Part 6 - Ingat Masa Lalu

1716 Words
Pandangan mata Fadli tak beralih dari laki-laki yang tak lain adalah Wafi. Dia sama sekali tak menyangka bila anaknya kini sedang mengalami sebuah perubahan. Tak ada yang diucapkan Fadli. Pikirannya hanya tertuju pada masa lalunya. *** Hartawan adalah laki-laki yang sangat kaya di kampungnya. Dia memiliki beberapa hektar perkebunan teh. Semua orang di kampung sangat segan kepadanya. Hartawan seorang duda yang tak pernah mau menikah lagi, setelah sang istri meninggal dunia. Orang di sekitar memanggilnya dengan pak Wawan. Banyak sekali orang sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pak Wawan. Mata pencaharian mereka tak lain adalah kebun teh milik juragan Wawan itu. Pak Wawan yang tinggal seorang diri, dia harus merelakan sang anak untuk menempuh pendidikan di kota. Pak Wawan rela berpisah dengan anaknya demi sebuah cita-cita yang diidamkan. Pak Wawan akan bertemu dengan putrinya satu bulan satu kali saja. Meski begitu, Pak Wawan tak merasa keberatan. Baginya hanya sebuah jarak yang memisahkan. Sejatinya tak ada satu hal yang dapat memisahkan hubungan batin antara keduanya. Pak Wawan yang sangat memanjakan anak semata wayangnya itu. Apa pun yang dikehendaki sang putri. Pak Wawan tak pernah menolak apa pun yang keluar dari mulut anaknya. Semua terkabulkan, seperti pesulap yang membacakan mantra. Lalu sekejap apa yang diinginkan sang putri akan ada di depan mata. Kurang dua bulan lagi, sang putri akan segera lulus dari jenjang SMA. Pak Wawan pun sangat sibuk untuk menyiapkan kelanjutan pendidikan sang anak. Selain itu, Pak Wawan memberikan iming-iming yang sangat mengagumkan. Jika putrinya bisa lulus dengan nilai terbaik. Maka pak Wawan akan membelikan sebuah mobil untuk anaknya. Hal itu seakan menjadi acuan semangat bagi putrinya. Pak Wawan ingin sang anak mendapat nilai yang bagus, agar apa pun yang telah dilakukannya bisa berbuah dengan manis. Sayangnya, Pak Wawan yang sudah mempercayakan semua bisnis pengelolaan kebun pada anak buahnya yang bernama Johan. Kala itu, Pak Wawan harus menelan pil pahit. Dia mengalami kebangkrutan. Semua hasil panen kebun teh diraup oleh Johan. Tak hanya itu, Johan sampai membuat surat kuasa palsu hingga seluruh tanah milik pak Wawan jatuh ke tangan Johan. Betapa pilu hati pak Wawan. Dia telah di tipu. Pak Wawan pun tak punya apa-apa. Bahksan saat tu, rumah yang ditempatinya pun harus disita bank karena hutangnya yang tak bisa terbayarkan. Dan bertepatan dengan itu, pak Wawan kembali menelan pil pahit lagi. Saat putri tunggalnya mengalami kecelakaan dalam hubungan percintaan. “Ayah, maafkan aku. Aku telah hamil.” Pak Wawan yang saat itu sedang berkemas. Dia sangat kaget mendengar apa yang dikatakan putrinya. Pak Wawan bak disambar petir di siang bolong. Dia sama sekali tak menyangka dengan apa yang dilakukan anaknya itu. “Kamu tinggal dua bulan lagi lulus, sekarang kamu bilang hamil.” “Maafkan Yanti, Pak. Yanti tidak sengaja melakukannya.” “Tidak sengaja bagaimana! Kamu itu sekolah, punya akal, mana yang baik dan mana yang buruk, kenapa kamu bisa ceroboh seperti itu, Yanti.” “Maaf, Pak. Yanti salah. Yanti bingung, Pak. Yanti takut.” “Bapak tak mau menganggap kamu sebagai anak bapak lagi. Pergi!” Pak Wawan yang diselimuti kemarahan yang sangat menggebu. Seolah sudah berada di ubun-ubunnya. Hatinya kini hancur, remuk redam seperti pecahan piring yang berkeping-keping. Jatuh berserakan dan seperti tak berguna lagi. Riyanti menangis, merintih penuh penyesalan. Dia laksana dalam jurang yang begitu terjal, tak ada yang menemani. Rasa yang begitu menyibak seluruh hatinya. Dia tak bisa dengan mudah untuk bisa menerima apa yang kini menjadi konsekwensi dari perbuatannya itu. Mata Riyanti sembab tak karuan. jeritan hatinya seolah tak terdengar. Air mata terkuras habis, hingga dia seolah tak bisa bernapas. Di depan rumahnya, sang ayah memintanya untuk pergi jauh. Pak Wawan dalam emosi yang berkbar seperti api menyala. Riyanti, menyembah sujud di kaki ayahnya. Ingin dibukakan seribu samudera kemaafan. Tapi sayangnya, pak Wawan seperti tak punya cahaya lagi. Rasa terkejut teramat dalam itu, membuatnya mengalama serangan jantung. Kali itu, di rumahnya masih ada sosok laki-laki yang selalu setia menemani pak Wawan. Bisa dibilang, dia adalah tangan kaki pak Wawan. Saat kejadian itu pula, sosok laki-laki yang teramat pendiam dan peduli. Dia yang melihat majikannya tergeletak lemah itu, segera dibopongnya untuk dibawa ke rumah sakit. Riyanti tangisannya semakin menjadi-jadi. Dia merasa sangat tertampar dengan apa yang ada di depan pandang matanya itu. Ayahnya telah kesakitan, semua kesengsaraan itu datang bersamaan tanpa permisi. “Fadli, sa-ya ti-tip Yanti, ni-ka-hi di-a.” Ucapan itu keluar dari mulut pak Wawan. Saat berada di dalam mobil ambulance. Fadli dan Riyanti yang sedang membersamai laki-laki paruh baya itu pun hanya diam tanpa berkata apa pun. sedangkan Riyanti terus dalam tangisan yang menggebu. Selang beberapa detik kemudian, Tuhan seolah kembali membuat Riyanti untuk tidak berhenti menangis. Sang ayah tiba-tiba saja memejamkan matanya. Sekujur tubuhnya dingin tak bergerak. Perjalanan menuju rumah sakit belumlah sampai pada tempat tujuan. Sayangnya, dalam perjuangan untuk bisa mendapatkan pertolongan itu, Pak Wawan harus menghembuskan napas terakhirnya. Dia tak tertolong. Pak Wawan pun hanya sebatas nama yang penuh dengan kebaikan-kebaikannya. Batu nisan dengan nama Hartawan pun menghiasi tempat peristirahatan terakhir bagi ayah Yanti. Banyak sekali warga yang mengantarkannya ke pemakaman. Kebaikan pak Hartawan membuat banyak orang sangat menyeganinya. Ada hal yang membuat satu laki-laki merasa sangat memikul beban yang berat. Dia adalah Fadli, permintaan terakhir dari majikannya itu, membuatnya sulit sekali untuk bernapas. Dia tak tahu bagaimana bisa menghidupi Yanti. Perempuan yang biasa dengan kemewahan. Kini dia harus terjun payung dengan harta yang sudah tak ada. Ayahnya telah gulung tikar. Tak ada satu pun harta yang tersisa. Bahkan rumah pun telah melayang. Yanti merasa sendiri. Kedua orang tuanya kini telah pergi dari dunia. Tak ada lagi yang memeluknya dan memberikan kecupan sayang kepadanya. Rintihan tangis terus saja membahana di atas gundukan tanah yang basah. Yanti seolah tak ingin beranjak dari tempat itu. “Yan, hari sudah hampir gelap. Lebih baik kita pergi.” Yanti seolah tak mempedulikan apa yang dikatakan Fadli kepadanya. Dia terus saja menangisi kepergian sang ayah. Tiada hal yang menyakitkan, selain ditinggal oleh orang yang paling disayang. Yanti seolah tak ada lagi harapan untuk bisa diperjuangkan. Dia dalam jalan buntu, tak tahu ke mana kakinya akan melangkah. Dia terhimpit keadaan, membuat dirinya jatuh dalam kepiluan yang teramat dalam. Tubuhnya terasa kaku, dan tiba-tiba saja kepalanya pening dan berat, Yanti tergeletak di samping makam ayahnya, dia tak sadarkan diri. *** Pernikahan terjadi, tanpa adanya cinta di antara keduanya. Fadli yang kini harus benar-benar menanggung beban yang tak biasa. Dia harus menghidupi dua wanita. Ibu dan istrinya. Fadli tak bisa melihat Yanti yang sebatang kara tanpa siapa pun. Amanah dari sang majikan telah ditunaikan. Semunggu setelah kepergiannya. Yanti yang masih belia itu, harus menerima kondisi yang sangat menyakitkan. Bahkan Yanti tak mau melanjutkan pendidikannya yang hanya kurang dari dua bulan itu. Fadli yang berusaha untuk menguatkan dan memberi semangat kepada Yanti. Namun, Yanti tak semudah itu bisa dibelokkan. Dia yang terhuyung kesedihan. Belum lagi janin yang di kandungnya akan semakin membesar. Yanti tak tahu lagi ke mana arah perjalanan hidupnya. Dia hanya diam saja dengan apa yang kini terjadi di depannya. Bahkan dia tak menyangka kalau sudah menyandang sebagai istri dari Fadli. Tak ada cinta sama sekali di hati Yanti. Dia hanya ingin anaknya lahir dan ada laki-laki yang akan mengakuinya. Diperlakukan biadab oleh sang mantan kekasih. Yanti merasakan trauma yang dalam. Ingatannya tentang siksaan batin itu terus saja menjulang tinggi. Bahkan setelah menikah dengan Fadli, Yanti selalu saja diam membisu di kamar. Tak ada yang dilakukan Yanti di rumah Fadli. Dia hanya menutup diri dan Fadli pun yang masih sulit menerima kenyataan bahwa dirinya telah beristri. Fadli pun tak bisa memaksakan keadaan. Dia membiarkan Yanti tidur dengan kamar terpisah. Fadli masih perlu menata hati. Bahkan kini dia harus mencari pekerjaan untuk menghidupi dua wanita yang tinggal bersamanya. “Dia istrimu, kamu kenapa tidur di kamar terpisah, nak.” “Fadli perlu waktu, bu. Dia juga masih berduka. Mungkin memang ada baiknya untuk sendiri dulu.” “Kamu salah, seharusnya kamu menghiburnya, menguatkannya agar dia bisa bangkit dan menerima takdir.” Nasehat sang ibu mengalir merdu. Fadli seolah merasa apa yang terjadi di hidupnya kini adalah sebuah mimpi. Dia tak tahu bagaimana mengakhiri mimpinya, sayangnya mimpi itu masih akan berlanjut, dan dia tak tahu ke mana arah perjalanan dari mimpi yang sedang dialaminya. *** Lamunan Fadli terbuyarkan seketika. Saat Wafi telah berada tepat di depannya. Pemuda itu jalan sempoyongan dan bahkan tak menyapa sang ayah. Dia langsung saja masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Fadli sangat terpukul hatinya. Jiwanya meronta dengan apa yang dilihatnya. Tak pernah Fadli mengajarkan hal yang buruk kepada anak-anaknya, namun kembali Fadli harus tertampar dengan ulah Wafi untuk yang kedua kalinya. Fadli tak menegur Wafi malam itu. Dia membiarkan Wafi masuk ke dalam kamarnya. Fadli menutup pintu ruang tamu. Kursi kosong itu menjadi pijakan tubuhnya. Fadli menarik napas panjang. Bebannya kini semakin nyata dan harus segera diselesaikan. Pikiran Fadli etrasa penuh dengan masalah-masalah yang silih berdatangan tanpa harus meminta ijin dulu kepadanya. Hutang di bu lurah belum juga dilunasi, uang sekolah kedua anaknya juga masih tertunggak. Fadli menelan ludah. Dia sudah kehilangan kendaraan bermotornya, untuk melunasi hutang sang istri. Kini belum lagi gizi calon bayi yang harus dipikirkannya. Malam memeluk Fadli dengan dinginnya yang menyertai. Fadli masih saja tak bisa memejamkan matanya. Seluruh beban kini berputar-putar dalam pikirannya. Dia berpikir keras untuk membuat beban-beban itu berkurang. Jarum jam terus berputar. Fadli menatap jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Fadli masih saja terjaga. Padahal esok, dia harus bangun pagi dan pergi ke sekolah. Fadli merasa ingin berlari kencang, namun dia seperti tertahan angin yang membuatnya seolah sulit untuk mulai menggerakkan kakinya. Fadli yang masih menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia berusaha menuju fatamorgana. Lelah yang dirasa menghantarkannya segera menuju alam maya dan bisa sedikit mengurangi rasa lelahnya yang teramat sangat menyiksa batinnya. *** “Pak, sudah pagi. Bapak tidak ke sekolah?” Suara itu terasa mengejutkan Fadli. Dia menatap Wafa dengan seragam lengkapnya. Fadli mencoba membelalakkan matanya yang terasa sangat berat untuk dibuka. “Wafa berangkat dulu, pak. Takut terlambat.” Tak ada yang dikatakan Fadli. Dia hanya terdiam dan kembali mengumpulkan tenaganya. Sembari melepas kepergian sang anak untuk pergi ke sekolah. Kedua mata Fadli segera menatap ke jam dindingnya. Terkejut sangat. Fadli hanya punya waktu lima belas menit untuk datang ke sekolah. Jika tidak, dia dipastikan akan terlambat dan tak bisa mengikuti upacara hari senin. Fadli membuang napas panjang, dan dia segera menuju ke kamar untuk tak membuang waktu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD