Kecelakaan yang sama sekali tak pernah terpikirkan di benak Fadli. Dia sama sekali tak menyangka, jika kini ambulance membawa anaknya ke rumah sakit. Fadli meminta seseorang untuk mengantarkan Tama ke sekolah.
Sedangkan Fadli, dia selalu di samping anaknya. Wafa yang bersimbah darah. Mmatanya terpejam dan tak sadarkan diri. Mata Fadli yang basah, segera diseka agar tak jatuh di pipinya. Dia merasa tak tega dengan apa yang kini dilihatnya itu.
Dokter segera memberikan pertolongan gawat darurat. Dua orang anak SMA, kini sedang berjuang di sebuah ruangan. Fadli hanya duduk diam. sembari memandang lantai di bawahnya. Hatinya kelu, hancur tak berdebu.
Fadli berusaha untuk bisa menenangkan hatinya. Panjat doa selalu disuguhkan dalam hatinya. Kini dia bersandar pada sebuah pertolongan Tuhan. Cukup lama Fadli menunggu dalam kegelisahan.
Dia terus saja tertunduk resah. Sesekali tangan kanannya bergerak untuk mengusap kedua matanya yang hampir saja menangis. Fadli tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Dia harus bisa bersikap tegar, walau batinnya sedikit tersiksa dengan kejadian yang kini menyapanya.
“Keluarga pasien.”
“Saya orang tua dari laki-laki itu, dok.”
“Anak bapak masih harus melanjutkan pemeriksaan pada dokter tulang, untuk itu saya mohon bapak harap bersabar.”
“Apa yang terjadi, dokter?”
“Tadi anak bapak sempat terbangun, dan diahisteris hebat merasakan nyeri pada kakinya, untuk itu kami masih harus menjalani pemeriksaan lanjutan.”
Seseorang berlari dengan napas terengah-engah. Dia terlihat sangat panik, tak ada yang bisa membuat air matanya terhenti. Wajahnya sangat sembab. Beban di pundaknya terasa begitu berat. Saat sang ibu mendengar anaknya mengalami sebuah kecelakaan, kini mama dari teman Wafa datang bersama ibu wali kelas.
“Dokter, bagaimana kondisi Thomas, anak saya?”
“Laki-laki yang bernama Thomas, dia dalam kondisi baik, hanya luka-luka memar sedikit, tidak perlu khawatir.”
“Apa saya boleh melihat anak saya, dok?”
“Mohon tunggu sebentar, karena kami akan memindahkan Thomas ke ruang rawat.”
Fadli tak bisa berkata apa-apa lagi. Bibirnya terasa kelu. Tak lama terlihat dokter tulang masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa Wafa. Debar jantung Fadli terasa lebih kencang. Ketenangan yang dibutuhkan, namun sayangnya itu tidak didapat olehnya.
“Bapak pasti orang tuanya Wafa, kan?”
Seorang wanita yang tak lain adalah mama Thomas, mendekat ke arah Fadli dengan wajah masamnya. Pandangannya tak henti menatap penuh ke arah Fadli.
“Iya, saya bapaknya Wafa.”
“Anak bapak sudah membuat anak saya kecelakaan, bapak harus tanggung jawab untuk itu.”
“Apa maksudnya, bu. Anak kita sama-sama sedang mengalami kecelakaan.”
“Thomas itu tak pernah saya ijinkan untuk naik motor, jadi saya sangat yakin, jika anak bapak yang membonceng anak saya.”
Keributan terjadi. Mama Thomas seakan tak mau kalah dengan argumennya. Meskipun Fadli berusaha untuk diam dan tak membalas ucapan mama Thomas, tapi wanita itu terus saja menyerangnya dengan kata-k********r.
Ibu Vika, yang tak lain adalah wali murid Wafa dan juga Thomas, berusaha untuk menetralisir keadaan. Sayangnya, mama Thomas yang sedang terbungkus emosi itu, terus saja melemparkan kemarahannya pada Fadli. Dan dengan terpaksa bu Vika, meminta pak Fadli untuk menghindar sementara waktu.
Fadli yang dalam kegelisahan hai. Dia melangkah menjauh dari ruangan sang anak. Dia meminta bu Vika untuk memberitahukan bila ada informasi dari dokter. Fadli hanya ingin menghindari keributan, dia tak mau bila perpecahan akan terjadi tanpa sebuah penjelasan yang akurat.
***
Yanti yang sehari sudah menyantap makanan tiga kali. Kini dia merasa ingin membeli rujak buah di warung depan. Sayangnya Yanti tak memiliki simpanan uang sedikit pun. Lagi-lagi dia merasa jengkel dengan hidupnya yang serba pas-pasan.
Yanti yang melihat kedatangan Tama di rumahnya, seakan matanya menyalak galak pada anak kecil dengan muka masamnya.
“Heh anak kecil, kamu mau tinggal di sini lagi?”
“Kata pak Fadli aku disuruh untuk pulang ke sini, bu.”
“Enak sekali kamu jawab begitu, di sini itu gak ada yang gratis, kamu bisa ngasih kami apa kalau kamu mau tinggal di sini.”
Suara Yanti bagai petir yang menyambar begitu kerasnya. Membuat Fadli seketika menundukkan kepalanya. Dia sangat takut dengan suara tinggi. Selama ini ayahnya tak pernah memarahinya. Tama hanya bisa mematung dengan hati tersayat tanpa terkatakan.
Yanti menatap Tama dengan serius. Dia seolah mendapatkan ide yang membuatnya seketika tersenyum sinis. Yanti harus bisa mendaoatkan apa yang dia inginkan, tak peduli apa pun itu.
“Kamu boleh tinggal di sini, asalkan kamu bisa belikan aku rujak buah di warung depan, mengerti!”
“Iya, bu. Akan saya belikan. Mana uangnya, bu?”
“Enak saja minta uang, ya kamu harus usaha dong.”
“Tapi Tama tidak punya sepeser uang pun, bu.”
“Aku tidak peduli, jika kamu tidak bisa belikan rujak buah di depan, kamu hanya bisa tidur di halaman rumahku, cepat pergi!”
Tama terpaksa harus diseret keluar oleh Yanti. Dia anak kecil yang tak punya kekuatan untuk melawan. Tama seketika teringat akan ayahnya. Namun, dia tak ingin menyerah dengan kehidupan yang kini seolah mencekik lehernya.
Tama berjalan ke luar pagar rumah Fadli. Dia mneyusuri jalan tanpa tujuan yang jelas. Bagi Tama dia harus mendapatkan uang untuk bisa menuruti Yanti, membelikan rujak buah di warung depan. “Mending aku ngamen saja, supaya dapat uang,” gumam Tama.
Tama pun menuruti kata hatinya. Dia berjalan lurus dan mencari botol minuman yang sudah tak terpakai. Ketika dia sudah mendapatkannya, Tama kemudian mengisi botol itu dengan sedikit kerikil. Tama segera mengaplikasikkannya untuk ngamen dari rumah ke rumah.
Berbekal lagu yang dia bisa, Tama mulai menyanyi dan menggoyangkan botol yang ada di tangan kanannya itu. Tak sedikit orang yang tak memberikan pundi-pundi rupiah untuknya. Berapa pun yang didapatkan, Tama tetap senyum dan mengucapkan terima kasih.
Orang yang melihat Tama dengan baju seragam sekolah, pun merasa iba sekaligus heran dengan apa yang dilakukan anak kecil itu. Hanya beberapa rumah saja yang didatanginya. Tama sudah mengumpulkan uang dua puluh ribu,
Tama yakin, jika uang itu sudah cukup untuk membelikan rujak buah untuk Yanti. Tama tersenyum rekah. Dia kemudian membuang botol berisi kerikil ke tempat sampah. Dia segera menuju ke warung dan segera memesankan satu porsi rujak buah untuk istri dari gurunya itu.
***
Yanti yang sedang duduk di teras rumah. Kedua matanya tertuju pada beberapa orang yang sedang bertamu di rumahnya. Yanti berdiri dengan segera. Dia menatap tiga orang yang langkahnya semakin dekat ke arahnya.
“Selamat sore, apa benar ini rumah Wafi?”
“Iya, benar sekali, pak. Saya ibunya Wafi.”
“Bapak dan ibu ini siapa, ya?”
“Mohon maaf, bisakah kita bicara di dalam, bu?”
Perasaan Yanti tiba-tiba berubah menjadi sangat aneh dengan kedatangan satu laki-laki dan dua perempuan. Yanti sangat yakin jika mereka adalah satu keluarga. Yanti akhirnya mempersiapkan tamunya itu untuk masuk ke dalam rumah, dan segera duduk di kursi ruang tamu.
“Silakan katakan apa maksud kedatangan kalian ke mari?”
“Sebelumnya saya Zaenal. Ayah dari anak saya Indah.”
“Saya Yanti.”
Wanita yang seusia anaknya itu diapit oleh kedua orang tuanya. Yanti sangat yakin, jika perempuan yang disebutkan namanya Indah itu adalah yang berada di depannya.
“Iya, pak. Langsung saja tidak usah bertele-tele begitu.”
“Ibu ini bisa gak sih, berkata yang santun sedikit.”
Suara perempuan yang seumuran dengan Yanti itu pun seketika membuat Yanti merasa tak senang. Yanti memandang wanita itu dengan sangat sinis. Dia seolah sama sekali tak mengharapkan keluarga itu datang ke rumahnya.
“Sudahlah, cepat katakan, apa maksud kedatangan kalian?”
Pak Zaenal menatap Indah, putrinya. Kemudian mengalihkan pandangannya kepada Riyanti. Pak Zaenal menghela napas panjang. Seolah dia akan mengambil jeda untuk mengatakan apa maksud kedatanggannya bertanda di sore hari itu.
“Maaf bu Yanti, kami datang ke sini hanya ingin meminta pertanggung jawaban dari anak ibu.”
“Pertanggung jawaban apa maksudnya?”
“Indah dihamili oleh anak ibu.”
Yanti tak langsung menerkam bak singa. Dia hanya diam sembari pandangan matanya tertancap lurus pada gadis yang kini ada di depannya. Indah yang sedari tadi menunduk, membuat Yanti terasa ingin mendongakkan wajah gadis itu.
Yanti seperti di terjang ombak yang dahsyat. Hingga bibirnya kelu untuk bisa berkata. Yanti masih diam untuk mencari jawaban atas ucapan yang begitu mengejutkan itu.