Rutinitas pagi selalu tidak berbeda dari biasanya. Setiap jam tujuh pagi, Alan keluar dari kamar sambil membawa tab-nya, berjalan ke arah meja makan. Ia memperhatikan layar tab-nya tanpa melihat jalan, langsung duduk di kursi meja makan.
"Bi, tolong ambilkan kopiku," kata Alan dengan tetap melihat ke arah tab-nya.
"Ini, Pak."
Alan terhenyak begitu mendengar suara yang bukan berasal dari Bi Siti. Ia menoleh dan yang baru saja mengambilkan kopi untuknya adalah Elena. Alan terkejut dan mengerjap bingung.
Elena berdiri di samping Alan dengan tersenyum. Alan melihat sekitar dan memang tidak ada bi Siti di sana. Jadi, saat ia baru keluar tadi, Elena yang sedang berdiri di sekitar meja makan dan bukan bi Siti.
"Mana bi Siti?" tanya Alan.
"Bi Siti, masih menyiapkan telur goreng. Karena aku pikir Pak Alan sibuk, jadi aku berinisiatif untuk mengambilkan kopi Pak Alan saja," kata Elena dengan tersenyum. Butuh waktu beberapa detik untuk Alan menanggapinya.
"Hm!" jawab Alan yang kembali melihat ke arah tab-nya.
Elena memperhatikan Alan yang terus melihat tab-nya. Elena pun akhirnya kembali duduk di kursinya. Ia mengambil nasi di piring. Alan, diam-diam memperhatikannya.
"Kamu sudah tidak muntah lagi kalau makan nasi?" tanya Alan.
"Tidak, Pak. Berkat vitamin dari dokter waktu itu, aku sudah sangat enakan."
Alan mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali mendengar jawaban Elena. Ia kembali melihat tab-nya. Yang sebenarnya, ia sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia ingin bertanya pada Elena.
"Ngomong-ngomong, kemarin kamu membeli bahan untuk merajut buat apa?"
"Aku, ingin membuat sebuah rajutan dari hasil desain yang aku buat."
"Rajutan dari desain yang kamu buat?" ulang Alan.
"Iya, Pak. Aku mendesain sebuah baju dan syal."
"Untuk apa?"
"Aku memposting hasil desainku dan menjualnya di media sosial. Ternyata ada yang ingin membelinya. Jadi, aku membuatkan untuk memenuhi pesanan," jelas Elena.
"Kamu, menjual di media sosial?"
"Iya. Aku ingin berbisnis dan mendapatkan uang."
"Bukankah aku sudah memberimu kartu kredit? Kamu bisa menggunakannya sesukamu. Jadi, kamu tidak perlu capek-capek berbisnis untuk mendapatkan uang. Pakai saja kartu kredit dariku," kata Alan.
"Tidak apa-apa, Pak. Aku sudah terbiasa mandiri sejak ibuku meninggal. Jadi, aku ingin memenuhi kebutuhanku sendiri," jelas Elena. Alan menautkan kedua alisnya mendengar kalimat Elena.
"Ibumu, meninggal?" tanya Alan.
"Iya, Pak. Kita sama-sama pernah merasakan kehilangan ibu," kata Elena lagi.
Alan terkejut mendengar kalimat Elena. Ia kembali melihat Elena dengan tatapan tajamnya. Elena pun sadar jika ia terpeleset saat berbicara tadi.
"Aah ... maafkan aku, Pak," kata Elena. Ia merasa bersalah.
"Kamu tahu dari mana soal ibuku meninggal?" tanya Alan.
"Beberapa hari yang lalu, bi Siti memberitahuku soal itu. Maaf, kalau aku jadi mengingatkan Pak Alan soal ibu pak Alan," kata Elena dengan sedikit takut-takut.
"Tidak apa-apa. Lagi pula, itu juga sudah lama. Aku masih sangat kecil waktu itu," jawab Alan. Elena pun menganggukkan kepalanya satu kali. "Jadi, kapan ibumu meninggal?" tanya Alan lagi.
"Ibuku, meninggal saat aku masih kuliah. Saat aku lulus kuliah, ayahku menikah lagi. Setelah beberapa tahun ayah menikah, beliau juga meninggal."
"Jadi, kedua orang tuamu sudah tidak ada?"
"Aku hanya memiliki ibu tiri, istri kedua ayahku. Tapi, aku tidak begitu dekat dengannya. Bahkan, sampai sekarang, dia tidak tahu kalau aku sedang hamil," jelas Elena.
Alan terus melihat ke arah Elena. Ada sesuatu yang bergetar darinya mendengar ungkapan Elena tersebut. Elena sadar jika Alan menatapnya. Ia pun melihat ke arah Alan, dan Alan memandangnya dengan tatapan dalam. Entah apa yang dipikirkan Alan saat ini?
"Jadi, aku rasa aku memang sudah terbiasa mandiri saja, Pak," ujar Elena lagi dengan tersenyum sembari mencairkan suasana.
Sejujurnya, Alan amat kagum dengan Elena. Meskipun dalam keadaan hamil, Elena menunjukkan sikap mandirinya. Membuat Alan terkesan dibuatnya.
"Lagi pula, aku juga sangat bosan kalau hanya berdiam di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Jadi, aku memutuskan untuk mencari kegiatan," tambah Elena lagi.
Alan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Alan pun mengikuti kemauan Elena.
"Baiklah. Tidak masalah kamu berbisnis. Tapi, pikirkan juga bayi yang ada di dalam kandunganmu," ujar Alan.
Elena terhenyak mendengar ungkapan Alan. Alan kembali menunjukkan sisi perhatiannya. Kali ini, secara terang-terangan. Elena segera menyadarkan dirinya dan hanya menganggukkan kepala akan nasihat Alan.
"Dan tetap saja, kamu bisa menggunakan kartu kredit yang aku berikan untuk keperluanmu," kata Alan lagi.
"Terima kasih, Pak. Aku masih tetap ingin berusaha dengan kemampuanku sendiri. Aku, tidak terbiasa memakai uang orang lain."
"Elena. Aku bukan orang lain. Aku adalah suamimu," kata Alan.
Elena yang saat itu akan memasukkan satu suap ke dalam mulutnya jadi terhenti. Ia tercekat dengan kalimat Alan. Elena menoleh ke arah Alan dengan tatapan dalam. Jantungnya berdebar hanya dengan mendengar Alan berbicara seperti itu.
"Maksudku, untuk sekarang aku adalah suamimu. Meski hanya sampai bayi itu lahir. Saat ini, kamu adalah tanggung jawabku," kata Alan lagi.
Elena justru semakin berdebar mendengar penjelasan Alan. Ia jadi setengah menunduk dan tersipu. Kali ini, ia tidak bisa lagi membalas apapun kalimat Alan. Hanya mencoba kembali makan dengan salah tingkah.
Tidak lama setelah itu, bi Siti dari arah dapur berjalan cepat setengah berlari ke arah Alan. Elena dan Alan pun menyadari jika bi Siti sedang berjalan cepat ke arah mereka.
"Tuan?!" panggil bi Siti dengan ekspresi wajah panik. Membuat Alan dan Elena heran melihatnya.
"Ada apa, Bi?" tanya Alan.
"Tuan! Anak saya kecelakaan!" seru bi Siti. Tentu saja Alan dan Elena terkejut mendengar kabar itu.
"Kecelakaan?! Bagaimana kondisinya sekarang, Bi?!"
"Saya tidak tahu, Tuan. Baru saja saya mendengar kabar kalau dia terserempet mobil. Sekarang, dia sedang dibawa ke rumah sakit," jelas bi Siti sedang menahan Isak tangisnya.
"Kemasi barang Bibi dan bersiaplah. Aku akan mengantar Bibi pulang ke kampung sekarang juga!" ujar Alan sembari berdiri.
"Baik, Tuan!" jawab bi Siti. Bi Siti pun segera berbalik lagi dan pergi ke kamarnya untuk bersiap sesuai perintah Alan.
"Pak! Saya ikut!" kata Elena yang juga ikut berdiri.
"Jangan! Kampungnya lumayan jauh. Bisa memakan waktu dua jam perjalanan. Kamu sedang hamil. Kamu di rumah saja dan tunggu saja kabar dariku," kata Alan.
"Baiklah," jawab Elena akhirnya menurut.
"Sudah, Tuan!" Bi Siti kembali datang dengan membawa tas seadanya.
"Ayo, kita berangkat!" pinta Alan lagi.
"Saya tinggal dulu ya, Non!" pamit bi Siti pada Elena.
"Hati-hati, Bi! Kabari kalau ada apa-apa," balas Elena. Bi Siti mengangguk dan segera berjalan cepat mengikuti langkah Alan.
Elena melihat mereka berdua keluar pintu dan langsung berjalan cepat menuju mobil Alan. Elena mengantar mereka dari teras dan memperhatikan mobil Alan pergi menjauh. Elena pun merasa cemas dan berharap kecelakaan yang dialami anak bi Siti tidak parah.
Elena kembali lagi masuk ke dalam rumah. Di meja makan, Elena melihat piring Alan. Alan belum sempat makan apapun tadi. Bahkan, Alan juga tidak meminum kopinya. Meninggalkan meja makan begitu saja demi mengantar bi Siti.
"Dia, bahkan juga meninggalkan pekerjaannya tanpa memikirkan apapun selain bi Siti. Jadi, dia memang terbukti orang yang perhatian," gumam Elena berbicara sendiri pelan.