Chapter 3 [Berbeda Dari Yang Diharapkan]

1957 Words
Happy reading! - - - Kabar hilang nya Eloise mulai menyebar, dan beberapa ksatria di perintahkan untuk melakukan pencarian. Di samping itu, beberapa daerah penting kekaisaran Roxane mengalami berbagai masalah, ada bencana alam, kriminalitas yang meningkat, dan lainnya. Harley, Tristan dan Feitan semakin sibuk mengurus berbagai masalah tersebut, termasuk dokumen-dokumen ksatria yang dulu merupakan bagian pekerjaan Shannon. Seharusnya tugas ini juga di pegang Raven, tetapi mereka ingin memberi Raven waktu untuk beristirahat atas kematian Shannon. "Walau sudah meminta tolong pada duke Castillon, tampaknya semua masalah ini sulit di selesaikan." Keluh Tristan sembari menaruh setumpuk lembar kertas. "Ini terjadi karena kita kurang memiliki kuasa dan tenaga, tapi aku tidak ingin membebankan pangeran sementara waktu." Ujar Harley. Sret-sret! Feitan menulis dokumen secepatnya, dan mengerjakan dokumen lainnya. Tidak lama datang seorang ksatria di bawah tingkat mereka. "Lapor kapten Versalion, ada pemberontakan di dekat perbatasan ibu kota, mereka mengatakan berasal dari sekte Warzerten!" Ucap ksatria itu, seketika Harley, Tristan dan Feitan terkejut. "Astaga mereka benar-benar pintar memanfaatkan situasi." Kesal Harley. "Kurasa duke Castillon sedang sibuk, dia sedang mengurus masalah lain bukan, kita harus minta bantuan siapa?" Tanya tristan, mereka terdiam sejenak. "Aku sebenarnya tidak ingin, tetapi seperti nya kita harus meminta tolong pada putra mahkota..." Ujar Harley dengan berat, mereka semua memasang wajah keberatan. Semua itu karena seluruh ksatria tahu, tentang putra mahkota, pangeran Gionard Darnfroz roxane, walau berhubungan baik dengan Raven tetapi semua itu hanyalah sebatas topengnya sebagai putra mahkota, agar di pandang baik oleh mata publik. Aslinya pria itu memang sangat tidak menyukai Raven Karena ia masih berstatus sebagai pangeran dan anak kaisar yang bisa saja menggulingkan tahtanya, walau Raven sendiri pernah mengatakan kalau dia tidak ingin menjadi kaisar. Hanya saja, banyak rakyat dan bangsawan yang berpihak pada Raven, hal ini membuat Gionard menjadi sedikit licik pada Raven. Tetapi Raven tidak peduli dan hanya berusaha untuk mengerjakan tugasnya sebagai anjing penjaga kekaisaran untuk menjaga keamanan tanah ayahnya, pria itu sudah cukup puas dengan gelarnya, walau itu terdengar kotor. Harley mendengus pelan, "Aku akan pergi ke istana kekaisaran, jadi–" Cklek! Brukk! Mereka yang ada di ruangan dikejutkan dengan suara pintu terbuka, muncul di ambang pintu seorang pria dengan surai coklat kemerahan dan mata zamrud. "Sudah sampai mana pekerjaan kalian?" Tanya Raven, seketika semua ksatria disana menyunggingkan senyum sumringah. "PANGERAN!!" Seru mereka dengan senang, dan Tristan tampak hampir menangis. "Kecilkan suara kalian..." Raven mengeluh sembari mengusap telinganya, kemudian ia berjalan dan melihat banyak tumpukkan dokumen, kemudian matanya menatap ksatria yang sebelumnya melapor. "Laporkan masalah nya." Perintah Raven, ksatria itu mengangguk dan membungkuk hormat. "Terjadi pemberontakan di dekat perbatasan ibu kota, mereka mengaku berasal dari sekte Warzerten." Lapor ksatria itu, seketika mata Raven menggelap. Harley bisa merasakan samar kemarahan Raven kala mendengar Warzerten, pria itu hendak bergerak untuk mengambil ahli, tetapi Raven mengangkat tangannya. "Biar ku urus, Harley, lakukan tugas dokumen bersama Feitan, dan kau," unjuk Raven pada ksatria tersebut. "Bawa beberapa ksatria yang memiliki tulisan bagus dan pintar, untuk membantu tugas dokumen, kemudian Tristan." Raven menoleh ke arah pria itu. "Ikut aku ke berbagai tempat yang sedang mengalami bencana, pemberontakan dan kriminalitas lainnya, bawa satu pleton pasukan, kita akan pergi beberapa hari, segera siapkan semuanya." Perintah Raven. "Siap pangeran!" Seru Tristan. "Aku ingin kita segera menyelesaikan semua masalah di setiap daerah kekaisaran, jangan sampai satu masalah pun terdengar oleh kaisar, kalian mengerti?" "MENGERTI PANGERAN!" Balas mereka semua, Raven mengangguk. "Aku sudah cukup lama beristirahat, sudah waktunya aku melanjutkan tugas ku." Gumam Raven, lalu pria itu mendengus pelan dan berjalan keluar ruangan. "Ayo." ⬛⚪⬛ Reithel berada di menara asosiasi penyihir. Pria itu datang dan beberapa penyihir di sana langsung membungkuk hormat. "Bagaimana hasilnya master Davendral?" Tanya Reithel, Simon menoleh kemudian menaruh papan kertas nya di meja. "Aku bingung menjelaskan nya, tetapi lihat ini." Simon menjentikkan jarinya, dan tiba-tiba saja muncul batu dengan tempat kaca di atasnya, dan di dalam tempat itu terdapat gumpalan abu. Simon mengeluarkan Maleon dari saku nya dan menggerakkan benda itu di dekat abu itu kemudian menunjukkan abu itu bereaksi, dengan perlahan berubah menjadi hitam dan bergerak seperti sihir iblis, Reithel melihat itu berkerut bingung. "Aku tahu kau membawa sedikit abu shannon untuk dijadikan vocorgi, setelah itu kau berikan pada Eloise, tetapi Reithel, abu yang kau bawa bukan abu dari tubuh Shannon, melainkan penyihir iblis." Jelas Simon, Reithel menatap tidak percaya. "Tetapi pangeran Raven sendiri yang membawa abu itu, ia mengatakan kalau itu di temukan di bawah jubah dan pedang Shannon." Balas Reithel, Simon mengedikkan bahu. "Kau tahu, sihir tidak pernah bohong, apa kau punya penjelasan tertentu?" Tanya Simon, Reithel menyisir rambutnya kebelakang. "Tidak, aku tidak tahu, aku akan menyelidiki hal ini lagi, tolong taruh lagi ke tempat sebelumnya dan kirim ke tempat ku." Ujar Reithel, Simon mengangguk lalu memberi gestur pada penyihir bawahan untuk melakukannya. "Apa kau akan memberitahu pangeran soal ini?" Tanya Simon, Reithel terdiam. "Saat ini ada beberapa masalah di daerah kekaisaran Roxane yang di sebabkan oleh Warzerten, aku tidak ingin mengganggu fokus pangeran terkait hal ini, ketika semuanya sudah jelas baru ku beritahu." Jelas Reithel, Simon mengangguk. "Apa kau tahu abu jasad siapa itu?" Tanya Reithel, Simon terdiam sebentar. "Ini sedikit mengejutkan sih, tetapi akan kutunjukkan." Simon bergerak ke sebuah meja, kemudian membuka salah satu laci pada meja tersebut dan mengambil sebuah map dokumen, kemudian pria itu kembali ke Reithel dan memberikan dokumen itu. Reithel menerima dengan ekspresi tanya, kemudian membuka map itu, kemudian matanya terkejut melihat apa yang ada di dokumen itu. "Cecilia Zinaida Garthside?" Tanya Reithel terkejut, Simon mengangguk. "Aku tidak tahu pasti, tetapi kau tahu kan ketika upacara kedewasaan, gadis itu juga mengikutinya, setiap bangsawan yang mengikuti upacara kedewasaan akan diminta untuk mengisi batu sihir sebagai identitas bangsawan mereka, dan batu itu di simpan di menara. Suatu ketika aku membawa sample abu itu melewati tempat dimana aku menyimpan batu-batu sihir itu, dan batu milik gadis itu bereaksi. Tapi ini baru perkiraan." Jelas Simon, Reithel terdiam mengangguk. "Aku mengerti, aku minta salinan hasilnya dan batu sihir nya, tolong kirim bersama abu itu." Ujar Reithel, Simon mengangguk dan menyuruh salah satu bawahan penyihir nya untuk melakukan permintaan Reithel. "Apa kau ingin menyelidiki ini?" Tanya Simon, Reithel terdiam. "Aku mau tapi aku harus menunggu Dominic, karena aku butuh bantuannya." Ujar Reithel, kemudian pria itu berbalik. "Baiklah terima kasih master Davendral, kalau begitu aku permisi." Reithel hendak berjalan pergi. "Master Castillon." Panggil Simon, Reithel berbalik. "Bagaimana dengan Eloise? Apakah sudah ada kabar menyangkut dirinya?" Reithel terdiam, "Aku menerima surat dari Eloise, dan memintaku untuk menghentikan pencarian dirinya." Ujar Reithel. "Apakah dia baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan kelanjutan akademi nya?" Tanya Simon, Reithel mendengus pelan. "Dia baik-baik saja, soal akademi, aku akan membuat surat resmi pengunduran diri Eloise, dan kini gadis itu sedang berlatih bersama penyihir agung kedua, Patrishia Feissmann." Jelas lagi Reithel, Simon terkejut. "Apa??? Penyihir agung?? Hebat sekali, dia tidak perlu bersekolah di akademi lagi jika di latih oleh seorang penyihir agung." Simon kagum, Reithel hanya mendengus pelan. "Iya, aku pergi, sampai jumpa." Ujar reithel. "Tentu, hati-hati master Castillon, sampai jumpa lagi." ⬛⚪⬛ Izolda tengah menggunakan sihirnya di sekitar tubuh Shannon. Gadis itu tampak berbaring masih tidak sadarkan diri, sedangkan Dominic terdiam sembari menatap proses sihir yang Izolda lakukan. Izolda menurunkan tangannya, dan mendengus pelan, lalu berbalik menatap Dominic. "Tenang saja, ini bukan iblis, dia adalah orang biasa." Ujar Izolda, Dominic menghela nafas lega. "Tapi seperti yang dikatakan Arjuna, orang yang di dalam tubuh ini, bukan Shannon, melainkan orang lain, tetapi bisa di katakan dia adalah bagian dari Shannon." Jelas Izolda, Dominic menyisir rambutnya kebelakang, wanita itu bisa melihat dari wajah dominic, kalau pria itu masih belum mengerti. Izolda mendengus, "Kau tahu dunia paralel?" Tanya wanita itu. "Dunia yang berjalan seiring dengan dunia kita tetapi di kehidupan yang berbeda?" Dominic mengucap dengan tanya, Izolda mengangguk. "Dan orang ini adalah Shannon, tetapi dia Shannon yang berasal dari dunia lain, bisa kita bilang, jiwa mereka terhubung satu sama lain. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada kemungkinan jiwa Shannon yang sebenarnya sudah tidak bisa kembali ke tubuh ini karena sudah hancur oleh sihir iblis, membuatnya kembali ke alam yang seharusnya, dan di waktu bersamaan, tubuh sebenarnya orang ini juga mati, tetapi jiwa nya tidak hancur dan bisa bereinkarnasi atau di transmigrasi. Dan bisa saja dewa memindahkan jiwa orang ini ke dalam tubuh Shannon, sebagai pengganti orang yang di takdirkan." Jelas panjang Izolda, Dominic mendengus berat. "Kenapa rumit sekali sih, ah dan kenapa harus orang lain? Kenapa tidak seperti Eloise saja yang di kembalikan ke masa lalu kemudian hidup lagi?" Tukas Dominic. "Aku bukan dewa jadi aku tidak tahu." Singkat Izolda menanggapi protes Dominic. Pria itu mendengus frustasi. Dominic sedikit kesal karena bukan Shannon yang ia harapkan yang kembali hidup, malah orang lain, itu membuat kondisi semakin rumit, pria itu memikirkan perasaan Eloise, pasti gadis itu sangat kecewa karena bukan kakaknya yang kembali. Tetapi ia sedikit bersyukur setidaknya firman dapat terpenuhi. "Tetapi ini sedikit unik." Ujar Izolda, dominic menoleh, wanita itu mengayunkan tongkatnya. "Kau lihat, dia memiliki sihir Risilv, ini seakan kalau sang biru safir kekuatannya sudah utuh sempurna." Ujar Izolda, dan tampak aura sihir Shannon, tidak setipis sebelumnya dimana aura Risilv Shannon seperti manusia pada umumnya, kali ini ia hampir setara dengan penyihir Risilv dan anggota keluarga kekaisaran. Dominic terkejut, kemudian ia teringat dengan perbincangan nya dengan Mathias dan Arvid saat hari upacara kedewasaan Eloise dan Shannon. "Ketika aku melihat jiwa Shannon, itu lebih terlihat seperti pecahan, sehingga kekuatannya tidak muncul maksimal." Kalimat yang di ucapkan Arvid pada waktu itu, Dominic terdiam ketika teringat itu. "Apa ini yang di maksud?" Gumam Dominic, Izolda mengangkat sebelah alisnya. "Hei Izolda, jika memang jiwa orang ini adalah bagian dari jiwa Shannon, apakah itu artinya dia bisa terhubung dengan jiwa Shannon?" Tanya Dominic, Izolda terdiam kemudian mendengus. "Iya dan tidak, karena walaupun jiwa Shannon masih terhubung dengan jiwa orang ini, tetapi bukan berarti Shannon masih hidup, ini bukan kepribadian ganda, jadi mereka hanya bisa terhubung dengan batin, tapi itu juga tidak pasti." Jelas Izolda, Dominic mendengus pelan. "Begitu ya..." Ujar pria itu dengan nada sedikit kecewa, kemudian matanya melirik Shannon yang masih terbaring tidak sadarkan diri. "Kita tidak bisa menyelidiki lebih lanjut sebelum ia sadar, untuk saat ini mari kita tunggu saja." Ujar Izolda, Dominic mengangguk. Izolda bergerak menuju ranjang dimana Shannon terbaring kemudian menyelimuti tubuh gadis itu lebih rapat. Dominic mendengus pelan dan menatap jendela, waktu menunjukkan sudah siang menjelang sore. Terbesit di benaknya sosok wajah Charol yang meminum teh sendirian, Dominic mengusap tengkuknya, dan bergerak mengambil jubahnya. "Kau mau pergi?" Tanya Izolda, Dominic terdiam sebentar dan mengangguk, Izolda mendengus pelan, pria itu menoleh kemudian tersenyum kecil. "Maaf ya, belakangan ini aku sering merepotkan mu." Ujar Dominic sembari menurunkan alisnya, Izolda hanya tersenyum lembut. "Kau sudah biasa membuat ku repot, jadi tidak perlu meminta maaf." Balas Izolda, Dominic tertawa kecil, kemudian mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. "Baiklah, aku titip Shannon ya, aku akan segera kembali." Ujar Dominic, kemudian berjalan pergi dan menghilang karena teleportasi. Izolda terdiam melihat kepergian Dominic, kemudian terbesit di benaknya, di masa lampau beberapa puluh tahun yang lalu, dimana perang Warzerten melawan sebuah kerajaan yang saat itu Dominic masih menjadi ksatria di kerajaan tersebut dan Izolda yang di latih menjadi penyihir khusus untuk menjaga hutan Witchweed. Dominic menangis atas kepergian kekasih nya, yang harus ia bunuh karena gadis itu adalah wadah dari penyihir setelah kehancuran. "Ini semua salah ku Izolda...agh aku harus membunuh nya, karena aku tidak punya kemampuan untuk membuatnya tetap hidup dan menghancurkan jiwa penyihir sialan itu...hiks astaga... Izolda, ini benar-benar salah ku." Seketika rasa sesak kembali menjalar di d**a Izolda, wanita itu hanya mendengus pelan. "Seberapa keras aku berada di sampingnya, hatinya tetap untuk orang lain, dan bodoh nya aku masih mencintai nya..." Izolda mengusap wajahnya dan memandang sendu jendela yang memperlihatkan pemandangan hijau tenang hutan Witchweed. "Ini menyesakkan, tetapi melihatnya terluka lebih menyakitkan." - - - To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD