Sepi kini bergejolak di hati Yanti. Rumah yang biasanya penuh dengan sapaan orang-orang terdekatnya. Namun, kini semua terasa kosong. Fadli yang masih harus menjalani sebuah hukuman. Kedua anaknya kini tak bersamanya lagi.
Yanti duduk seorang diri. Menatap langit-langit dengan jiwa hampa. Dia seolah tak tahu harus bagaimana menjalani hari-hari dengan sendiri. Tak ada siapa pun yang bisa dijadikannya tempat berkeluh kesah.
Bayangan masa lalu tentang hidup yang serba kecukupuan, membuat Yanti seakan menyesali dengan pernikahan yang sudah berjalan belasan tahun itu. Yanti seakan berserah pasrah. Bahkan dia tak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun.
Dia lebih suka diam dan hanya meratapi nasibnya. Bahkan Yanti sama sekali tak merasakan lapar. Dia hanya menangis meratapi nasibnya yang kini semakin membuatnya terpjok dengan keadaan. Tak tahan dengan rasa pilu yang menggeletar itu, Yanti pun menangis dalam kesendirian.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu, membuyarkan rasa yang bergejolak dalam kalbunya. Dengan diselimuti rasa pelik. Yanti segera berdiri dari tempat duduknya. Dia akan melihat siapa yang datang ke rumahnya.
“Bu Lurah,” ucap Yanti.
“Bagaimana kabarnya bu Yanti?”
Yanti mencoba untuk menyembunyikan tangisnya. Dia kemudian menghadirkan senyumnya. Meskipun terasa sangat getir baginya.
“Silakan masuk, bu.”
Keduanya segera mengambil tempat duduk. Yanti tak melakukan apa pun, bahkan dia tak membuatkan minum untuk bu lurah. Yanti tahu jika dirinya sama sekali tak memiliki bahan-bahan untuk membuat teh atau pun kopi.
Yanti hanya tertancap pada wajah bu lurah. Bibirnya pun tertutup rapat. Dia tak berkata apa-apa lagi setelah itu. Hatinya yang kini terasa seperti remahan roti, begitu sulit untuk dikembalikan lagi bentuknya.
“Bu Yanti, saya turut berduka dengan meninggalnya anak ibu.”
“Iya, bu. Terima kasih.”
“Saya tidak bisa lama-lama, karena masih ada hal yang harus saya urus. Bu Yanti, tolong terima ini, ya.”
Bu Lurah menjulurkan amplop berwarna putih kepada Yanti. Kedua mata Yanti terasa cepat tertancap pada benda itu. Yanti pun menerimanya tanpa berpikir lama.
“Terima kasih bu lurah.”
“Iya, sama-sama bu Yanti, saya permisi.”
Yanti mengantarkan bu lurah hingga ke teras rumahnya. Wanita nomor satu di kampungnya itu seolah memberikan perhatian tanpa diminta. Yanti menutup kembali pintu rumahnya. Dia kembali duduk dengan pikiran berkelibat ke mana-mana.
Wajah Wafa begitu melekat dalam hatinya. Ketidakpunyaan harta membuatnya tak bisa membawa anaknya itu untuk sekadar memeriksakan kondisinya. Yanti benar-benar menyesali semuanya. Dia kehilangan anaknya hanya karena tak ada biaya untuk membuat Wafa menerima kondisi pasca kecelakaan.
Andaikata Yanti memiliki sejumlah uang yang cukup. Pastinya dia tak akan membiarkan anaknya murung terus di dalam kamar. Dia akan mencoba untuk membawa Wafa ke psikiater. Sayangnya, itu hanya harapan semu yang tak bisa diwujudkan. Semua sudah berakhir.
Wafa kini telah pergi untuk selama-lamanya. Tak akan pernah bisa kembali lagi di sampingnya. Semua terasa begitu menyayat hati bertubi-tubi. Yanti kembali menyeka air mata yang tumpah dari kedua kelopak matanya.
Yanti membuka amplop putih yang diberikan bu lurah kepadanya. Beberapa lembar uang berwarna biru itu terekam dalam kedua pandang matanya. Yanti kembali menangis. Dia masih tak percaya dengan kenyataan yang kini terus menganggu isi di kepalanya.
Yanti yang dari dulu tak ingin hidup susah. Namun, kini Tuhan memberikannya hidup di bawah impiannya. Dia yang dulu ingin menjadi wanita karir dengan uang yang selalu di tangan. Bisa beli apa pun tanpa harus menahan hasrat.
Lalu dia yang juga sangat menginginkan seorang suami kaya. Bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa kurang. Nyatanya, semua impian itu sama sekali tak bisa diraihnya saat hidup bersama dengan Fadli.
Susah seolah menjadi teman hidupnya. Meskipun dia bisa membeli barang yang diinginkan dengan susah payah. Harus rela menahan beberapa bulan dulu dan keinginannya itu bisa tercapai. Semua terasa membosankan bagi Yanti.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia seolah terbelenggu dengan kemiskinan. Namun, Yanti yang sudah merasa lelah itu, begitu sangat ingin keluar dari garis kemiskinannya. Sayangnya, Yanti masih belum bisa mengetahui bagaimana cara yang bisa ditempuhnya.
***
Ponsel kepala sekolah berdering. Rapat yang masih berlangsung itu pun harus terjeda sebentar. Kepala sekolah harus mengangkat telepon dari seseorang. Semua anggota rapat hanya diam memandang, seraya menunggu keputusan tentang kasus Fadli yang masih berjalan itu.
“Baik, saya akan segera pulang.”
Suara itu seolah membuat semua penghuni ruangan semakin penasaran dengan apa yang didengar. Kata-kata itu tertancap dengan sangat kuat. Kepala sekolah kemudian menutup ponselnya dan segera kembali lagi ke forum.
“Saya minta maaf, saya mohon ijin untuk pulang karena istri saya dikabarkan meninggal. Rapat ini kita tunda.”
Kepala sekolah akhirnya masih belum bisa memberikan kebijakan lagi atas kasus Fadli. Berita duka yang baru saja terdengar begitu sangat mengharukan, membuat kondisi seolah senyap. Kepala sekolah begitu sigap dengan langkahnya.
Dia segera meninggalkan sekolah. Sedangkan para peserta rapat slaing pandang memandang satu sama lain. Sembari saling mengutarakan argumen masing-masing dengan berbisik lirih.
“Bu Dinar, apa bu Dinar merasa yakin jika pak Fadli akan dibebaskan?” Pak Rois mencoba mengawali pembicaraan pada bu Dinar.
“Saya rasa, iya. Pak Fadli punya kesempatan untuk bisa memperbaiki semuanya.”
“Saya menyayangkan sekali dengan apa yang bu Dinar pikirkan.”
“Apa maksud bapak?”
“Jangan tertipu dengan keluguan seseorang, apalagi bu Dinar tak bisa melihat dengan kaca mata otentik.”
“Seharusnya kata-kata itu lebih pantas untuk bapak, bukan untuk saya.”
Bu Dinar beranjak dari tempat duduknya. Dia merasa ketidaknyamanan kembali tercipta tanpa diinginkan. Bu Dinar tak ingin berdebat dengan pak Rois. Dia lebih memilih untuk menghindar. Baginya tak ada gunanya meladeni guru yang jelas-jelas menyudutkan pak Fadli.
Kini, semua terasa penasaran dengan keputusan yang harus ditunda itu. Kondisi yang tidak memungkinkan. Membuat suasana semakin menduga-duga.
***
Fadli yang dengan tenang menjalani hukuman di penjara. Keyakinannya sungguh sangat besar untuk bebas. Dia merasa tak bersalah sedikit pun. Penggelapan uang yang dituduhkan kepadanya itu, hanya sebatas kesalahpahaman.
Fadli sama sekali tak gentar untuk menghadapi hukuman. Dia tetap percaya dengan apa yang diyakininya itu. Kebenaran lambat laun pasti akan terungkap. Fadli terus berhias senyum dalam menjalani hari-harinya di lapas.
Meskipun banyak sekali rekan sejawat yang ada dalam bui sering sekali mengolok dan mencacinya. Fadli tetap bersikap santun. Dia sama sekali tak terpancing dengan kondisi yang terus memojokkannya itu.
Malam semakin larut. Fadli tertidur dengan meringkuk. Tubuhnya terasa dingin karena tak ada selimut yang bisa menghangatkan tubuhnya.
“Bapak, ceraikan saja ibu, supaya bapak tidak kesusahan.”
Fadli seketika itu terbangun dengan sangat terkejut. Kata-kata yang membuatnya bergetar hebat. Anak laki-lakinya yang sudah meninggal. Tiba-tiba saja datang dalam mimpinya. Memberikan sebuah pesan yang sangat menyakitkan bagi hatinya.
Dia seketika itu terduduk kaku. Memikirkan dengan sangat dalam apa yang dikatakan Wafa padanya. Fadli sama sekali tak menginginkan hal itu. Fadli sangat mencintai Yanti melebihi apa pun. Keringat dingin membanjiri tubuh Fadli.
Entah mengapa Fadli tak bisa memejamkan matanya kembali. Padahal malam masih sangat larut. Fadli mencari posisi ternyaman untuk segera melanjutkan tidurnya kembali. Hanya saja, perasannya seperti sedang tak bisa diajak untuk berkompromi.
Bayangan wajah Yanti terus saja memenuhi isi pikirannya. Fadli merasa sangat susah untuk menepisnya. Selain itu, Fadli juga merasa khawatir dengan keadaan sang istri, tak biasanya perasaan yang menggunya itu tak bisa dihilangkan olehnya.
***
Yanti yang berada di rumah seorang diri. Dia sulit sekali untuk memejamkan matanya. Yanti tiba-tiba saja membangunkan tubuhnya. Dia tak bisa mengontrol rasa yang kini berkecamuk dalam dadanya. Yanti begitu membenci takdir yang kini telah membuatnya sendiri tanpa siapa pun.
Dalam hidup yang serba kekurangan, tak ada satu pun orang yang bisa menemaninya. Hamil dengan kondisi sama sekali tak terawat. Yanti menjerit dengan sangat keras. Dia membanting semua benda yang ada di meja dekat tempat tidurnya.
Tak peduli barang apa pun yang menjadi pelampiasan emosinya itu. Semuanya sudah bercecer di lantai tanpa terkecuali. Yanti menjerit keras. Semua kehidupan terasa hitam baginya. Tak bisa memberinya ruang untuk bisa menjalaninya dengan senang.
Yanti melangkah keluar kamar. Dia melihat satu persatu ruangan di rumahnya. Terumatama kamar Wafa dan Wafi yang menjadi tumpuan atas beban yang kini terus bersarang dalam benaknya itu. tetes air mata tak bisa disimpan.
Keluar membanjiri rasa yang bercampur aduk di hati Yanti. Sedih, marah dan kecewa seolah membelenggunya dengan sangat erat. Yanti terus saja melangkah, kamar Wafa menjadi tempat terlama baginya.
Dia duduk di tempat tidur sang anak. Menatap seluruh penjuru kamar Wafa tanpa lepas. Lalu Yanti berdiri dan dia hendak mengambil foto kecil yang terpampang di atas meja Wafa. Foto sang anak membuatnya semakin terisak dalam tangisan.
Yanti yang hendak mengembalikan foto itu. Tiba-tiba tanpa sengaja dia menginjak benda yang sangat licin di kakinya. Hingga Yanti jatuh terpelesat. Perutnya terbentur meja tanpa disengaja. Yanti merasa sakit yang sangat hebat.
Memegang perutnya dengan jeritan yang membahana. Sakit itu seolah menjalar ke seluruh tubuhnya. Yanti seperti tak tahan lagi. Bahkan dia sangat histeris saat melihat tetesan darah yang keluar tanpa diketahuinya.
Kedua tangannya terus saja memegang erat perutnya. Yanti tak kuasa dengan rasa yang semakin tak bisa dijelaskan lagi. Yanti berteriak meminta tolong. Dia tak kuasa untuk membawa tubuhnya sendiri. Kepala Yanti tiba-tiba saja merasa pening. Hingga dia tak bisa lagi menahan sakit di perutnya yang semakin dahsyat.