SKWAC | Chapter 3 √

1186 Words
*** Masih di posisi yang sama, Dafa duduk pada tempatnya. Vivian pun sama saja. Dia masih terduduk tepat di sebelah Teo. Tangannya ia genggam dengan erat kala Dafa tak juga mengalihkan tatapannya. Vivian yang harus mengalah jika tak ingin Dafa mengetahui apa yang sedang dirinya rasakan kini. Lelaki itu seolah sengaja membuat Vivian untuk terus menatapnya. Vivian berdehem dengan lembut, dia enggan mengeluarkan suara lebih dari itu, tetapi tak mungkin dirinya terus menutup mulut seperti ini. Vivian mengalihkan perhatiannya pada kedua orang tuanya. "Ma, Pa, Teo harus pulang. Kakeknya butuh bantuan untuk mengelola restoran," ucap Vivian secara asal. Itu adalah cara satu-satunya yang mampu terpikirkan oleh otaknya untuk mengalihkan pembicaraan. "Iya kan, Sayang?" mata Vivian berkedip agar Teo mengiyakan apapun yang dirinya katakan. Teo menggerakan mulutnya, memprotes apa yang baru saja Vivian katakan. Namun tak ada yang bisa Teo lakukan selain menganggukan kepalanya dengan canggung. "Ahh iya, Kakek pasti sudah lama menunggu," ucap Teo sedikit berat. Teo pikir Vivian telah salah langkah. Tak seharusnya Vivian mengusirnya sekarang juga. Kekesalan Teo semakin memuncak saat Vivian berdiri dalam sekejap. "Ayo! Aku antar sampai depan," ajak Vivian sambil mengulurkan tangan, meminta Teo menyambutnya. Astaga! Teo ingin sekali menarik rambut Vivian sekarang juga. Memangnya apa yang otak kecil perempuan itu rencanakan? Ck. Teo sangat yakin Vivian telah salah memilih keputusan. Teo bertanya-tanyan, kira-kira apa yang akan Vivian lakukan setelah ia pulang nanti. "Kamu ngusir aku, Vi?" Teo menyimpan tangannya di depan d**a dan mengutarakan tanyanya saat mereka sudah berada di luar. Vivian berdecak sebal, dia menarik Teo dengan cepat. "Sini!" ujarnya. "Sebaiknya kamu pulang. Ide Mama nggak masuk akal nih, Dafa nggak ada takut-takutnya." ucap Vivian sedikit khawatir. "Kamu khawatir sama apa yang akan Dafa lakukan selanjutnya atau khawatir sama perasaanmu itu?" sindiran Teo tepat sasaran. Vivian merasa hatinya bergejolak hanya dengan mendengar pertanyaan itu. "Nggak! Bukan karena itu, aku hanya bingung tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Dafa pasti akan menetap di rumah kami," Vivian menyanggah apa yang Teo tuduhkan. Namun, dia tak salah tentang Dafa yang akan menetap di rumahnya. Teo mengangguk setuju. "Gimana kalau kita tunangan beneran?" "Teo!" ujar Vivian pada lelaki itu. Vivian melotot, "Usul macam apa itu?" bentaknya. Teo tergelak, "Dasar Galak!" ujarnya. "Dasar Gila!" balaa Vivian tak mau kalah. Teo masih saja tergelak. Dia menghentikan tawanya setelah mendengar deheman. Dengan cepat Vivian menarik Teo untuk berada di sampingnya. Dia terkekeh melihat siapa yang baru saja datang. "Teo sebentar lagi pulang," ucapnya. Ardafaza Prangestu menarik sudut bibirnya. "Ohh," hanya itu yang keluar dari mulutnya. Vivian heran sendiri kenapa Dafa ikut keluar jika hanya ingin mengatakan itu. Apa Dafa bermaksud memeriksanya? Vivian jadi bertanya-tanya. "Sayang," Vivian tak salah mengartikan ketika ia mendengar Teo sengaja menekan panggilan itu. Vivian melotot saat Teo menariknya lebih dekat, lantas menyematkan kecupan singkat di keningnya. Karena Vivian tak bisa menunjukan kekesalannya terlalu jelas di depan Dafa, terpaksa perempuan itu mengganti pelototannya dengan kekehan. Dengan sengaja Vivian menepuk d**a Teo sedikit keras. "Hati-hati pulangnya," jika saja Dafa sadar, Vivian baru saja menggeram kesal pada Teo. "Jangan nakal ya, dear," ucap Teo sengaja membuat Vivian kesal. Vivian mencoba menertawakan Teo meski perasaannya sungguh kesal pada lelaki itu. "Sana pulang!" Vivian tidak main-main dalam meneriakan itu. Dia bersungguh-sungguh karena sikap Teo masih sama menyebalkannya seperti dulu. "Kalian terlihat akrab, alih-alih mesra," itu sebuah kritik dari Dafa. Kerutan di dahi Vivian muncul ketika mendengarnya. Dia menoleh setelah memastikan Teo pergi dengan mobilnya. "Maksudmu?" pura-pura tak tahu apa maksud Dafa adalah jalan terbaik untuk menghindari apapun yang sedang lelaki itu pikirkan. Dafa mengedikan bahunya. "Aku maklumi itu karena kalian belum lama saling mengenal," jujur saja, Vivian ingin tertawa mendengar apa yang baru saja Dafa katakan. "Bukannya kami tampak akrab?" entah kenapa Vivian kembali mengulang apa yang tadi sempat Dafa katakan dan ingin Vivian abaikan. Vivian hanya ingin tahu apa reaksi dari lelaki itu. "Akrab, tapi bukan seperti orang pacaran," gelak tawa Vivian terdengar begitu keras. Astaga kenapa mata Dafa tepat sasaran? Padahal Vivian dan Teo sudah bersandiwara dengan maksimal. Bahkan, Vivian membiarkan Teo mencium dahinya sembarangan. Astaga! Sia-siakah itu? "Kami memang tidak pacaran, tapi saling menyayangi," balas Vivian dengan sangat percaya diri. Vivian yakin Dafa menyadari kejujuran itu, karena Dafa tidak mengatakan apa-apa selain menatap kecewa padanya. Vivian sangat terganggu dengan tatapan itu. Dia segera mengalihkan matanya ke samping agar terhindar dari tatapan Dafa. Kemudian, perempuan berperawakan tinggi itu pura-pura melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Upsss aku juga harus kembali ke restoran," ucapnya. Hal itu membuat Dafa mengerutkan dahinya. "Kamu kerja di restoran Teo?" tanya Dafa tampak penasaran. Namun, Vivian menggelengkan kepalanya. Salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Aku punya restoran kecil nggak jauh dari sini," terangnya. Dafa menghembuskan napasnya dengan lega. Dia bersyukur Vivian tidak bekerja bersama Teo. Tak akan ada peluang baginya untuk mendekati Vivian bila mantan tunangannya itu bekerja di restoran milik Teo. "Syukurlah," gumamnya. "Sorry?" Vivian tak mengerti apa yang Dafa gumamkan. Dafa menggeleng pelan, "Ayo masuk dulu, kamu perlu nunjukin kamarku," Dafa menelengkan kepalanya ke arah dalam. "Aku harus pergi," ucap Vivian menolak ajakan Dafa. Ck. Dafa berdecak, "Untuk seorang teman di masa lalu kamu, Vi, apa iya kamu nggak mau?" rasanya tepat ketika dirinya menggunakan itu untuk membuat Vivian mengurungkan niatnya. "Tapi aku..." "Ayo!" ujar Dafa yang langsung menarik tangan Vivian hingga perempuan itu terpaksa mengikuti ke mana Dafa pergi. "Tente, Om, Vivian mau nunjukin di mana kamarku," ucap Dafa tanpa pikir panjang. Padahal Rose kesal sekali padanya. "Ohhh iya silakan. Kamar tamu yang berada tepat di samping kamarmu akan jadi kamar Dafa selama dia di sini," Rose semakin kesal ketika suaminya mendahului. Padahal dia akan bersikap kejam pada Dafa dengan menempatkannya di kamar tamu paling ujung agar tak ada kesempatan bagi Dafa untuk merayu anaknya. "Terima kasih, Om," ucap Dafa. Setelah dia mengambil tasnya, dia segera menarik Vivian untuk menuju kamarnya. Dafa tak memerlukan Vivian sebenarnya karena ia masih sangat hafal di mana kamar Vivian. Namun, ini bisa Dafa gunakan untuk membuatnya kembali dekat dengan Vivian. Klik. Suara pintu yang dikunci dari dalam membuat Vivian membolakan matanya. Dia dan Dafa baru saja sampai di kamar tamu yang kini menjadi kamar Dafa beberapa detik lalu. "Kenapa pintunya di kunci?" sinis Vivian pada Dafa. Dafa terkekeh, "Kenapa? Takut?" tanya lelaki itu. Vivian membalasnya dengan kekehan pula. "Untuk?" dia balik bertanya. "Jatuh cinta padaku lagi," Vivian memutar bola matanya. Bagaimana mungkin Dafa bisa berpikir seperti itu? Memang mudah bagi Vivian untuk jatuh cinta pada Dafa, tetapi mengingat apa yang pernah Dafa lakukan padanya dulu membuat Vivian sadar dia tak boleh terjatuh pada orang yang sama. Dia tidak bisa membiarkan hatinya terluka lagi oleh orang yang sama. "Jangan kekanakan, Daf! Buka pintunya!" ujar Vivian dengan tegas. Namun, Dafa mengabaikan itu. Alih-alih membuka pintu, Dafa justru menggoda Vivian dengan cara mendekatinya. Vivian mundur. "Apa yang sedang coba kamu lakukan, Daf?" bentaknya. "Mendekatimu?" Dafa menjawab pertanyaan Vivian dengan pertanyaannya. Lelaki itu memperhatikan Vivian dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya. "Kamu semakin cantik, Vi. Ternyata benar kata orang, kalau sudah jadi mantan baru cantiknya kelihatan," bola mata Vivian melotot saat mendengar itu dari mulut Dafa. Astaga! Dia harus menciptakan benteng baru agar tak terpengaruh pada ucapan Dafa yang terdengar manis di telinganya. . . Bersambung. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD