"Mark! Kau datang juga akhirnya." Marry Patterson yang tak lain adalah Mommy dari Mark Patterson tersenyum lebar karena pada akhirnya putra tertuanya mau juga pulang ke rumah memenuhi undangan makan malam darinya. Wanita itu mendekat dan detik itu juga senyumnya pudar. Memperhatikan sekilas seseorang yang berdiri di samping putranya. Pandangan mata Marry teralih pada Mark. "Siapa dia Mark?"
Marsha, wanita itu gugup luar biasa. Merasakan genggaman dengan sedikit remasan yang Mark berikan makin mengetat.
"Dia Marsha. Marsha Atmaja. Calon istriku," jawab Mark tegas yang berhasil membuat Marry membelalakkan mata.
Pun demikian dengan anggota keluarga Patterson yang lainnya. Mereka telah bersiap makan malam dengan duduk tenang di ruang makan sembari menunggu kedatangan Mark. Sekarang, mereka semua tak kalah terkejutnya dengan Marry. Tiga orang yang duduk di meja makan kompak menatap lurus ke arah Mark yang berdiri menjulang tak jauh dari meja makan berada.
Tentu saja mereka terkejut karena untuk sekian lama tiba-tiba anak tertua keluarga Patterson membawa pulang seorang wanita yang dikenalkan sebagai calon istrinya.
Marry mencoba membenarkan pendengaran yang rupanya tidak salah karena netra wanita itu menangkap tautan tangan keduanya. Ya, genggaman tangan Mark pada tangan seorang gadis yang Marry belum kenal siapa namanya.
"Calon istri? Mark ... Mommy tidak salah dengar, kan?"
Mark tersenyum tipis. "Mommy tidak salah dengar. Kami berdua akan segera menikah lebih tepatnya."
"Apa?" Lagi-lagi jantung Marry ingin melompat keluar dari tempatnya. Candaan Mark ini sangat luar biasa mengagetkan dirinya. Mencoba tersenyum sembari menatap lekat wanita yang menurut Marry jauh dari kata sempurna. Penampilan yang tidak rapi sama sekali untuk ukuran wanita dewasa. Sangat tidak pantas jika bersanding dengan Mark yang tampan dan selalu berpenampilan elegan.
Marsha yang hanya mengikuti saja apa yang tadi Mark perintahkan, tak berani mendongak. Menunduk menghindari tatapan semua anggota keluarga Patterson.
"Dari mana kau mendapat calon istri yang seperti ini Mark. Apa kau tak ada pilihan lain untuk kau sodorkan pada kami sebagai calon istri?" Sangat frontal perkataan Marry membuat Mark tersenyum sinis.
"Memangnya kenapa lagi? Bukankah yang Mommy inginkan aku segera menikah. Dan dialah gadis yang telah membuatku jatuh hati, Mom. Jadi ... mulai detik ini sebaiknya Mommy berhenti menyodorkan gadis-gadis pilihan Mom kepadaku. Karena aku sudah ada pilihan sendiri."
Sungguh, Mark sudah terlalu pusing acapkali Mommy selalu memaksa agar Mark memilih dan mau menurut dengan wanita-wanita sosialita yang tidak ada satu pun sesuai dengan kriteria Mark. Sejak dulu ... Mark sangat menyukai perempuan Indonesia yang memiliki wajah asli tanpa di permak sana sini. Kulit eksotis, bulu mata lentik dan wajah cantik natural. Mark mendapat itu semua dari Marsha. Di sisi lain karena Marsha masih virgin saat pertama kali ia menidurinya. Jarang sekali wanita jaman sekarang yang tak terlibat pergaulan bebas. Dan demi apapun juga Marsha akan tetap Mark pertahankan sekalipun jelas terlihat jika Mommy menentangnya.
"Mark!"
Panggilan nyaring dari Mister Patterson mengalihkan perhatian Mark dari Mommy.
"Yes, Dad!"
"Duduklah. Dan bawa wanitamu ke sini. Kau perlu mengenalkannya pada kami."
Angin segar dari Daddy menyemangati Mark menarik lengan Marsha melewati tubuh Marry. Wanita itu menggeram karena lagi-lagi suaminya berulah dengan tidak mengindahkan protesnya akan wanita yang dibawa sang putra.
"Hai, Dad!"
"Siapa yang kau bawa itu?"
Mark mulai memperkenalkan Marsha pada anggota keluarganya. Meski Marsha merasa enggan dan gugup karena sikap dan tingkah laku Mark yang sesuka hati mengakui dirinya sebagai calon istri. Padahal mereka ini tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan nama Mark sendiri baru saja Marsha tahu.
"Dia Marsha. Calon istriku."
Marsha memejamkan mata karena untuk kesekian kali mendengar ungkapan kebohongan Mark. Namun, Marsha bisa apa. Kehidupan yang Marsha rasa akan jauh semakin sulit karena pertemuannya dengan pria ini. Pria yang memang mengenalnya dan Marsha masih tak paham bagaimana bisa lelaki bernama Mark ini mengenali dirinya juga tahu nama lengkapnya. Sekeras apa pun Marsha berpikir, nyatanya tebakannya tetaplah sama. Bisa jadi pria inilah yang dulu bersamanya di hotel. Pria yang telah merenggut apa yang dia jaga selama ini.
Senggolan pada lengan membuat Marsha tergagap lalu mendongak. Pelototan mata tajam Mark menciutkan nyali Marsha untuk sekedar membantah atau memprotes semua tindakan Mark.
Marsha tahu jika Mark berpura-pura tersenyum sangat lebar sembari meminta padanya untuk memperkenalkan diri pada keluarga pria itu.
"Marsha ... kenalkan. Dia Daddy-ku. Dan mereka adalah adik kembarku. Michel dan Michy." Mark menunjuk seorang lelaki muda bersama seorang gadis yang duduk saling bersisihan. Keduanya menatap Marsha dengan disertai senyuman. Marsha tak tahu apa tanggapan keluarga Mark dengan kehadirannya di tempat ini. Entahlah. Yang pasti ia ikuti saja permainan ini agar semua cepat selesai dan dia bisa pergi dari pria ini.
"Senang bertemu denganmu, Marsha. Aku Mandy Patterson. Ayah dari Mark. Duduklah Marsha. Kita mulai saja makan malam ini."
Deg
Demi mendengar ayahnya Mark menyebut nama Patterson, ingatan Marsha begitu saja melayang akan sebuah hal. Patterson Company. Jadi ... mungkinkah keluarga ini adalah pemilik perusahaan yang menjadi rekan bisnis Mario. Ya, Tuhan. Bagaimana bisa?
Lagi-lagi tarikan tangan Mark pada lengannya membuat Marsha mendongak. Menyadari jika Mark tengah menarik kursi untuknya. Itu pertanda jika dia harus duduk dan ikut makan malam bersama. Lagi-lagi Marsha menurut dengan apa yang Mark inginkan.
Pikiran Marsha berkelana ke mana-mana. Berpikir keras mencoba menelaah akan hubungan Mark Patterson juga Mario. Kini benang kusut itu sedikit memudar. Pantas saja Mark mengetahui namanya. Dan yah ... Marsha harus meyakini jika semua surat-surat berharga miliknya yang Mario bawa sudah pasti jatuh di tangan Mark sebagai jaminan hutang Mario. Astaga! Kenapa jadi serumit hidupnya karena Mario juga Mark.
Harus terlibat hutang Mario dan sekarang dia pun harus terlibat akan sandiwara Mark di hadapan keluarga besar Patterson. Jika seperti ini Marsha bisa gilaa sungguhan. Menyalahkan takdir Tuhan untuk apa dia tak diijinkan mengakhiri hidupnya tadi dan justru harus dipertemukan dengan orang-orang yang sepatutnya tak ia temui.
Mark, tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Marsha. Pandangan kosong lebih terlihat jika gadis itu sedang melamun. Lihat saja bagaimana Daddy yang bertanya-tanya melalui tatapan mata. Dan kini Mommy yang juga ikut bergabung di meja makan sama dengan Daddy tengah memperhatikan Marsha. Mark meraup wajahnya. Merutuki kebodohan Marsha yang tengah mempermalukan dirinya di depan keluarga besarnya. Sial! Sepertinya ini bukan saat yang tepat untuknya membawa Marsha.