Bab 1. Kesalahan Satu Malam

1239 Words
"Apa yang Pak Alan lakukan?" Seorang wanita bernama Elena terlihat sangat terkejut saat mendapati atasannya di kantor mencium bibirnya. Pria yang sudah dipengaruhi alkohol itu seakan tak bisa mengontrol dirinya. Terus melumat bibir Elena yang hanya bisa pasrah dengan perlakuan itu, meski sebenarnya Elena sudah coba berontak hingga tak punya kekuatan lagi untuk melawan. Elena pun membiarkan semua itu terjadi. Mulai menutup kedua mata dan menikmati setiap sentuhan dari atasannya. Malam itu, mungkin akan jadi malam yang selalu diingat oleh Elena. Malam di mana Alan–atasannya di kantor merenggut paksa keperawanannya. Niat hati hanya ingin kerja lembur, tetapi ia malah harus jadi pelampiasan hasrat sang bos. Entah bagaimana kini keduanya saling memagut bibir satu sama lain. Alan menarik paksa Elena dan membawanya ke atas sofa di dalam kantor. Ia membaringkan Elena dan menindihnya. Keduanya kembali saling memadukan bibir secara bergantian. Seolah bisa melahap satu sama lain. Ciuman Alan semakin dalam, semakin nakal, semakin liar. Bibir Alan yang bersemayam di bibir Elena, memakan waktu lumayan lama. Namun, tidak bisa membuat Alan puas. Justru ia semakin merasa lapar. Alan menggeser bibirnya hingga turun ke leher Elena. Menjelajah ke sekitar area di tulang selangka dan sedikit memberikan bekas gigitan pada leher Elena. Elena refleks membuat desahan-desahan kecil yang semakin memicu birahi Alan. Keduanya sadar betul jika mereka ada di ujung. Namun, siapa yang bisa menahannya? Alan dan Elena saling terlarut dalam campur aduk emosi hasrat yang tak terbelenggu. Membuat keduanya semakin jatuh. Benar-benar sangat memabukkan. Alan lalu menaikkan kaki Elena untuk berada di atas sofanya yang cukup besar. Antara mau dan tidak mau, Elena masih menuruti pergerakan Alan. Bibir mereka masih terus menyatu dan saling memainkan lidah masing-masing. Membuat Elena sendiri kesulitan untuk mengelak. Alan menidurkan Elena di atas sofa. Alan berada tepat di atasnya dengan masih mengunci kedua tangan Elena. Mereka semakin memasuki fase yang lebih tinggi. Perlahan, Alan mulai membuka baju Elena dengan masih mencumbu bibirnya. Elena hanya menuruti apa yang dilakukan bosnya tersebut. Saat ini, yang mengontrol mereka adalah hormon seksual yang terus meningkat. Alan sendiri segera membuka bajunya. Dalam sekejap, mereka sudah melakukan aktivitas ranjang yang cukup panas. Siapa sangka, jika malam ini akan terjadi hal tidak terduga seperti ini? Keduanya lupa segalanya. Hal yang ada di otak mereka saat ini adalah mereka tidak bisa mengontrol diri mereka masing-masing. Baju mereka berserakan di sekitar sofa kantor Alan yang cukup besar. Aktivitas di atas sofa cukup memakan waktu. Entah berapa lama waktu yang akan mereka habiskan, namun mereka saling menikmatinya. Rintihan Elena mulai terdengar lebih kencang. Alan mempercepat gerakannya dan Elena semakin mengerang tidak terkontrol. Tidak membutuhkan waktu lama, hingga klimaks dari akhir kegiatan ranjang itu selesai dan mencapai titik kepuasan. Alan menghentikan gerakannya. Ia masih tertidur di atas Elena. Keduanya saling terengah karena nafas mereka tidak beraturan. Masih dalam keadaan setengah melayang, keduanya dalam balutan angin dingin yang berhembus merdu. Rasa puas memberi makan hasrat masing-masing. Masih di posisi yang sama, lamat-lamat kepala mulai bersih dan otak bisa diajak berpikir rasional. "Sial! Apa yang sudah aku lakukan?!" umpat Alan dalam hati, namun masih berada di atas Elena. "Kenapa ini bisa terjadi?!" gerutu Elena dalam hati. Alan segera bangun dengan cepat. Elena pun melakukan hal sama. Elena segera meraih bajunya menutupi d*danya dan segera duduk. Namun, betapa terkejutnya Alan saat melihat di sofa terdapat bercak darah. "Mustahil! Dia masih perawan! Apa yang sudah aku perbuat?!" teriak Alan dalam hati. Tiba-tiba saja, suara ponsel Elena yang juga berserakan di lantai tadi berdering. Alan dan Elena melirik ke arah layar ponsel Elena. Di layar tertulis sebuah nama yang menelpon Elena. 'My Beloved Farel' Setelah membaca nama yang terpampang di ponselnya itu, membuat Elena terbelalak kaget. Seolah jantung Elena kembali jatuh ke tanah. Farel, kekasihnya sedang menelponnya. *** "Aku harus mengatakan ini padamu. Mulai besok, kamu tidak perlu lagi bekerja di sini," kata Alan pada Elena yang ada di depannya. Elena pun melebarkan kedua matanya terkejut. Ia benar-benar tidak menyangka jika dirinya dipanggil pagi-pagi begini hanya untuk dipecat. Tentu saja, ini semua berhubungan dengan kejadian tadi malam yang menyesatkan itu. "Jadi, maksud Pak Alan aku dikeluarkan?!" tanya Elena untuk memastikan. Alan tidak menjawabnya. "Ya," ucap Alan berbicara tidak melihat ke arah Elena. "Pak! Bukankah tidak adil memecatku begitu saja?! Ini bukan salahku!" "Jadi kamu pikir aku yang salah?!" Alan membalikkan badan melihat ke arah Elena. "Ingat! Kamu juga membalas ...." Alan menghentikan sendiri kalimatnya. Rasanya terlalu memalukan saat membahas hal ini. Ia kembali membalikkan badannya ke arah jendela. "Pak, tolong saya butuh pekerjaan ini! Jangan pecat saya, Pak. Saya janji nggak akan pernah ngomong sama siapa pun. Saya akan jaga rahasia ini. Lagi pula hanya kita saja yang tahu. Anggap kalau itu tidak pernah terjadi, Pak." Alan sejenak terdiam. Tidak menyangka jika Elena akan mengatakan itu. Namun, ia merasa tidak nyaman jika harus satu kantor dengan wanita yang bisa saja mengancam hubungannya dengan Belinda–tunangannya. Terlebih beberapa hari ini, Alan sudah dipusingkan dengan rumor yang beredar soal Belinda dekat dengan lawan mainnya di sebuah produksi film. Hal yang menjadi alasan kenapa Alan sering mabuk-mabukan demi melampiaskan rasa frustasinya. "Besok, kemasi barang-barangmu. Aku akan mulai merekrut sekertaris baru," ujar Alan yang nampaknya tidak peduli dengan kalimat Elena sama sekali. "Tapi saya masih terikat kontrak kerja di sini, Pak!" "Tidak masalah. Aku akan membayarkan penalti untukmu dan memberikan uang pesangon untukmu. Kamu tenang saja." "Pak Alan pikir ini semua tentang uang?! Pak Alan sudah merenggut kehormatanku!" "Bukankah kamu sendiri juga ikut terlibat! Kita sama-sama salah tadi malam. Kenapa kamu memperlakukan seolah-olah kamu korban satu-satunya?! Lagi pula, kenapa kamu masuk ke ruanganku malam-malam?!" "Oooh! Jadi sekarang Pak Alan benar-benar menyalahkanku?! Kenapa Pak Alan seenaknya menciumku?!" "Kamu juga membalas ciumanku, kan?!" Keduanya saling berdebat hebat. Entah siapa yang salah dan yang benar-benar salah? Keduanya sedikit menyadari, jika hanya saling berteriak seperti ini, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Alan pun mengambil satu langkah pasti. "Elena, cukup! Aku bilang kamu tidak perlu bekerja lagi besok. Sekarang, keluarlah dan kemasi barang-barangmu. Ini, cek yang akan kamu terima," kata Alan lagi yang memberikan sebuah lembar kertas bertuliskan uang dengan jumlah lima ratus juta rupiah. "Setelah ini, kita tidak saling kenal. Sekarang kamu pergilah!" usir Alan untuk terakhir kalinya. Setelah itu, Alan berbalik dari Elena lagi. Ia berjalan ke arah tempat duduk kerjanya. Mencoba untuk kembali bekerja. Sedangkan Elena, tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Alan padanya. Elena merasa dirinya sangat hina di depan mata bos yang selama ini ia hormati. Alan seolah semakin merendahkannya dengan memberikannya cek sebesar lima ratus juta itu. Elena tidak rela jika ia harus seperti ini. "Baik! Aku akan keluar," kata Elena sambil berdiri dari duduknya sembari membawa cek dari Alan. "Tapi, aku tidak butuh uangmu!" Elena merobek lembar kertas cek dari Alan tadi. Setelah itu, ia menghamburkannya di udara. Alan pun terkejut dengan apa yang dilakukan Elena. Tanpa perlu berkata-kata lagi, Elena berjalan menuju pintu keluar. Membuat Alan bingung harus berbuat apa, begitu melihat cek darinya disobek. Ketika Elena sudah sampai tepat di depan pintu, ia terhenti. Ia kembali menoleh ke arah Alan. "Ternyata benar selama ini kata orang-orang. Pak Alan adalah orang yang sangat egois! Menghalalkan segalanya dengan uang!" Setelah berkata begitu, Elena kembali melanjutkan langkahnya. Ia membuka pintu kantor Alan. Setelah keluar, Elena menutup kembali pintunya dengan sangat kencang. Alan hanya melihatnya. Begitu Elena sudah keluar, ia menggeser dokumen-dokumen yang berada di atas mejanya, sehingga jatuh berantakan di lantai. Setelah itu, ia mengacak rambutnya menjadi berantakan. Alan sendiri juga merasa sangat marah dan kesal akan masalah yang ia hadapi ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD