"Jadi ... Kau adalah Mark Patterson. Pemilik Patterson Corporation." Kata-kata yang meluncur dari sela bibir Marsha begitu keduanya kembali masuk ke dalam mobil usai makan malam bersama keluarga besar Patterson.
Mark yang sudah bersiap menyalakan mesin mobil pun menoleh ke arah Marsha. Hanya saja ... pandangan gadis itu masih tetap lurus ke depan. Kosong. Sama seperti saat mereka makan malam tadi. Beruntung tak banyak yang harus mereka bincangkan bersama keluarga besarnya tadi, dan dengan sebuah alasan yang Mark beri untuk segera membawa Marsha pergi keluar dari dalam rumah keluarganya.
"Maaf karena Marsha sedang tidak enak badan. Jadi aku harus segera membawanya pulang. Lain kali kita akan bicarakan kembali mengenai rencanaku yang ingin menikahi Marsha." Itulah kata yang tadi Mark berikan pada keluarganya sebelum akhirnya menarik Marsha keluar hingga sekarang keduanya berada di dalam mobil milik pria itu.
Kembali pada topik pertanyaan Marsha. Mark tak menjawab, memilih menghidupkan mesin mobil lalu perlahan mulai menjalankannya menuju gerbang keluar, meninggalkan rumah megah milik keluarga Patterson.
"Kau baru tahu, hmm?" Mark menjawab pertanyaan yang tadi Marsha lontarkan.
"Ya."
"Berarti ada positifnya juga kau tadi ikut denganku. Selain tak jadi bunuh diri kau pun akhirnya tahu siapa aku, ck." Mark berdecak lalu tertawa sinis.
"Dan sekarang aku juga yakin jika kaulah yang telah membawaku ke hotel waktu itu."
"Hotel?"
"Ya. Jangan pura-pura bodooh atau justru kau lupa jika pernah mengambil hal berharga yang aku punya."
"Apa maksudmu Marsha?"
Marsha mengibaskan tangannya. "Tak perlu dibahas "
"Aku tidak akan pernah mengelak jika pernah menidurimu dan ... mengambil kevirginanmu."
Marsha terkejut, tubuhnya menegang dengan badan memutar ke samping menatap tajam pada Mark.
Mark yang menyadari kemarahan gadis itu hanya melirik sekilas. "Sudahlah ... Kau tidak perlu marah dan tak ada yang perlu kau sesali. Semua sudah terjadi dan aku tidak akan lari karena sebentar lagi akan menjadikanmu istri."
"Apa? Kau jangan main-main denganku, Mark! Apa kau pikir semua semudah itu?"
Enteng Mark menjawab, "Tidak. Aku tak berpikir seperti itu karena aku tahu dan paham sekali jika apa yang menimpamu itu tidak mudah dan sangat berat kau jalani. Sampai kau ingin bunuh diri. Benar begitu?"
Marsha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaiman mungkin dia bisa dipertemukan dengan pria seperti Mark. Tak ada rasa bersalah dan dengan sangat mudah mengucap semua apa yang memang sedang terjadi padanya. Bunuh diri adalah hal ternekat yang ingin ia lakukan tadi.
"Jangan banyak bespekulasi. Aku lebih daripada tahu tentang hidupmu, Marsha."
"Sebenarnya kau ini siapa, hah?!"
"Bukankah kau tadi sudah tahu siapa aku. Mark Patterson."
Argh ... Marsha menjambak rambutnya sendiri. Ia sungguh kesal. Pasti Mario dalang dari semua ini. Memilih diam agar sakit kepalanya tidak makin menjadi. Menghadapi Mark memang tak bisa dengan banyak omongan seperti tadi karena dia tetap saja akan kalah. Lebih baik diam dan tak banyak tingkah. Biarlah Mark bersikap sesuka hati. Marsha sendiri sudah pasrah dan menyerah akan takdir dan jalan hidup yang seolah sedang mempermainkannya sekarang ini.
Mobil milik Mark melaju dalam keheningan malam. Marsha masih diam dengan pandangan menyisir jalanan. Hanya saja sekarang ia baru tersadar jika arah yang Mark tuju tidak Marsha kenali. Ke mana pria itu akan membawanya? Tanya yang ada dalam benak Marsha.
"Ini bukan jalan menuju rumahku, Mark."
Mark menoleh sekilas dengan bibir menyunggingkan senyuman. Sayang sekali Marsha sedang tidak menatap wajahnya. Bahkan gadis itu berkata tanpa ekspresi sama sekali.
"Memang bukan," jawab Mark kemudian.
Marsha mendengus sebal. "Pulangkan aku ke rumah. Aku sudah sangat lelah hari ini."
"Aku tak yakin kau bisa pergi istirahat jika pulang ke rumahmu sendiri. Yang ada kau bisa saja akan mencoba bunuh diri lagi."
Kata-kata sarkas yang Mark lontarkan membuat Marsha bungkam. Tak mengelak juga tak membenarkan. Semua kemungkinan itu masih ada mengingat sefrustasi apa dirinya saat ini.
Mencoba berdamai dengan hati dan juga dengan Mark. Mengalah dan diam. Terserah Mark mau membawanya ke mana. Hingga mobil mewah itu berjalan perlahan memasuki sebuah gedung pencakar langit. Marsha menatap sekilas di mana ia berada saat ini. Sebuah Apartemen kalangan atas yang sudah Marsha kenali.
Begitu mobil terparkir di dalam basemant, Mark melepas seat belt dengan kepala menoleh ke samping. Tak ada pergerakan sama sekali dari Marsha.
"Apa kau masih tetap ingin berdiam diri di sini, Marsha? Ayo turun!"
"Kau mau membawaku ke mana?"
"Apartemen milikku." Mark membuka pintu mobil dan turun meninggalkan Marsha.
Namun, tak lama berselang Mark menunggu, Marsha turun juga. Tak suka sebenarnya melihat wajah Marsha yang terlihat kacau seperti itu. Pantas saja Mommy-nya tadi terkesan tak menyukai Marsha. Penampilan Marsha malam ini ... sangat berantakan dan Mark baru menyadarinya.
"Ayo!" Mark menarik lengan Marsha membuat gadis itu berjalan terseok mengikuti langkah lebar Mark.
Sampai di depan pintu apartemen yang Mark tuju, Marsha kembali berpikir sebaiknya ia harus apa sekarang. Masuk atau pergi meninggalkan tempat ini.
"Masuk!" Lagi-lagi Mark menarik lengan Marsha. Mendapat penolakan dari gadis itu karena keengganan Marsha untuk masuk ke dalam.
"Masuk, Marsha! Aku tak akan membiarkanmu tetap berdiri di luar seperti itu. Atau kau mau aku gendong dan memaksamu masuk?"
"Tidak perlu. Aku bisa masuk sendiri." Ragu Marsha melangkah. Ketika pintu kembali ditutup oleh Mark, gadis itu terjengit kaget hingga kepalanya menoleh ke belakang. Tentu saja Marsha was-was. Pertama kalinya Marsha mendatangi tempat tinggal pria yang masih asing baginya. Dia perempuan dan Mark laki-laki. Keengganan Marsha untuk berdekatan dengan Mark tentulah ada. Dia takut Mark kembali berbuat hal yang macam-macam padanya.
"Sebaiknya kau mandi. Penampilanmu malam ini ... sangat kacau sekali."
Mark membawa paksa Marsha dengan menarik lengan gadis itu. Memasuki kamar utama dan pria itu menuju lemari besar untuk mengambil handuk juga sebuah kaos bersih untuk Marsha. Mark tahu jika Marsha pasti membutuhkan baju ganti. Oleh sebab itulah dengan baik hati dia meminjamkan bajunya untuk Marsha. Karena dia tak punya baju wanita.
"Kamar mandinya di sana. Jika kau membutuhkan bantuan untuk memandikanmu ... jangan segan mengatakan. Aku siap membantu."
"Berkatalah sesuka hatimu, Mark!" Marsha merebut handuk dan baju yang Mark sodorkan. Berjalan cepat menuju ruangan yang tadi Mark tunjukkan. Menutup pintunya sedikit kencang karena kesal begitu ia masuk ke dalamnya.
Dan Mark yang melihat tingkah laku Marsha justru tertawa sangat lebar. Tak menyangka jika malam ini ia berhasil membawa Marsha kembali padanya setelah pencarian yang ia lakukan.