10~ Anak vs Emak

1039 Words
Hari ketiga. "Pagi, pengantin baru," sapa Andini pada putri yang menghampirinya di dapur. "Apaan sih, Ma?!" Mita menyahuti sapaan, berdiri di samping meja tempat ibunya sibuk mengolah bahan masakan. Andini memindai tubuh sang anak dari atas hingga bawah. "Mama ngapain sih? ngeliatin anaknya kayak gitu banget," tanya Mita sambil melangkah masuk ke dapur dan mengambil gelas yang kemudian diisi dengan air putih. "Kamu belum mandi?" tanya Andini. "Belum," jawab Mita sambil membawa gelas berisi air putih itu menuju meja makan. "Aku lagi datang bulan," imbuhnya sebelum sang ibu melayangkan pertanyaan lain. "Sini! Kamu bantu mama masak," pinta wanita paruh baya itu. "Males lah, Ma," tolak Mita, "Mama 'kan tau aku gak suka masak." "Tapi kamu sekarang sudah punya suami, Sayang." "Apa hubungannya?" "Ya kamu harus belajar masak biar bisa nyiapin makanan untuk suami kamu," jawab Andini. "Wira juga bisa masak," sahut Mita. Andini yang sedang mengiris bawang merah—berhenti kemudian menatap putranya yang berada di depan. "Lalu? Kamu mau biarin suami kamu yang masak?" "Iya. Biarin aja dia yang masak," angguk Mita dengan santai. Andini yang masih berada di dapur, menghampiri sang anak yang tengah duduk di kursi makan dan langsung menjewer telinganya. "Dasar kamu ini, ya, sudah menikah bukannya mikir." "Adududuh ... ampun! Ampun, Ma! Sakit!" Mita menjerit sambil memegangi tangan sang ibu yang masih menarik daun telinganya. "Sakit, Ma. Lepasin kuping aku! Aw sakit!" "Makanya kalau dibilangin sama orang tua itu nurut!" Andini masih saja mengomel tanpa mai melepaskan telinga sang anak. "Sakit, Mama!" "Eh! Astagfirullah ... Ma tolong, Ma. Lepasin Mita. Kasian." Wira menghampiri saat keluar dari kamar dan mendapati kericuhan. "Biarin! Biar dia belajar dewasa. Dikasih tau sama orang tua malah bantah terus," balas Andini, belum ingin melepaskan telinga anaknya. "Ma ... tolong lepasin istriku. Biar nanti aku yang bicara sama dia, ya?" bujuk Wira. Andini akhirnya menjauhkan tangannya dari sang anak. "Kamu gak apa-apa?" tanya Wira sambil menarik tangan sang istri dan memeriksa telinganya dengan cemas. "Sakit, Ra. Mama nariknya kencang banget," adu Mita, merengek. Padahal ibunya tidak begitu kuat menarik daun telinganya. Pria itu mengusap daun telinga sang istri yang sedikit me'merah. "Ngadu lah tuh! Orang mama juga nariknya pelan-pelan," kilah Andini. "Kenceng tau! Kuping aku sampai mau copot rasanya," balas Mita, tidak mau mengalah. "Ini ada apa sih? Pagi-pagi kok udah ribut." Rama yang sedang fokus membaca berita melalui laptop, akhirnya keluar karena mendengar keributan. Mita langsung menghampiri saat mendengar suara ayah, bergelayut manja di lengangnya. "Papa ... mama tuh, jewer aku lagi." "Pasti kamu yang mulai deh. Makanya, papa bilang juga apa, nurut kalau mama kamu suruh," sahut Rama. "Ah, Papa mah gak asik," sebal Mita sambil menjauhkan diri dari sang ayah. "Memang mama nyuruh kamu apa?" tanya Rama. "Masak. Katanya aku harus belajar masak karena udah punya suami," jujur Mita. "Kalau gitu papa setuju sama mama kamu. Kamu memang harus belajar masak." "Tapi Wira gak pernah minta aku harus bisa masak setelah menikah,'' balas Mita. "Kamu ini! Sama suami gak sopan banget manggil nama," sambar Andini. "Lalu aku harus panggil apa, Ma? Ribet banget deh. Urusan panggilan aja padahal. Orangnya aja gak protes tapi mama yang sibuk sendiri." "Astagfirullah ... anak ini. Bener-bener deh." Andini yang kesal segera mendekati anaknya. Mengetahui hal itu, Mita menjerit sambil tertawa. Dengan cepat ia menghidar, berlindung di balik punggung suami. "Sini kamu! Mama jewer lagi. Yang kenceng sekalian kalau perlu." Andini berusaha meraih tangan sang anak tetapi Mita berhasil menghindar. "Sayang, sudah!" Rama menarik tangan sang istri. "kamu juga, udah tau anaknya kayak gitu malah diladenin." "Games aku, Mas, sama anak Mas yang satu itu. Ini juga gara-gara Mas yang suka manjain dia sejak kecil," omel Andini. "Aku yang salah?" Rama menunjuk dirinya sendiri. "Iya lah. Masa aku?" Pria paruh baya itu terkekeh. "Kalau anak kita menurut kamu itu suka bikin gemes, itu karena kamu juga kayak gitu," ujarnya sembari mencubit pekan kedua pipi istrinya. "Udah, mending kamu siap-siap. Kita pulang." "Pulang?' "Iya!" "Sekarang?" "Iya, Sayang ... lagian kita juga ngapain di sini? Anak baru nikah kok malah dikintilin. Mereka juga butuh privasi. Kamu ini ada-ada aja," sabut Rama, sebenarnya sejak kemarin ia sudah menolak ajakan istri untuk menginap di sana tetapi wanita itu memaksa. "Tapi, Mas—" "Kita pulang!" tegas Rama, tidak ingin lagi mendengar bantahan. Andini diam. Meski ia tahu suami mencintainya dan selalu mengikuti setiap keinginan, tetapi ia pun tahu kapan ia bisa memuaskan kehendak dan kapan harus menurut. "Tau nih, Mama. Kayak gak pernah muda aja. Orang aku sama Wira baru juga nikah, pengennya berduaan tapi mama malah gangguain. Iya 'kan, Ra?" sambar Mita sembari memeluk suaminya dari samping, melingkarkan kedua tangan di pinggang dan membuat pria itu merangkul bahunya. Ia menengadah menatap wajah suami. Wira balas memandang dengan sebelah alis terangkat saat melihat istri mengedipkan sebelah mata sebagai isyarat untuknya. Diam untuk beberapa detik pertama hingga membuat istrinya gemas sekaligus cemas. Tetapi akhirnya tersenyum sambil berkata, "Iya." Namun di detik berikutnya Mita terbelalak saat pria itu mengecup singkat pipinya sembari melempar senyum. Wanita itu diam membeku untuk beberapa saat, hanya kelopak mata saja yang dua kali berkedip dengan cepat diiringi oleh debaran jantung yang tidak menentu. "Mita! Sudah mama bilang, jangan panggil suami kamu dengan nama begitu!" Suara sang ibu membuat Mita kembali pada kesadaran. Gegas ia melepaskan tangan dari memeluk suaminya. Berusaha menguasai kesadaran meski masih terlihat salah tingkah. "Mita! Kamu dengan mama 'kan?" Andini kembali bersuara. "Iya, Mama. Aku dengar," angguk Mita, memilihkan mengalihkan pandangan dari siapapun yang ada di sana untuk menyembunyikan pipinya yang sudah dihiasi rona merah jambu akibat ulah suaminya. "Ya sudah. Cepat mama siap-siap. Kita pulang sekarang sambil nyari sarapan di luar,'' tukas Rama lagi seraya menatap istrinya. Tanpa membantah, Andini beranjak meninggalkan tiga orang lainnya yang masih berdiri di antara ruang tengah dan meja makan. Mita mendekati sang ayah dan memeluknya. "Makasih, Papa." Rama mengusap kepala putrinya dengan sayang, mendaratkan kecupan di puncaknya. "Anak kesayangan papa ini 'kan sekarang udah punya suami. Jangan suka berantem terus sama mama kamu. Memangnya kamu mau? Kalau nanti punya anak dan anak kamu itu kerjaannya berantem sama kamu, kayak kamu sama mama." "Papa apa, sih? Kok jadi ngomongin anak." "Lho? Wajar dong kalau orang tua membahas soal anak dengan anaknya yang sudah menikah." Rama menatap anak dan menantu—bergantian "Kenapa? Apa ada masalah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD