Intanfara

1657 Words
… Pandangan pertama yang membuatku semakin dewasa …            Putih abu-abu. Ada yang bilang bahwa di masa ini adalah masa di mana kita akan kembali berjuang dengan lebih keras dalam menghadapi segala tempaan hidup, dan di masa ini juga kita akan kembali belajar dalam mendewasakan diri. Seragam putih merah serta putih biru baru saja kita lalui, dan tak terasa sudah Sembilan tahun masa itu telah kita tinggalkan, maka di masa putih abu-abu inilah, perubahan harus diterapkan, bukan hanya berubah dalam hal seragam, tetapi juga berubah dalam hal perilaku serta akhlak.           Suasana hari pertama masuk sekolah untuk kali ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun kemarin, di mana aku dan Amir selalu berangkat bersama-sama walau jarak yang ditempuh lumayan jauh. Hari ini aku berangkat sendiri, menuju sekolah yang lumayan jauh dengan mengendarai sepeda. Hal ini terjadi karena aku dan Amir tidak melanjutkan sekolah dalam satu sekolah yang sama.           Aku sangat tertarik masuk di sekolah SMK, karena di sinilah diriku tidak hanya diajari mengasah intelektual saja tetapi juga diajarkan ketrampilan dalam bekerja. Berbeda dengan Amir yang jauh-jauh hari sudah merencanakan diri masuk ke jenjang sekolah SMA, yang tepatnya kali ini dia bersekolah di SMAN 1 Malang, yang merupakan sekolah unggulan.           MOS, yang merupakan singkatan dari masa orientasi siswa telah aku jalani di saat ini. Perjalanan sekitar tiga puluh menit telah kulalui dan pintu gerbang baru saja kulewati. Kini saatnya diriku berdiri di sebuah barisan yang masuk pada kelompok Panda. Di depan barisan kelompok ini telah berdiri barisan kakak-kakak kelas perempuan yang galak bagai Harimau yang siap menerkam kita sebagai Rusa. Lalu di belakang kelompok ini juga ada barisan kakak kelas cowok yang juga galak seperti buaya. Nada-nada suaranya yang tegas, serta tatapan matanya yang tajam seakan telah membuat murid-murid baru di sini menjadi tertekan dan panik, seperti memasuki rumah hantu.           Bak sekolah militer yang semuanya harus serba disiplin, mulai dari ujung rambut sampai jempol kaki, bilamana ada setitik saja kesalahan, maka siap-siap saja menerima tempaan dari Harimau berbulu manusia. Seorang kepala sekolah yang bernama pak Yoyok mulai naik ke atas panggung mini, di mana beliau akan berpidato dalam mengenalkan apa saja yang bisa kita pelajari dalam mengenal sekolah ini, entah itu soal tata tertib sekolah, kurikulum maupun sarana prasarana sekolah.           Rasa bosan dan jenuh mulai terasa, kumulai tak tahan dengan apa yang saat ini aku lakukan, yang hanya bisa berdiri dan terpaku layaknya tiang bendera. Sejenak kucoba melihat ke atas, dan tatapan mataku mulai tertuju terhadap barisan burung-burung Kuntul yang melintas menuju ke arah Selatan. Posisi kepala masih melihat ke arah burung-burung itu hingga terbang jauh sampai tak terlihat. Lalu dengan perlahan kumulai menurunkan tatapanku ke bawah. Dengan posisi wajah yang masih melihat ke arah Selatan, tiba-tiba kumelihat sosok perempuan yang berdiri di barisan tengah dengan nama kelompok Kelinci.           Raut wajahnya yang terlihat lugu, seakan membuat hati ini ingin mendekat padanya. Dengan tubuh yang ideal dan tidak terlalu kurus, seakan mampu mengalihkan duniaku. Diamnya membuatku merasa iba, seakan telah membuatku tak kuasa  melihatnya. Dalam hati kecilku pun telah berkata, siapakah sosok wanita yang berkacamata itu, mengapa dalam pandangan pertama ini hatiku tersentuh usai melihatnya. Mungkinkah ini sebuah tanda awal bahwa diriku mulai beranjak dewasa, sehingga harus belajar beradaptasi dalam mengontrol diri. Entahlah, mungkin ini hanyalah sebatas angin lewat.           Sejenak kumulai berpikir tentang bagaimana cara agar diriku bisa tahu namanya, meski belum saatnya untuk mengenalnya. Aku tak kehabisan akal, dengan perlahan kumulai mendekati kakak kelas yang mengawasi kelompok kita.           “Kak, saya izin ke toilet sebentar ya." ucapku.           “Ahh kamu ini, ya sudah cepat sana!" serunya.           “Baik kak terima kasih." jawabku.           Dan aku mulai berjalan dengan langkah kaki yang sedikit pelan, setelah diriku berhasil mendekati barisannya, kumulai melirik ID card yang saat ini sedang dia pakai.           “Intan Fara." ucapku dalam hati.           Saat tiba di toliet, aku segera membasuh muka sekalian mengambil wudhu, barangkali dengan apa yang saat ini sedang kulakukan bisa menambah kesegaran serta stamina dalam menjalani MOS yang sedikit memilukan ini. Alhamdulillah, kini diriku sudah tahu akan namanya, namun kubelum tahu rencana apa yang akan kulakukan selanjutnya. Entahlah, semoga bayangan wajahnya tidak sampai terbawa dalam mimpiku di malam nanti.           Malam telah tiba, dan dewi malam mulai menampakkan sinarnya. Setiap hari dan setiap malam seperti ini, tak ada lagi pekerjaan yang biasa aku lakukan selain belajar dan membaca kitab suci Al-Qur'an. Dengan belajar, aku bisa melatih diri untuk berpikir, sebagai wujud perubahan bahwa aku telah dewasa, dan membaca kitab suci juga merupakan sebuah kebutuhan untukku, agar setiap ketenangan serta kedamaian hati senantiasa datang menemaniku. Namun, ada kalanya juga rasa jenuh itu datang, seakan membuatku terpuruk dalam meratapi kesendirian, karena bagiku di waktu malam bukanlah bahagiaku kecuali di waktu siang di saat diriku dan Amir mulai menikmati waktu demi waktu.           tok tok tok.           Suara pintu terdengar tak begitu keras, aku menduga mungkin itu hanyalah tetangga sebelah yang sedang ingin bertamu di rumahku. Mendengar ketukan suara pintu, ibu langsung berjalan dan mulai membukannya.           “Assalamualaikum." ucap Amir.           “Walaikum salam, eh Amir ada apa malam-malam ke sini?" tanya ibu.           “Iya buk, Amir lagi ada perlu sama Alfi." terangnya.           “Oh begitu, ya sudah ibuk panggilin sebentar ya." jawab ibu.           Lalu ibu mulai masik ke kamarku.           “Alfi, tuh ada Amir lagi nyariin kamu." ucap ibu.           “Oh iya buk." jawabku singkat.           “Amir, ngapain tuh anak malam-malam ke rumah." Gumamku sendiri.           “Iya Mir, tumben lu malem-malem ke sini." sapaku.           “Ya, yang pasti gue ke sini mau minta tolong sama lu Fi." ujarnya.           “Emang lu mau minta tolong apaan?" tanyaku.           “Malam ini doang lu tidur di rumah gue ya." pintanya.           “Ahhh ngaco amat lu Mir, kayak gue jadi anak terlantar aja." sangkalku.           “Ayolah semalem ini saja, soalnya bokap sama nyokap gue lagi ke luar kota, gue takut sendirian di rumah." keluhnya.           “Hmmm, ya sudah deh. Gue pamit sama nyokap gue dulu ya." imbuhku.           “Nah gitu dong, ini baru namanya teman sejati." pungkasnya.           Terpaksa untuk malam ini aku tidak tidur di rumah, hanya demi bisa menemani Amir yang selalu takut bila ditinggal sendiri di rumah. Entahlah, lagipula sekarang adalah malam minggu meski tidak tidur semalam juga tidak mengapa. Ketika hari esok telah tiba, maka di hari itulah kita berdua akan menikmati waktu libur ke taman kota.           Bersahabat dengan Amir itu sungguh sangat menyenangkan, bertahun-tahun sudah jarang kita alami yang namanya pertikaian maupun perselisihan. Satu hal yang sampai saat ini kita nikmati bersama adalah, kita tak pernah bosan dalam menikmati waktu ketika  berada di pesisir pantai. Aku dan Amir memang memiliki hobi yang berbeda namun kita memiliki satu kebahagiaan yang sama, tiada lain hanyalah bermain di lautan.           Aku memiliki cita-cita di saat dulu kecil pernah kuucapkan, bahwasanya jika diriku tumbuh besar nanti, aku ingin bekerja di bidang pelayaran lintas internasional, agar diriku bisa menjelajahi luasnya samudra di muka bumi ini. Begitu juga dengan Amir, yang selalu berharap suatu saat dia ingin menjadi bajak laut, sungguh tak masuk akal dari apa yang pernah dia ucapkan, mungkin karena dia terlalu terobsesi dengan sosok Johny Deep.           Waktu pagi adalah sebuah hari yang sepantasnya harus disambut dengan hati yang gembira serta raga yang penuh dengan semangat. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai wujud tanda bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena masih memberikan kita nafas, kesempatan dan juga rizki yang jumlahnya tiada tara. Di waktu pagi ini adalah waktu di mana diriku akan menjalani piket di kelas. Sengaja diriku datang lebih pagi sebelum banyak anak-anak sekolah yang datang agar diriku dapat sedikit lebih mudah dalam membersihkan kelas.           Setelah tiga puluh menit berlalu, halaman sekolah mulai dipadati oleh banyak anak, sementara tugasku masih kurang satu yaitu mengelap kaca jendela. Entah apa yang telah terjadi, pada saat diriku mengelap kaca dengan satu usapan, dengan spontan diriku mulai berhenti. Betapa tidak hal ini kulakukan karena tiba-tiba ku baru saja melihat kembali perempuan itu yang duduk di dekat kolam ikan sambil membaca buku.           Aku kembali merenung seraya memikirkan dalam diam ini. Entah bagaimana cara diriku mengenalnya, walaupun kelas kita bersebelahan, sementara juga tidak dalam satu kelas. Entahlah, mungkin suatu saat akan ada jalan terbaik. Kebimbangan hati mulai terasa kuat, mengapa ada di dunia ini perempuan yang karakternya pendiam, lugu dan punya rasa malu. Mungkinkah dia salah satu dari bidadari yang dikirim oleh Tuhan dalam wujud manusia.           “Hei." sapa salah satu seorang murid perempuan sambil menepuk pundakku dari belakang.           “Ehh kamu Def, ngagetin orang aja deh." responku.           “Hmmm, kamu sih dari tadi bengong aja, lagi banyak pikiran ya?" tanyanya.           “Emm, nggak aku cuma lagi bete aja." jawabku.           Kring kring kring. Bel sekolah pun mulai berdering, pertanda jam masuk pelajaran pertama akan tiba. Aku dan Defi segera duduk di kursi sebelah tengah. Ya, sejak awal masuk sekolah kita sudah duduk sebangku, dan sejak awal itu pula dia merupakan salah satu teman yang paling asyik bila diajak ngobrol. Sebagai teman sebangku, sudah selayaknya kita saling membantu dan menghargai satu sama lain, berharap aku dengannya akan menjadi satu sahabat selamanya.           Pelajaran pun sudah berlangsung selama satu jam, namun diriku masih belum memahami apa yang baru saja bu guru ajarkan. Hal ini terjadi karena diriku telah banyak pikiran, yang tidak lain tentang perempuan yang memiliki nama panggilan Fara itu. Bukan hanya di saat ini, tetapi sejak awal masuk sekolah bahkan sampai detik ini tak sedikitpun pikiranku bisa lepas darinya. Entah mengapa hal ini bisa terjadi, jujur aku takut jika ke depannya rasa ini akan terus meninggi. Mungkinkah kuharus mencari cara demi cara agar diriku bisa terlepas dari ingatannya, ataukah lebih baik kuharus bergerak dalam memberanikan diri mengenalnya.           Di saat jam pulang sekolah tiba, terkadang masih kusempatkan waktu berdiam diri di gazebo dekat gerbang sekolah, apa yang telah kulakukan tiada lain hanyalah ingin melihat kepergiannya di saat orang tuanya datang menjemput. Dan entah kenapa di saat kita mulai terpisah, perasaanku tidaklah seperti biasa, begitu berat dan perihnya dari apa yang telah kurasakan. Ketika malam telah tibapun, kuhanya bisa merenung dalam kesendirianku. Aku tak tahu harus bagaimana, kumerasa tiada berkawan, seolah kubaru saja tersesat ke tengah lautan yang tak tentu arah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD