Sepulang sekolah. Fadli menunggu Rois yang masih belum selesai dengan tugasnya di kelas. Beberapa guru telah pamit terlebih dulu utnuk meninggalkan sekolah.
Satu persatu memberikan senyum pamit kepada Fadli yang masih saja berasa di kursinya. Fadli berhias senyum dan mendoakan kepada teman seprofesinya itu untuk hati-hati di jalan.
Sekolah sudah sepi, tak ada lagi penghuni yang tampak memadati bangunan yang kokoh itu. namun, maish ada dua insan yang kini sedang saling berbincang itu. Rois dan Fadli masih berada di kantor guru.
“Pak Fadli, ini uangnya.”
“Saya terima ya, pak. Saya pinjam dulu dan akan saya bayar sesuai dengan permintaan bapak agar bisa dicicil.”
“Iya, pak. Kalau begitu saya pulang dulu.”
“Silakan, Pak.”
Rois pun berlalu dari pandangan Fadli. Kini Fadli dihiasi senyum penuh kebahagiaan. Setidaknya perlahan dia bisa mengatasi masalah yang hadir dalam hidupnya. Fadli pun melangkahkan kakinya untuk meninggalkan sekolah.
Fadli berpikir untuk pergi ke rumah bu lurah. Dia ingin membayarkan dulu hutang sang istri. Daripada nantinya dia di rumah dan ketahuan Yanti jika dirinya membawa uang, dia takut Yanti akan memintanya.
Fadli pun sepertinya sangat yakin dengan langkah yang diambilnya. Dia kemudian melangkah dengan menatap lurus ke depan. Kemudian, hatinya seketika berbisik. Bahwa rumah Tama tak jauh dari rumah bu lurah.
Dia berencana sekalian menjenguk anak didiknya itu. Fadli pun membelikan satu kilo buah melon untuk Tama. Meskipun dia tahu, jika uang yang digunakan untuk membeli buah itu hanyalah uang yang dia pinjam dari Rois.
Fadli yang cukup jauh berjalan di bawah terik matahari yang memanggang kulitnya. Namun, semangatnya seolah seperti matahari yang terus berkobar sinarnya. Fadli merasakan letih dan kering tenggorokannya.
Fadli sudah melihat rumah bu lurah di ujung pandang matanya. Senyumnya pun kembali mengiringi langkahnya. Bahkan Fadli mempercepat langkah kakinya, agar dia segera sampai dan menyampaikan maksud kedatangannya.
Fadli mengetuk pintu pagar rumah bu lurah. Tak lama, sambutan hangat pun didapatkannya. Bu lurah keluar dengan senyum terpampang jelas.
“Pak Fadli, silakan masuk.”
“Terima kasih, bu.”
Fadli melangkah melewati pagar. Dia begitu sopan membawa dirinya. Fadli kemudian dipersilakan duduk oleh pemilik rumah. Fadli pun mengikuti dengan tetap memberikan senyumnya.
“Sebentar ya, pak. Saya buatkan minum dulu, pasti bapak haus, cuacanya panas soalnya.”
“Mohon maaf bu lurah, tanpa mengurangi rasa hormat saya, kebetulan hari ini saya sedang berpuasa.”
“Oh begitu, mohon maaf ya, Pak.”
“Tidak apa-apa, bu.”
“Pak Fadli luar biasa sekali.”
“Bu lurah terlalu berlebih, oh iya bu, kedatangan saya kemari, saya ingin membayar hutang istri saya.”
“Uangnya sudah ada, pak?”
“Sudah, Bu.”
Fadli kemudian membuka tasnya. Dan mengambil uang yang ada di amplop berwarna putih yang sudah disiapkannya tadi di sekolah. Fadli kemudian memberikannya kepada bu lurah.
“Saya terima ya, Pak.”
“Terima kasih ya, Bu. Mohon maaf jika kami baru bisa mengembalikannya.”
“Tidak apa-apa, Pak.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, bu.”
“Baik, Pak. Silakan.”
Fadli kemudian berdiri dari kursi. Dia tetap berhias senyum dengan kembali melangkah untuk berlalu dari rumah orang nomor satu sedesanya itu. Fadli kembali menyusuri jalanan. Kali ini, dia akan menuju ke rumah salah satu muridnya, dia adalah Tama.
Tak lama, pijakan kaki Fadli telah sampai di halaman rumah Tama. Fadli pun segera mengetuk pintu rumah Tama. Beberapa detik kemudian, seorang laki-laki membukakan pintu untuknya. Dia tak lain adalah ayah Tama.
“Pak Fadli.”
Ayah Tama pun merasa sangat terkejut dengan kehadiran sang lentera bagi anaknya itu. Ayah Tama kemudian mempersilakan Fadli untuk masuk ke dalam rumah dan menemui Tama yang sedang terbaring di tempat tidurnya.
Fadli melangkah dengan senyumnya yang tak pernah pudar. Dia kemudian duduk dekat dengan Tama. Mengelus kepala anak didiknya itu dengan penuh perhatian.
“Tama, bagaimana kondisimu?”
“Sudah mendingan, Pak.”
“Istirahat yang cukup, makan dan juga minum obatnya ya, supaya bisa beraktivitas kembali.”
“Iya, Pak.”
“Ini bapak bawakan buah melon untuk Tama, nanti dimakan, ya.”
Tama pun mengangguk dengan senyum yang mengiringi. Dia merasa senang gurunya datang untuk menjenguknya. Namun, tiba-tiba saja Tama ingat, saat dirinya perjalanan pulang diantar mobil sekolah, dia melihat anak gurunya itu sedang berada di jalanan.
“Pak, apa saya boleh mengatakan sesuatu?”
“Tentu saja, Tama mau bilang apa?”
“Tadi pas Tama diantar mobil sekolah untuk pulang, di jalan raya Tama melihat anak bapak, tapi Tama tidak tahu dia kak Wafa atau kak Wafi.”
“Tama tidak salah lihat?”
“Tidak, Pak. Karena tadi kakaknya berada tepat di jendela kaca mobil yang Tama tumpangi. Jadi Tama bisa pastikan jika itu anak bapak.”
“Tama tadi diantar pulang jam berapa?”
“Pokoknya Tama tidak ikut pelaharan kedua, Pak.”
“Dia bersama teman-temannya atau sendiri?”
“Cuma dengan teman yang memboncengnya saja, Pak.”
“Tama tidak melihat lagi di sekitarnya, mungkin ada juga teman anak bapak yang memakai seram sekolah yang sama?”
Tama menggeleng dengan cepat. Fadli mengernyitkan dahinya, seiring dengan menelan ludah. Jam kedua masih dalam jam sekolah. Jika anaknya berada di jalanan saat jam itu, pastinya anaknya sedang bolos sekolah.
Fadli tetap berusaha untuk tenang mendengar kabar yang kurang baik baginya. Lalu Fadli melihat jam tangannya, Fadli harus segera pulang. Dia takut, jika di rumahnya sudah menunggu anak-anak didiknya yang akan belajar bersama dengannya secara gratis.
“Tama, kalau begitu bapak pulang dulu, ya. Tama istirahat.”
“Baik, Pak. Terima kasih ya, Pak.”
“Sama-sama, Tama.”
Ayah Tama pun mengantarkan Tama ke depan. Ada sedikit beban yang mengganjal di hati ayah Tama. Dia merasa malu untuk mengatakan apa yang kini sedang mengganggu pikirannya. Namun, sepertinya ayah Tama butuh seseorang untuk bisa meringankan bebannya itu.
“Pak Fadli, bolehkan saya mengatakan sesuatu?”
“Tentu saja boleh, Pak. Silakan!”
Ayah Tama menarik napas panjang. Dia berusaha untuk mengambil celah terbaik untuk mengatakan apa yang dipendam dalam hatinya itu.
“Begini, Pak. Tama selalu mengeluh belajar matematika. Dan dia bilang di sekolah nilai matematikanya selalu kurang bagus, tolong bantu anak saya, pak.”
Fadli memandang kedua mata ayah Tama penuh keseriusan. Wajah yang sudah tak muda itu seolah penuh pengharapan di pundaknya. Fadli merasakan penuh apa yang kini sedang dialami lelaki di depannya itu.
“Saya akan berusaha yang terbaik untuk murid-murid saya, Pak.”
“Tolong, Pak. Tama itu di rumah rajin sekali belajar. Tapi jika waktunya matematika seolah semangatnya hilang, Pak.”
“Baik, Pak. Saya akan berusaha. Kalau begitu saya pamit, ya, Pak.”
Fadli keluar dari rumah Tama. Dia berjalan dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Lelah menyapa, namun Fadli harus tetap melangkah. Demi sebuah harapan yang harus diwujudkannya.
“Pak Fadli, tunggu!”
Suara ayah Tama kembali terdengar melengking di telinga Fadli. Membuat langkah kaki Fadli tehenti seketika. Fadli kemudian berbalik badan dan menatap ayah Tama penuh keseriusan.
Fadli melihat ayah Tama berjalan menutun sepeda ontelnya. Senyumnya tetap terhias mengiasi arahnya yang menuju tempat berdirinya Fadli di depan halaman rumahnya.
“Ada apa lagi, Pak.”
“Pak, tolong bapak pakai sepeda saya, ya. Saya tidak mau bapak kepanasan dengan berjalan kaki sejauh itu.”
“Tidak perlu, Pak. Saya kuat dan hitung-hitung olahraga.”
“Tolong, Pak. Jangan tolak pemberian saya. Saya ingin sepeda ini menjadi ladang pahala bagi saya.”
Ayah Tama meletakkan sepedanya. Lalu tanpa disangka dia bersujud di kaki Fadli. Membuat Fadli merasa sangat tak enak dengan apa yang dilakukan ayah Tama itu.
“Pak, tolong jangan begini. Bangunlah, pak!”
“Saya tidak akan bangun, sebelum bapak menerima pemberian saya ini.”
“Kalau saya terima sepeda bapak ini, nantinya bapak mengantar Tama ke sekolah naik apa?”
“Saya masih punya becak, pak. Saya mohon terimalah, Pak. Tolong!”
Fadli diam dengan mencoba menggulirkan pikirannya. Ayah Tama yang masih tetap bersujud di kakinya, membuat Fadli seolah terpojokkan keadaan. Hingga Fadli pun mengiyakan pemberian ayah Tama itu.
Senyum pun mengiri keduanya. Hingga Fadli kini sudah menerima sepada itu. Dan Fadli segera menaikinya untuk dibawa pulang. Ayah Tama pun seolah bahagia dengan apa yang telah dilakukannya itu.
***
“Sepeda siapa yang kamu pakai, Mas.”
“Ini dikasih ayahnya Tama, Yan.”
“Oh, ngasih kok sepeda ontel, harusnya minimal itu ngasihnya sepeda motor.”
“Jangan berkata begitu, tidak baik menolak rejeki.”
“Mas itu gimana sih, heran deh. Hari ini aku belum makan, karena aku sama sekali gak pegang uang.”
“Ini aku sudah beli beras dan beberapa keperluan dapur, kamu bisa memasaknya.”
“Memangnya sudah gajian?”
“Ada sedikit rejeki.”
“Aku minta uangnya.”
Fadli terdiam. Dia tak sanggup bila Yanti menodong dengan menengadahkan tangan kanan tepat dihadapannya. Namun, Fadli berusaha sebijak mungkin.
“Uangnya sudah aku belanjakan semua, jadi aku tak pegang uang sekarang.”
“Pelit banget sih mas, jadi orang. Aku ini lagi hamil anakmu, harusnya kamu selalu menuruti apa yang aku mau, bukan selalu memberikan kepedihan untukku.”
Yanti masuk ke rumahnya dengan membanting pintu ruang tamu. Fadli merasa hatinya teriris sembilu dengan perlakuan Yanti yang baginya sudah di luar batas itu.
“Pak, hari ini les, kan?”
“Iya, tunggu dulu, ya. Sebentar.”
Dua anak didik Fadli sudah datang. Dia kemudian mengangkat beras dan juga beberapa keperluan dapur ke dalam. Fadli akan segera membersihkan badannya dan memberikan pembelajaran bagi anak didiknya yang sudah datang ke rumah.
Fadli masuk ke dalam kamarnya. Melihat Riyanti yang membungkus dirinya dengan selimut. Fadli merasa tak tega dengan pemandangan di depannya itu. Kemudian Fadli mengambil selembar uang dari dalam tasnya.
“Yan, aku ada seratus ribu, ini untukmu!”
Mendengar ucapan Fadli. Yanti segera membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Dia segera mengambil uang itu dari tangan Fadli. Dan dengan langkah kaki cepat, dia keluar rumah tanpa mengatakan apa pun kepada suaminya.
***
Malam penuh dengan makanan di meja makan. Fadli dan keluarganya pun telah berada di meja makan untuk menyantap hasil masakan Fadli, karena semenjak hamil, Yanti tak lagi berkutat dengan masak. Dia merasa tubuhya lelah dan tak berdaya bila berada di dapur.
Yanti melahap sup ayam dengan lahap. Tak kalah juga dengan Wafa dan Wafi yang juga menyantap makanan itu dengan tak menoleh di sekitar. Fadli merasa senang dengan pemandangan yang kini kembali hadir dalam jiwanya.
Setelah selesai makan, Yanti segera beranjak kembali ke kamarnya. Dia merasa kenyang dan sepertinya dia mengincar sesuatu dari Fadli. Entah mengapa, Yanti sangat yakin jika Fadli masih menyimpan uang. Yanti pun tertantang untuk menyelidikinya. Yanti beranjak tanpa meninggalkan kata-kata apa punn.
Wafi dan Wafa masih belum menghabiskan makanannya. Begitu pula dengan Fadli yang baru saja menyendok beberapa makanan ke mulutnya.
“Wafa, Wafi. Setelah makan, bapak ingin bicara dengan kalian.”
Wafa dan Wafi bersamaan menatap wajah Fadli. Setelah itu, kembali fokus ke arah makanan dan mereka kembali melahap dengan cepat hidangan itu hingga tak tersisa lagi.
***
Suasana hening. Wafa dan Wafi menunggu Fadli untuk memulai sebuah pembicaraan yang mereka sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan.
“Wafa, Wafi. Sejak kecil bapak selalu mengajarkan kalian untuk selalu berkata jujur dan kali ini bapak ingin kalian jujur kepada bapak.”
Wafa dan Wafi menatap penuh keseriusan. Kedua pandangan mereka tak lepas dari sosok laki-laki yang sudah puluhan tahun tinggal bersama itu.
“Apa tadi pagi di antara kalian ada yang tidak berangkat ke sekolah?”
Belum ada jawaban yang keluar dari kedua anaknya. Fadli menatap penuh dengan keseriusan. Dia sangat menunggu jawaban yang akan memberikannya titik terang dengan apa yang harus dilakukannya.
“Wafi atau Wafa yang akan menjawab pertanyaan dari bapak terlebih dahulu.”
“Hari ini Wafa sekolah dan mengikuti pelajaran hingga selesai, pak.”
“Baiklah, dan kamu Wafi?”
“Wafi juga sekolah dan mengikuti pelajaran hingga selesai.”
Wafi menjawab dengan lantang. Fadli seolah masih meragukan jawaban dari kedua anaknya. Fadli sangat yakin jika Tama tak akan berbohong padanya.
“Bapak kasih kesempatan untuk kalian berkata jujur ke bapak.”
“Bapak ini maunya apa, sih. Kita itu sudah capek-capek sekolah, mikir pelajaran, bahkan kami sampai malu karena kami selalu telat bayar uang sekolah.”
Wafi berdiri dengan kesal atas apa yang dikatakan bapaknya itu. Dia seperti tak terima dengan apa yang terus saja ditanyakan tentang sebuah kejujuran yang membuat telinganya seakan panas.
“kalian tak usah khawatir, besok bapak akan kasih ke kalian uang sekolah untuk kalian bayarkan.”
“Ya sudah, sudah selesai kan?” Wafi menimpali dengan ketus.
“Sabar Wafi. Baiklah, jika di sini masih ada kebohongan, bapak terpaksa harus mengambil tindakan, karena bapak sudah memberi kesempatan untuk kalian berkata jujur dan tidak berbohong.”
“Apa yang akan bapak lakukan?” tanya Wafi.
“Tidak ada sekolah lagi untuk kalian, bagi bapak jujur adalah modal utama. Jika kalian sekolah hanya untuk berbohong, bapak melarang itu! tapi jika kalian jujur, bapak akan tetap mengijinkan kalian sekolah, meski harus ada konsekwensi yang kalian tanggung.”
Wafa memutar matanya. Dia seolah tak setuju dengan apa yang dikatakan bapaknya itu. Wafa menghela napas panjang. Menatap bapaknya penuh dengan keseriusan.
“Pak, aku yang tadi pagi sudah bolos sekolah,” kata Wafa mengagetkan.