa cepat perubahan suasana hati ibunya. Terkadang dia tidak sadar betapa ibunya sangat peka terhadapnya, dia sangat dekat dengan ibunya. Apa yang terjadi ibunya orang yang pertama tahu. Ibu selalu ada untuknya mendengarkan, menasehati dan memberi saran buatnya.
”Dengan keinginanmu selama ini, apakah tidak masalah?” tanya ibunya dengan cemas.
”Aku punya firasat tidak, Bu.” Hendry menenangkannya. ”Di saat aku kembali dia masih akan menungguku.” Jawabnya dengan penuh keyakinan.
”Darimana keyakinan itu kau dapat sayang, apakah kau sudah bertemu dengannya? Kok ibu belum dengar ya!”kata ibunya sambil menepuk pipinya dengan lembut untuk memastikan bahwa dia tidak salah mendengar.
”Belum, Bu. Semalaman aku sudah berpikir dan berdo’a, bagaimana baiknya sekarang. Hanya satu jawaban dihatiku, ini jalannya. Dan saat aku kembali mudah-mudahan masih seperti yang ku mau.” Hendry menjawab dengan keyakinan penuh untuk memberitahu ibunya bahwa ini yang terbaik untuk saat ini.
”Baiklah, kalau begitu. Kapan kau berangkat? Sudah beritahu ayahmu?” ibunya menepuk kembali pipinya dengan lembut sambil tersenyum dan menggandeng anaknya masuk ke rumah.
”Aku diminta ke universitas untuk datang awal tahun depan sekalian melengkapi syarat yang diperlukan, ayah semalam sudah aku beritahu. Beliau sangat gembira mendengarnya.”
”Makan siang?” ibunya bertanya.
”Iya, lapar banget.” Hendry tersenyum lebar kepada ibunya. Mengambil tempat duduk seperti biasa. ”Ibu bakalan sepi kalau aku pergi.” Mulai menggoda ibunya seperti biasa.
”Seperti biasa, kau tidak berubah. Ibu tidak kesepian di rumah ini. Ada apa? Kau mencemaskan ibu?” goda ibunya sambil meletakkan piring yang berisi nasi kearah Hendry, mengambil piringnya dan mengisinya untuk memulai makan.
”Ibu!” sambil tersenyum Hendry mulai makan dan mengobrol dengan ibunya.
”Aku tidak bisa berbohong kepada Ibu, kenapa ya?”
”Karena kau anak ibu!”
”Kakak biasanya bisa sekali-kali, kenapa aku tidak berhasil?”
”Kau yang paling kecil dan paling dekat dengan ibu, kenapa heran?” Sambil tersenyum memandang anaknya. ”Kalian tidak menganggap ibu tidak tahu apa-apa tentang anak-anaknya?”
”Iya benar, seorang ibu lebih peka kepada anaknya daripada anak ke orangtuanya. Dan ibu memang yang terbaik.” Sambil mengedipkan sebelah mata ke ibunya dengan gaya menggoda. Membuat mereka berdua tertawa.
”Ini dia jagoan ayah.” Sambil mengacak rambut Hendry dan mencium pipinya. Mereka tidak mendengar kedatangannya, dia sudah duduk di kursinya dan tersenyum bangga melihat putranya.
”Ayah, kenapa memperlakukanku seperti anak kecil lagi.” Hendry menggerutu kebiasaan ayahnya yang selalu mengacak rambutnya.
”Apa boleh buat kebiasaan, kau terkadang masih kecil bagiku. Tetapi ternyata kau sudah tumbuh menjadi pria dewasa sekarang tanpa ayah sadari.”
”Dry, semua orangtua terkadang menganggap anak mereka masih kecil. Mungkin dengan menimang cucu, itu bisa mengubah kebiasaan kami dan beralih kepada cucu.” Ibunya menambahkan dengan tersenyum penuh arti.
”Berarti masih butuh berapa waktu lagi sampai kakak melahirkan anak.” Kata Hendry sambil berpikir serius seakan menghitung dalam kepala.
”Kau di sana mengambil jurusan apa?” ibunya bertanya dengan penasaran karena sejak anaknya memberitahu berita itu dia teralihkan perhatianya ke masalah lama anaknya.
”Spesialis jantung.” Jawab Hendry mantap sambil mengembangkan senyum kearah ibunya.
”Jantung!” nada heran dari ibunya sambil mengangkat sebelah alis dan mengerutkan dahi berpikir mencoba menebak mengapa anaknya memilih jantung bukan yang lain, dan ia tidak menemukan jawaban yang cocok jadi bertanya kembali ”Kenapa jantung? Bukan yang lain? Di keluarga kita tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung, jika itu menjadi alasanmu mengambil jurusan tersebut.”
”Aku juga tidak begitu yakin apa yang menjadi alasanku. Tetapi itu yang terbaik sepertinya.”
”Tidak berkaitan dengan....”
”Tidak.” Jawab Hendry singkat memotong perkataan ibunya.
”Debat apa ini?” ayahnya bertanya heran melihat istri dan anaknya berdebat tentang alasan Hendry ”Apakah ayah melewatkan sesuatu?” beliau memandang istri dan anaknya bergantian.
”Tidak ada.” Jawab ibunya menenangkan ”Hanya berusaha menggoda anakmu yang terlalu serius ini.” Sambil tersenyum menggoda anaknya. ”Apakah berhasil?”
”Tidak. Jika dengan wajah seperti itu.” Ayah dan anak menjawab serempak.
”Apa boleh buat, ayah dan anak sama saja.” Ibu mendesah pura-pura kalah.
”Tetapi ibu yang selalu menang apapun hasilnya.” Ayah menjawab lembut dan senyum memandangi istrinya.
”Kalian jangan seperti itu, Hendry risih dan tersisih nih!”
Mereka tertawa bersama, menghabiskan kebersamaan satu sama lain sambil menikmati makan siang.