empat

1606 Words
“Tata!” “Hm.” Abaikan Bebel yang sedang teriak heboh dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Yang pasti, sekarang, di saat aku sedang berkutat dengan laptop (berusaha segera menyelesaikan naskahku), ia langsung duduk di sebelah. “Jangan berisik, Bel. Gue harus cepet selesaikan ini. Elo tahu kan betapa ceriwisnya editor gue.” Aku bukan orang baru dalam dunia deadline begini. Aku pernah bekerja sebelumnya, jadi, mengerjakan sesuatu di bawah tekanan sudah bukan masalah. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah, ternyata menulis sebuah kisah romansa tak bisa disamakan dengan pekerjaan kantoran. Aku tidak bisa dipaksa soal yang satu ini. Akan tetapi, aku juga nggak mungkin bisa bersikap egois, sebab yang naskahnya akan diterbitkan pun bukan hanya milikku. Aku harus patuh terhadap timeline yang mereka buat. Bersyukurnya, karena untuk menjalankan semua itu, perkembangan teknologi sudah menjawabnya. Jadi, tak wajib ada tatap muka untuk membahas setiap perkembangan. Aku hanya perlu siap mendapat pesan, email dan telepon kapan pun. “Masih belum kelar juga?” “Hm.” “Masih banyak?” “Gue lagi mikirin gimana eksekusi ending yang epik. Sulit, Bel.” Aku berhenti mengetik, menatap Bebel yang sedang ... kenapa dia tersenyum lebar? “Elo kenapa? Baru menang undian?” “More than that. Tebak apa?” “Apaan sih. Nggak usah sok main tebak-tebakan sama gue. Kalau nggak mau kasih tahu juga nggak apa, gue kan bukan ratu kepo.” “Salah, Honey.” Seringainya muncul secara berlebihan. “Kalau lo tahu berita apa yang gue bawa, gue yakin lo rela berhentiin waktu Cuma buat tahu rincinya.” Refleks, aku tertawa. Gadis ini memang ada-ada tingkahnya. Di panggung, boleh saja dia menyanyikan lagu-lagu menyayat isi hati wanita. Namun, siapa yang bakal mengira kalau isi otaknya nggak jauh lebih gila dari para komika? “Tertawalah sepuasmu, Tata. Karena setelah ini, elo bakalan nggak berkutik.” “Sorry?” “Inget kan kalau gue lagi mau bikin single baru buat album kedua?” Aku mengangguk. “Hari ini, gue dikenalin sama single writer keren kalau kata produser gue. Kerja sama juga sama komposer andalan. Lirik lagu buatannya tuh ngena di hati. Katanya, dia juga pernah bikinin lagu buat Andra. Si penyanyi mellow itu. Tahu sendiri kan lo tuh lirik lagu kayak gimana. Tapi selama ini, gue nggak pernah pengen tahu siapa yang bikin, Dan, lo tau siapa dia itu?” “Yovie.” “Bukanlah, buset!” “Terus?” “Bhadra.” Senyumannya lebar. “Bhadra Bayuadjie, Honey. Dia nggak cuma nganggur, tapi bisa bikin lirik lagu.” Dunia pasti sudah tua. Lagipula, apakah Bebel sungguh berpikir aku sepeduli itu mengenai Bhadra?   ***   Mas ... apa kabar? Kamu nggak mau ngasih tau kenapa jadi kayak gini? Lolita dan Bhadra? Mengapa deket banget? Aku tahu ada yang salah. Seharusnya tak boleh merasakan percikan rindu di saat momen sudah begitu aneh. Seharusnya aku menahan diri untuk tidak mengirimi pesan Mas Agra. Seharusnya aku tahu kalau sejak pertemuan malam itu, aku dan Mas Agra benar-benar akan berbeda. Seharusnya aku juga tahu, kalau si berengsek Bhadra memang nggak akan semudah itu menyelesaikan semuanya. Satu minggu, Mas Agra tak ada kabar. Demi Tuhan, aku tidak akan membetulkan omongan Bebel mengenai hatiku yang mulai menambat pada laki-laki itu. Astaga, tolong! Aku masih waras untuk jatuh cinta pada suami orang. Yang harus dan akan selalu kupahami adalah, bahwa Agraprana cinta mati dengan Lolita. Bahwa, Agraprana hanya meminta waktuku untuk mendengarkan ceritanya. Dan, bahwa sekarang aku membenci karena merasa kehilangan keadaan---di mana, aku dan Mas Agra memiliki waktu. Ah, sialan! Ngapain sih Bhadra itu harus datang ke kehidupanku tanpa permisi. Apa-apaan pula dia memainkan skenario picik dan melibatkan semuanya. Oh tunggu dulu, jika mengingat informasi dari Bebel bahwa selain blogger, Bhadra merupakan seorang song writer, terlihat nyambung karena ia butuh inspirasi untuk menciptakan lirik. Lupakan, aku butuh Mas Agra. Sangat butuh kehadirannya agar aku segera bisa merampungkan naskah yang sudah ditodong oleh editor. Sebab aku nggak tahu harus mencari ide di mana mengenai perlakuan manis laki-laki pada perempuan kalau bukan dari sosok sesempurna dia. Ending dari kisah fiksiku ini harus kutulis sedemikian sempurnanya jika aku tak ingin para penikmatnya kecewa. "Honey, aku keluar ya... Mau nitip sesuatu?" "Hm." Mataku seketika melotot. "Bebel, apaan sih!" "Elo tuh ya, kalau udah di depan laptop, lupa segalanya. Ini apaan, udah abis berapa gelas kopi, hah? Mau bunuh diri?" Aku mendengus, merebut kembali laptop yang ia angkat. Benda berat begini ngapain dimainin. "Belum pernah denger kok ada orang mati karena minum kopi." "Dan, elo bisa aja jadi yang pertama. Ah ngomong-ngomong, Tata, ini nanti gue mau ngobrol Bhadra buat review lagu. Gimana?" “Apanya?” “Nggak ada yang pengen lo sampein?” Aku tergelak. “Dia bukan urusan gue. Udah sana.” "Mari lihat." Perempuan itu terbahak, lalu suaranya tak kudengar lagi. Sampai di saat aku sudah mulai kembali masuk pada lagu dan imajinasi, aku mendengar suara denting ponsel sekaligus bisikan Bebel setelah ia menarik lepas headphone-ku. "Gue tinggalin lo sama Bhadra berdua, bukan buat saling adu tatap ya. Gue ke luar dulu, sore nanti baru ngerjain misi bareng Bhadra. Bye, Honey." "Sori?" Dan, ketika aku menoleh ke belakang, mengarahkan pandangan pada Bebel yang sudah berjalan, aku kemudian tersedak ludah sendiri. Di sana, di pintu kamarku, ada Bhadra yang sedang melambaikan tangan. Tersenyum miring. Kerjaan Bebel memang nggak beres! "Halo, Tata. Semenyedihkan ini malammu tanpa Mas Agra?" "Bukan urusanmu. Jangan masuk ruang privasi saya. Mendingan kamu keluar dan tidur di kamarmu sendiri." "Oh? Kalau Mas Agra, diizinkan masuk?" "Sumpah ya, Bhadra. Kita nggak saling kenal. Jadi, urusan kita selesai." "Nggak semudah itu, Baby. Butuh sesuatu untuk menemani lemburmu?,Saya sudah terbiasa tidur malam, ngomong-ngomong. Kata Bebel, saya harus nunggu dia dulu sebentar.” "Saya nggak butuh tau." Ada suara tawa kecil. "Nggak butuh teman?" Memilih abai pada manusia satu itu, aku melirik cemas layar ponsel. Ada pesan dari laki-laki yang memang kuharapkan sejak beberapa bari ini . Tanpa bisa kucegah, senyumku mengembang. Agraprana B : Tata, maaf, nggak bisa nemuin kamu dalam beberapa hari. Sejak malam itu, Bhadra kembali seperti sedia kala; tidur di rumah. Ceria kayak biasanya. Dan, aku justru takut kalau ini tanda bahaya. Aku temui kamu nanti, kalau suasananya normal. Kulirik, Bhadra masih di tempat semula. Malah bersandar di kusen. Kemudian, saat pandangan kami bertemu, dia melambaikan tangan sambil mengangkat sudut bibir; culas. Apa yang ditakutkan dari Bhadra oleh Mas Agra? Kenapa dia tak pernah berani melawan? Ya Tuhaaaaan! Tahu begini, dari dulu aku akan mengorek lebih dalam tentang keluarga Mas Agra kendati aku tahu itu nggak benar. Mulai dari semua tentang Lolita, awal pekernalannya, proses pacaran dan apa pun. Lalu, Papanya itu yang selalu tersenyum. Dan, adiknya ini, adik paling kurang ajar. Persetan dengan rasa penasaran ini! Persetan dengan siapa pun laki-laki yang kini kudekati, semakin dekat aku membawa langkah kaki. Berengsek satu ini memang barus diberi pelajaran. Apa ya kira-kira ... tamparan? Oopss, dia lumayan kaget. "Apa-apaan, Tata?" matanya menatap nyalang. Dan, siapa yang takut. Ini area kuasaku. "Tamparan. Kurang kerasa? Mau lagi?" "Sebegini nggak punya attitude-nya kamu sampai berani---" "Kamu yang nggak punya attitude! Ngapain berdiri di sini? Dengar, Bhadra... Saya diam bukan berarti semua yang kamu katakan itu benar. Bukan. Tapi memang, kamu bukan seseorang yang pantas saya ajak ngobrol lebih jauh. Paham?" Adalah tawa yang kudengar. Tawa yang cukup kencang. "Saya ke sini sekalian mau kasih ini." Aku menatap malas pada apa yang ia sodorkan. "Terima ini, Tata. Dengar, memaksa adalah hobi saya." Aku tertawa. "Dan dengar, penurut bukanlah salah satu sifat saya." "Oh? Yakin?" Ia menempatkan ponsel di depan telinga kiri. "Halo, Papa, udah dikasih. Ini Bhadra lagi sama Tata. Mau ngomong?" Sialaaaan! Dengan tergagap karena Bhadra langsung menodongkan benda itu ke hadapan, aku membuka mulut. "I-iya, Om. Halo?" "Tata ... Bhadra kasih undangannya, kan?" Undangan? Mampus. Ternyata laki-laki ini datang membawa undangan? "I-iya, Om. Sudak kok." "Iya. Itu pernikahannya anak sahabat Om. Sudah seperti keluarga. Kata Bhadra, kamu butuh bukti undangan supaya mau datang ya." Tawa kecilnya mengudara, sementara aku menatap horor laki-laki yang kini malah mengendikan bahu. "Karena saya sudah kenal kamu, nggak apa ya kita pergi rame-rame?" "Ng ... " "Yasudah. Nanti, kalau mau datang bareng, bisa lho. Sama Mas Agra dan Mbak Lolita juga." "I-iya, nanti saya kabari lagi ya." Telepon ditutup. "Apa-apan, Bhadra?!" "Undangan. Datang ke sana. Bersamaku. Mudah aja, Tata." "Mudah bagimu, tidak bagiku!" "Karena ada Mas Agra di sana?" "Bukan urusanmu!" Belum sempat aku mengantisipasi, tubuhnya sudah merapat. Dicengkramnya erat lenganku dan ia memberiku tatapan mengerikan. "Ingat ini baik-baik, Tata, sejak saya menemukanmu bersama Mas Agra di depan unit, sejak itu harusnya kamu paham kalau kalimat 'bukan urusanmu' nggak berfungsi buat saya. Karena kamu ... kamu berhak mendapatkan ini." "Apa? Hah? Apa yang bisa saya dapatkan dari ini? Siapa yang coba kamu lindungi, Bhadra?" "Keluarga Kakakku." "Bukan Mbak Iparmu?" Cengkramannya mengerat, membuatku meringis. Dan, aku menemukan satu hal. Kemudian, pelan, bibirnya berbisik, "Dan, inilah kalimat untukmu: itu bukan urusanmu. Saya jemput kamu besok siang, karena Papa nggak bisa berangkat lebih dari itu. Selamat malam, Tata," bisiknya lembut. Lalu, dengan tiba-tiba dia mengecup rahangku. "Kamu wangi." "Berengsek, Bhadra! Sialan!" Aku berjalan tergesa, hendak melakukan sesuatu yang bisa membuatnya mengerti kalau aku bukan barang bebas disentuh. Namun, kakiku mendadak berhenti saat tubuhnya berbalik, dan telunjuknya mengacung. "Satu langkah mendekat, Tata, saya kasih kamu gimana perbedaan gerak badan dari seorang Agra dan Bhadra. Mau nyoba?" "Psikopat!" "Nggak masalah. Diam di situ. Atau, memang begini caramu bermain dengan Mas Agra?" "Tutup mulutmu!" "Dengan senang hati." Sebelum berbalik, dengan menjijikkan, ia melempar senyuman raja iblis dan ciuman jauh mengerikan. "Senang bermain dengan perempuan keras sepertimu, Tata!" Kakinya melangkah, tetapi ia kembali berbalik badan. “Ahya, tolong sampaikan pada Bebel, saya tunggu dia besok aja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD