Bab 18. Debaran Jantung

1232 Words
Elena merajut dengan kain rajut di dalam kamarnya. Sesuai rencananya, ia merajut hasil desainnya untuk memenuhi pesanan yang ia jual di internet. Seharian ini, Elena terus saja merajut di dalam kamar. Tadi pagi, setelah Alan pergi mengantar bi Siti, Alan langsung menelpon Elena untuk mengabari. Kata Alan, bi Siti harus tinggal menemani anaknya. Jadi, untuk sementara tidak bisa kembali ke rumah ini. Elena kemudian meletakkan hasil rajutannya di samping ranjangnya. Ia lalu menarik tangannya ke atas untuk meregangkan otot-ototnya. Elena kemudian turun dari ranjangnya. Ia berjalan keluar kamarnya. Di sana, ia memperhatikan sekitar. Ruangan di luar kamar sudah sangat gelap. Elena baru sadar jika dari tadi ia belum menyalakan lampu. Sedangkan hari sudah menjelang hampir malam. Biasanya, setiap hari bi Siti yang selalu menyalakan lampu. Elena pun keluar dan kembali menutup pintu kamarnya. Di sana, ia menyalakan semua lampu ruang tamu dan lampu teras. Meskipun semua lampu sudah menyala, tetap saja suasana di dalam rumah masih terasa sepi. "Rumah ini memang terlihat berbeda saat bi Siti tidak ada," gumam Elena berbicara sendiri. "Terlihat nampak sangat sepi," lanjutnya. Tidak lama, terdengar suara deru mobil berhenti di depan halaman rumah. Elena melihat ke arah depan dan mendapati mobil Alan di sana. Rupanya Alan sudah pulang dari kantor. Tadi, setelah mengantar bi Siti, tentu saja Alan tidak pulang lagi ke rumah. Alan langsung ke kantor dan baru pulang sekarang, sekitar pukul tujuh malam. Elena pun berjalan keluar menemui Alan. "Pak Alan sudah pulang?" sambut Elena. Alan sedikit terkejut melihat Elena menyambutnya. "Hm!" jawab Alan seperti biasanya. "Bagaimana dengan anak bi Siti tadi?" "Dia terluka di bagian kepala. Jadi, dokter mengoperasinya," jawab Alan. Elena segera memberikan ekspresi wajah cemas. Alan memperhatikannya. "Tidak apa-apa. Lukanya tidak parah. Tapi, bi Siti harus menjaga anaknya sampai sembuh." "Meski Pak Alan berkata begitu, tetap saja aku merasa cemas," ujar Elena sembari menundukkan kepalanya. Alan memperhatikannya dan tersenyum tipis. "Kenapa kamu sangat perhatian pada bi Siti?" tanya Alan pada Elena. "Di rumah ini, temanku hanya bi Siti. Entah, kenapa aku merasa nyaman kalau ada bi Siti ada di rumah. Saat bi Siti tidak ada seperti ini, rumah ini kelihatan sunyi. Bagiku, bi Siti sudah seperti ibuku sendiri. Karena aku bisa merasakan ketulusannya," kata Elena yang tidak terasa dengan sedikit berkaca-kaca. Alan tertegun mendengar Elena. Ia memperhatikan Elena yang berkaca-kaca. Seumur hidup, ia belum menemukan orang yang sama dengan dirinya. Menganggap bi Siti seperti ibunya. "Kenapa kamu sampai menangis?" tanya Alan lagi. Elena segera menyeka air matanya. "Maaf. Mungkin karena aku tidak punya ibu, jadi aku merasa senang kalau berada di dekat bi Siti. Karena bi Siti orang yang sangat baik dan penyayang," jelas Elena. Alan pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Aku pun juga begitu," kata Alan. Elena menoleh ke arah Alan, gantian mendengarkannya. "Bagiku, bi Siti sudah seperti ibuku sendiri. Pengganti ibu kandungku yang sudah meninggal, saat aku masih berusia lima tahun dulu," kata Alan. "Ya. Aku bisa merasakan rasa sayang Pak Alan pada bi Siti," ujar Elena. Alan jadi menoleh ke arah Elena. "Bagaimana kamu tahu?" "Tadi, Pak Alan segera mengantarkan bi Siti sebelum memakan apapun di meja makan. Pak Alan juga tidak meminum kopi, bahkan pak Alan meninggalkan pekerjaan pak Alan untuk mengantarkan bi Siti. Terbukti kalau Pak Alan memang menyayangi bi Siti," kata Elena lagi. Alan pun menanggapi Elena dengan tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong, kenapa Pak Alan tidak merekrut seorang sopir di sini? Jadi, mungkin saja kalau ada apa-apa seperti ini, Pak Alan bisa menyerahkan pada sopir," ujar Elena. "Dulu, ada seorang sopir di sini. Dia adalah suami bi Siti." "Benarkah?! Lalu, sekarang ada di mana?" "Sudah meninggal." "Apa?!" Elena nampak terkejut mendengarnya. "Sekitar lima tahun lalu. Suami bi Siti, mengalami kecelakaan. Sama seperti almarhum ibuku. Jadi, aku juga bisa merasakan bagaimana perasaan bi Siti waktu itu. Semenjak suami bi Siti meninggal, aku memang tidak merekrut sopir lain. Karena bagiku, mereka sudah seperti keluargaku sendiri," jelas Alan. Elena menganggukkan kepala beberapa kali dengan pelan mendengar penjelasan Alan. Saat Alan bercerita, ia seolah bisa merasakan kesepian yang Alan alami selama ini. Karena ia sendiri juga merasakan hal yang sama. "Aku memahami perasaan Pak Alan. Karena sekarang bi Siti tidak ada di rumah, pasti pak Alan merasa kesepian?" "Ya. Begitulah." "Pak. Aku minta alamat rumah sakit tempat anak bi Siti dirawat!" kata Elena. Alan pun menautkan kedua alis dan melihat Elena. "Untuk apa?" "Tentu saja untuk menengok anak bi Siti! Aku tidak bisa hanya berdiam di sini seperti ini!" "Elena. Tempatnya bukan di kota. Tempatnya jauh! Kamu harus naik bus untuk ke sana." "Tidak masalah, Pak! Rumahku juga desa. Aku sudah terbiasa. Lagi pula, aku juga tidak melakukan apapun di rumah. Besok aku akan ke sana melihatnya!" ujar Elena kukuh. "Baiklah. Aku akan menhgirimimu alamatnya setelah ini," kata Alan yang nampak terpaksa. Elena juga menganggukkan kepala tanda setuju. Alan kemudian berjalan ke arah kamarnya. Di sana, Elena juga kembali ke arah ruang tamu. Elena memperhatikan Alan yang masuk ke dalam kamarnya. Lalu, Elena jadi berpikir. "Biasanya setelah pak Alan pulang, meja makan selalu sudah terhidang masakan bi Siti. Sekarang, dia mau makan apa, ya? Jangan-jangan, dia kelaparan karena tidak ada yang memasak?" ujar Elena menerka-nerka sendiri. Elena pun memiliki inisiatif. Ia berencana memasak untuk makan malam Alan. Elena berjalan ke arah dapur. Setelah di ambang pintu dapur, Elena kaget melihat dapur yang gelap gulita. "Aku sampai lupa tidak menyalakan lampu dapur?" kata Elena berbicara sendiri. "Tapi ... lampunya sebelah mana, ya?" Selama ini, Elena masih belum tahu lampu dapur. Ia pun berjalan pelan-pelan dalam gelap. Menempel di dinding dan merabanya untuk mencari tombol lampu. Setelah sekian detik, ia pun menemukan saklar lampu tersebut. Elena segera menyalakannya. Setelah menyala, dapur sudah sangat terang. Elena lalu berbalik. Namun, ketika ia berbalik tidak sengaja tersandung oleh sesuatu di bawah lantai. Elena tentu saja terkejut dan hampir jatuh ke lantai. Namun, ada yang menariknya, sehingga ia tidak terjatuh. Siapa lagi kalau bukan Alan? Ternyata, Alan ada di dekatnya ketika lampu baru menyala. Alan tahu Elena yang akan jatuh dan segera menarik pinggang Elena, menahannya agar tidak jadi jatuh. Saat ini, posisi Alan masih memegangi pinggang Elena yang hampir jatuh. Mereka berdua saling tatap dengan jarak amat dekat. Mendadak, jantung Elena jadi berdebar-debar tidak menentu. "Kamu, tidak apa-apa?" Bahkan, suara Alan terdengar sangat lembut dari biasanya. Elena merasa lidahnya kaku tidak bisa bergerak dan seolah ia bisa mendengar gema jantungnya sendiri yang tidak normal. "Aku tidak apa-apa!" kata Elena segera melepaskan kedua tangan Alan dari pinggangnya. "Ternyata kamu yang menyalakan lampu," ujar Alan. "Pak Alan, kenapa ada di dapur malam-malam begini?" Elena justru balik bertanya karena salah tingkah. "Aku lihat dapurnya gelap. Jadi aku ke sini. Saat aku sudah dekat, lampu menyala sendiri. Ternyata kamu baru saja menyalakan lampunya," jelas Alan. Elena yang masih berusaha menenangkan hati itu, mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Kamu sendiri, kenapa ada di dapur malam-malam begini?" Alan balik bertanya. Elena terdiam sesaat dan tidak segera menjawab. Awalnya ia memang ingin memasak untuk Alan, tapi dengan keadaan jantungnya yang berdebar-debar seperti ini memangnya ia bisa? "Tidak apa-apa. Sama seperti Pak Alan, aku tadi hanya ingin menyalakan lampu saja karena terlalu gelap. Sekarang aku akan kembali ke kamar dan istirahat. Selamat malam Pak!" Elena segera berjalan cepat keluar dapur. Ia menuju kamarnya. Alan pun bingung dengan sikap Elena. "Ada apa dengannya?" tanya Alan berbicara sendiri. Elena yang berada di kamar segera menutup kamarnya dari dalam. Setelah itu ia menyandarkan punggungnya di pintu kamar. Jantungnya berdebar amat kencang. Ia memegangi dad*nya. "Ada apa denganku ini?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD