SKWAC ¦ Chapter 2 √

1313 Words
Rose membawakan dua cangkir teh yang sudah ia seduh beberapa saat lalu untuk suaminya dan Dafa. "Di minum, Daf," ucap wanita menginjak kepala lima itu. Dafa mengangguk singkat, "Terima kasih, tante," balasnya. "Dafa akan tinggal bersama kita selama dia di sini, Ma," terang Stev memberitahu Rose, istrinya. Rose menolehkan kepalanya, "Oya?" sahutnya seolah tadi tak sempat mendengar apa-apa. "Kalau tante boleh tahu kamu ada maksud apa datang ke Aussie, Daf?" tanya Ros yang kini sudah menatap Dafa sepenuhnya. Dafa merasa tante Rose sedikit berubah. Apa ini karena dirinya pernah menyakiti Vivian? Entahlah, hanya saja Dafa merasa sedikit terintimidasi. Dafa menggenggam tangannya dengan erat. "Karena aku mau ketemu Vivian, tan," lebih baik jujur dari pada banyak bicara, pikir Dafa. Saat ini dia benar-benar membutuhkan dukungan dari orang tua Vivian, setidaknya sampai Dafa benar-benar merasa yakin untuk siapa perasaannya ini. Ck. Dafa masih saja ragu. Padahal ia nekat datang ke sini hanya demi menemukan Vivian. Rose menganggukan kepalanya saat mendengar jawaban Dafa. Ia melirik Stev dengan tatapan yang sedikit aneh. "Pa kita perlu bicara," ucapnya. Hal itu jelas membuat Dafa sedikit gemetar. Dafa sangat yakin tujuan tante Rose ingin mengajak Om Stev bicara ada hubungannya dengan kedatangannya ini. Dafa menelan ludahnya dengan susah payah, tapi ia tak bisa melarang ketika sepasang suami istri itu meninggalkannya. Entah kenapa Dafa merasa akan banyak sekali rintangan yang menghadang ke depannya. Seharusnya dirinya sudah siap untuk ini. Perbuatannya pada Vivian beberapa waktu belakangan memang keterlaluan. Andai saja Dafa menyadari lebih awal efek perginya Vivian dari hidupnya akan seperti ini, mungkin Dafa tak akan menyakiti Vivian terlalu dalam. Bahkan Dafa akan menjaganya dengan baik. Namun, penyesalan selalu datang belakangan. Vivian sudah terlanjur tersakiti, sementara Dafa hanya bisa menyesali dan mencoba memperbaiki. "Mama!" Degup jantung Dafa terdengar begitu cepat saat mendengar teriakan itu. Ketika ia menolehkan kepala, segala sesuatu yang ada disekitarnya mendadak membeku. Vivian ada di sana, terdiam sama sepertinya. Atmosfer di antara mereka tampak canggung dan penuh kegugupan. Apa lagi ketika Dafa menggerakan tubuhnya untuk berdiri dari duduknya. Vivian tampak menggenggam tangannya dengan erat. Terlihat gugup sama seperti yang sedang Dafa rasakan. Dafa melarikan matanya tepat ke belakang Vivian, mencoba mengenali lelaki yang datang bersama mantan tunangannya itu. Namun, Dafa tidak mengenalinya sekeras apapun dia berusaha. Sementara itu, mungkin Vivian sedang berteriak dalam benaknya. Lelaki yang selama ini telah menyakitinya tepat berada di depannya, sedang menatapnya dengan lekat. Vivian merasa seluruh pertahanannya akan runtuh bila saja ia tak mendengar suara ibunya, Rose. "Vi," lantas Vivian menoleh dengan cepat. Mengalihkan pandangannya dari Dafa yang masih saja tercengang. Rose mendekati Vivian sambil tersenyum. Ia juga dengan sengaja mendekati Teo seolah Teo orang asing yang sudah dirinya kenal sejak lama. "Kalian baru datang? Ayo duduk. Teo, tante kenalin sama Dafa," ucap Rose dengan tenang. Vivian mengerutkan dahinya. Vivian merasa ada yang aneh dari mamanya itu. "Vi, Papa mau bicara sebentar," ucap Stev menarik tangan Vivian dengan cepat saat perempuan itu bermaksud mengikuti langkah kaki Rose yang telah menggandeng Teo. "Ada apa, Pa?" tanya Vivian ketika dia berdua saja dengan Papanya. Stev menghela napasnya dengan berat. "Mama kamu kayaknya sebel sama Dafa," ucap Stev memulai pembicaraan. Vivian mengangguk dengan tenang. Tentu saja mamanya membenci Dafa setelah apa yang pernah Vivian ceritakan tentang kelakuan lelaki itu dulu. Hati Vivian saja merasa sangat sakit, apa lagi mamanya, wanita yang telah melahirkannya Dua Puluh Lima tahun yang lalu itu. "Mama kamu mau balas sikap Dafa dengan cara jodohin kamu sama Teo." "What?" pekik Vivian setelah mendengar ucapan Stev yang menurutnya tidak masuk diakal. "Tapi Pa, Teo itu.." "Papa juga sudah bilang. Tapi Mama kamu maunya gitu," potong Stev dengan cepat saat Vivian akam menjelaskan kenapa Teo tak bisa dijodohkan dengannya. Ck. Mamanya ada-ada saja. Lagi pula apa untungny bagi mereka? Memangnya Dafa peduli jika dirinya dijodohkan dengan lelaki lain? Dafa itu cinta mati pada Kamanda. Tak ada tempat yang tersisa untuk Vivian. Vivian mengedikan bahunya, "Vivian nggak mau ikut campur. Sebisa mungkin Vivian nggak mau berurusan sama yang namanya Ardafaza Prangestu." ketegasan yang Vivian tampakan membuat Stev menghela napasnya dengan berat. Anak dan istrinya itu sama-sama berhati lembut, tapi juga keras kepala jika sudah tersakiti. Stev hanya khawatir keduanya akan terluka pada akhirnya. Namun, tak ada yang bisa dirinya lakukan selain mengikuti alur yang istrinya inginkan. Lagi pula jika Vivian memang tidak ingin berurusan dengan Dafa lagi, justru rencana ini cukup bagus untuk membuat Dafa kembali ke Indonesia. "Kalau gitu kamu iyain aja semuanya. Ayo kita keluar," Keduanya keluar untuk menemui Rose, Dafa dan juga Teo. Wajah tegang Dafa dan terkejut milik Teo menjadi hal pertama yanh Vivian lihat ketika mereka sampai di ruang tamu. Bisa Vivian tebak, mamanya sudah memulai kepura-puraannya itu. Tak ada yang bisa Vivian lakukan selain mengikuti permainan mamanya. Lagi pula ini tidak akan berlangsung lama. Semua permainan akan usai ketika Dafa kembali ke Indonesia besok ataupun lusa. "Kenapa Sayang?" tanya Vivian pura-pura menjadi pacar Teo. Lelaki itu mengerutkan dahi, senyumnya menggantung di wajah yang tadi sempat terkejut. Rupanya, lelaki itu cepat memahami bahwa mereka sedang berpura-pura. Teo melambaikan tangannya agar Vivian mendekat. "Kamu kok nggak cerita? Tante bilang ini mantan tunangan kamu?" dengan sengaja lelaki itu menekan dua kata yaitu mantan tunangan agar Dafa merasa kesal sendiri. Seperti yang Teo katakan, Rose sudah mengenalkan keduanya-Dafa dan dirinya sendiri. Rose memperkenalkan Dafa sebagai mantan tunangan Vivian, sementara Teo dikenalkan sebagai lelaki yang dijodohkan dengan Vivian. Sudah terlanjur, Teo akan mengikuti permainan tante Rose. Nanti dirinya akan menanyakan secara langsung maksud dari kepura-puraan ini. Teo senang-senang saja dikenalkan sebagai pacar Vivian, apa lagi ini untuk membalas sakit hati yang pernah Vivian rasakan gara-gara Dafa. Menurut Teo, ini adalah waktu yang tepat untuk membuat Dafa merasakan hal yang sama. Paling tidak membuat Dafa sadar bahwa Vivian bisa hidup tanpanya. "Erggg iya, Dafa pernah menjadi tunangan aku sebentar," ucap Vivian sambil menghampiri Teo. Dia duduk tepat di sebelah lelaki itu. "Nggak apa-apa kan, Sayang? Gimana pun juga Dafa pernah jadi teman paling baik untukku. Dia juga sering datang ke sini sewaktu kami kuliah dulu," terang Vivian sekaligus menyindir status Dafa yang dulu. Vivian tampak begitu meyakinkan, seolah ia dan Teo benar-benar memiliki hubungan yang spesial. Teo juga melakukan hal yang sama. Lelaki itu begitu mendalami perannya. "Nggak apa-apa, yang lalu biarlah berlalu," balasnya sambil menyampirkan tangan ke pundak Vivian. Membuat perempuan itu melirik tajam tangannya. Namun, Teo tidak peduli. Salahkan saja tente Rose, dia yang membuat Teo berperan sebagai pacar Vivian. Sebagai seorang pacar yang mencintai Vivian, maka sentuhan seperti ini bukan suatu masalah besar. Sementara itu, Dafa merasa pundaknya sedang menahan beban yang berat saat melihat kedekatan Vivian dan Teo di depannya. Baru seperti itu saja Dafa sudah menyadari bahwa dia benar-benar mencintai Vivian dan tak suka melihat Vivian bersama lelaki lain. Segala penyesalan bercokol dalam hatinya, rasa takut akan pilihan Vivian menyelimuti diri Dafa. Dia tak akan sanggup melihat Vivian menikahi lelaki lain. Dafa terkesiap saat Vivian mengalihkan tatapan padanya. Tatapan itu jauh berbeda seperti dulu. Vivian tampak dingin dan tak tersentuh. "Jadi, apa yang membawa seorang chef Dafa ke rumah ini?" tanya Vivian dengan santai. Seolah yang dirinya hadapi bukan Ardafaza Prangestu, lelaki yang dulu dia kejar hingga lelah. Dafa tersenyum lembut untuk membalas tatapan tak bersahabat dari perempuan itu. "Kamu mau tahu apa yang buat aku datang ke sini?" Vivian mengerutkan dahinya saat mendengar Dafa balik bertanya. Meskipun sedikit ragu, Vivian menganggukan kepalanya juga. Dafa semakin melebarkan senyumnya setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. "Vivian Lasyana Putri." kemudian tanpa ragu, Dafa menyebut nama Vivian dengan jelas, menunjukan tujuannya ke sini adalah untuk perempuan itu. Untuk membuat Vivian kembali ke dalam pelukannya. Pupil mata Vivian membesar. Sekalipun Dafa menyebut nama lengkapnya tanpa ragu, tapi Vivian tidak paham apa yang sebenarnya Dafa inginkan setelah ribuan jarum lelaki itu sematkan pada hatinya. Ruangan semakin hening ketika suara Dafa dan Vivian juga ikut mereka pendam usai Dafa menjawab pertanyaan Vivian dengan jelas. Keduanya hanya saling menatap, yang satu tatapan dingin, sementara yang lain menatap penuh harap. . . Bersambung. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD