Elena memegang ponsel yang menempel di telinganya. Ia nampak cemas untuk menghubungi kekasihnya. Dari dalam ponselnya, terdengar suara nada sambung dan menunggu Farel untuk mengangkat panggilannya.
"Halo, Sayang?" sapa Farel segera setelah panggilan diangkat. Elena terhenyak sesaat.
"Rel! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu!" kata Elena segera.
"Maaf, Sayang. Aku sedang sibuk. Nanti saja dilanjutkan, ya."
"Ini kan sudah pukul empat sore. Bukankah jam kerjamu sudah selesai?"
"Aku masih lembur."
"Kapan kamu akan pulang?"
"Belum tahu pasti."
"Rel. Ini benar-benar penting. Tolong beri aku lima menit saja!"
"Apa kamu mau menjelaskan kenapa kamu tidak mengangkat panggilanku tadi malam? Sayang, aku tidak pernah ada masalah dengan itu. Aku tahu kamu sibuk. Sekarang, aku juga sibuk. Nanti aku akan menelponmu kalau aku sudah senggang, ya!"
"Tapi, Rel! Halo! Ha ...."
Elena menghentikan sendiri kalimatnya, begitu terdengar nada putus dari panggilannya. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Elena kemudian mengusap kembali layar ponsel dan ingin menghubungi Farel lagi.
Satu kali panggilan, dua kali sampai tiga kali, Farel tidak mengangkat panggilan dari Elena. Membuat Elena putus asa dan berniat tidak menghubungi Farel lagi. Elena meletakkan ponselnya kembali.
"Selalu seperti ini," gumam Elena berbicara sendiri. "Kami selalu tidak pernah memiliki waktu untuk berdua."
Elena merasa sesak. Tiba-tiba air matanya mulai menetes dan ia kesusahan bernafas. Ada banyak hal yang ingin ia katakan pada kekasihnya. Soal kejadian tadi malam bersama bosnya. Ia yang saat ini kehilangan pekerjaan karena itu.
Tidak! Elena tidak bisa tinggal diam saja! Ia harus nekat untuk menemui Farel sekarang juga. Lagi pula, ia memiliki waktu senggang yang cukup banyak, mengingat ia sudah tidak bekerja lagi saat ini. Elena pun segera bergegas untuk mengatakan semuanya pada Farel!
***
Elena baru saja tiba di depan tempat kerja Farel. Ia melihat gedung perusahaan tempat kerja Farel, dari arah luar. Elena pun mengambil ponselnya dan berniat untuk menghubungi Farel, mengabari kekasihnya kalau ia sudah ada di depan tempat kerjanya.
Elena mengusap layar ponsel dan menempelkan di telinganya. Namun, sebelum terdengar nada sambung, Elena mengurungkan niatnya untuk menelpon Farel. Ada sesuatu yang membuatnya mencegah menghubungi kekasihnya itu.
Dari arah yang lumayan jauh, Elena melihat kekasihnya sedang bersama beberapa teman-temannya. Elena melihat mereka duduk-duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang. Di sana, ia melihat Farel sedang berbicara dengan teman-temannya.
Elena memperhatikan semuanya. Elena tidak melihat tanda-tanda jika mereka sedang sibuk atau sedang rapat. Bahkan, mereka berada di luar kantor. Elena juga melihat kalau mereka nampak sedang tertawa terbahak dan saling bercanda.
Membuat Elena menautkan kedua alisnya kesal. Dengan emosi yang ia simpan itu, Elena segera berjalan mendekat ke arah kekasihnya. Semakin Elena mendekat, gelak tawa Farel dan teman-temannya semakin terdengar kencang.
"Jadi ini, kesibukan kamu?" kata Elena ketika sudah berada di antara Farel dan teman-temannya.
Farel pun segera terkejut mendengar suara Elena di sekitarnya. Ia segera menoleh ke arah belakang. Betapa kagetnya Farel, ketika mendapati Elena berada tepat di belakangnya. Wajah Farel mendadak berubah menjadi pias.
"Sayang, kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Farel dengan ekspresi wajah yang sama.
"Aku benar-benar membutuhkanmu. Tapi kamu malah seenaknya mengobrol dan bercanda dengan teman-temanmu?!"
Farel panik mendengar Elena. Ia lalu segera menarik tangan Elena dan membawanya menjauh dari teman-temannya. Ketika sudah berada agak jauh, Farel melepaskan tangan Elena.
"Sayang. Aku baru istirahat, setelah menyelesaikan pekerjaan yang lumayan berat. Lagi pula, aku merasa tidak enak kalau menolak ajakan yang lain."
"Kamu merasa tidak enak dengan temanmu, tapi kamu tidak masalah dengan pacarmu?!"
"Ele! Kamu sendiri juga biasanya sibuk. Kamu sering lembur sampai malam. Aku selalu bisa mengerti. Kenapa kamu tidak pengertian padaku sama sekali?"
"Tidak untuk yang baru saja aku lihat. Apa jangan-jangan, selama ini kamu juga seperti itu?! Kamu terlalu sibuk bercanda dengan temanmu sampai melupakanku?!"
"Ada apa denganmu hari ini? Bukankah kamu tahu kalau aku bekerja keras demi masa depan kita!" ujar Farel dengan nada penekanan.
Elena terdiam berpikir sejenak. Ia tiba-tiba merasa sesak dan berkaca-kaca. Membuat Farel jadi bingung melihatnya.
"Tidak ada lagi masa depan," kata Elena pelan sambil menahan isak tangisnya. Farel menautkan kedua alisnya.
"Apa maksudmu?"
Elena pun menceritakan semuanya pada Farel. Soal kejadian tadi malam ketika bosnya merenggut kesuciannya. Tepat hari ini karena hal itu, bosnya memecatnya dan meminta Elena untuk tidak menemuinya lagi.
Farel pun terkejut mendengarnya. Ia tidak habis pikir dengan kenyataan pahit yang harus didengarnya ini. Ia hanya tercengang dan masih sulit menerima kenyataan ini.
"Jadi, kamu sekarang sudah tidak bekerja lagi?" tanya Farel.
Mendengar pertanyaan Farel itu, membuat Elena sedikit heran dan melihat ke arah Farel dengan penasaran. Farel justru bertanya soal pekerjaannya, dibanding keadaannya. Membuat Elena semakin geram.
"Ya. Kamu tahu, kan? Kalau aku dikeluarkan dari Nataland Corp, pastinya aku akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain?" ujar Elena dengan sedikit menguji Farel.
"Ele! Jadi, bagaimana dengan masa depan kita! Masih banyak hal yang harus kita lewati!" seru Farel. Elena terkejut mendengar ungkapan Farel. Rupanya, Farel lebih peduli tentang karir Elena dari pada dirinya.
"Kenapa kamu bisa terjebak di sana! Kenapa kamu bisa bercinta dengan bosmu?!" teriak Farel yang juga merasa marah. Elena mendengus kasar.
"Rel! Apa kamu tidak cemburu?!"
"Sudah jelas aku cemburu! Tapi —"
"Berpikirlah dengan jernih. Ini semua adalah salahmu juga!" potong Elena.
"Aku?! Apa maksudmu?!"
"Apa kamu lupa semalam kamu bilang mau jemput aku? Kamu datang telat, makanya aku terpaksa jadi lembur kerja. Gara-gara itu aku jadi terjebak di sana sama atasanku yang lagi mabuk."
"Apa yang kamu pikirkan?! Bukankah kamu sudah biasa pulang sendiri?! Kenapa kamu mengkambing hitamkan aku atas kesalahanmu sendiri!"
"Biasanya?" ulang Elena. "Kamu pikir, dengan terus menerus menunggumu di depan kantorku, aku tidak sedih? Kamu pikir dengan tidak menjemputku, aku sudah terbiasa dan baik-baik saja? Aku lelah! Aku bosan terus menerus menunggu janji manismu yang katanya ingin menemaniku. Akan menjemputku tepat waktu! Aku lelah!" teriak Elena yang tidak bisa mengontrol emosinya. Farel pun bingung dengan kondisi mereka berdua. Ia lalu menghela nafas panjangnya.
"Jadi, apa sekarang rencanamu?" tanya Farel pada Elena.
"Kamu bertanya padaku? Artinya kamu menginginkan keputusan dariku. Aku ingin kita putus saja!" kata Elena tegas. Tentu saja, Farel terkejut mendengarnya.
"Elena! Aku –"
"Cukup!" potong Elena. "Rel! Pikirkanlah tentang hubungan kita sebentar saja. Apa kamu pernah ada waktu untukku, sebentar saja? Apa kamu ingat kapan terakhir kali kamu memeluk dan menciumku? Katakan saja, kalau aku ini memang sudah tidak penting lagi bagimu."
"Sayang. Dengarkan dulu. Aku —"
"Sudahlah! Sekarang, kita tidak ada hubungan apapun lagi!" ujar Elena.
Setelah itu, Elena berbalik berjalan menjauhi Farel. Farel masih setengah berpikir dan merasa bingung dengan apa yang baru saja terjadi menimpanya. Benarkah ia putus dengan Elena?
Farel hanya bisa terdiam dan melihat punggung Elena yang semakin menjauh darinya. Saat itu, Farel merasa sangat marah dan kesal. Ia mengepalkan tangannya erat-erat dengan emosi yang harus ditahannya.