Entah apa yang akan terjadi jika saja Anindira tidak siuman dan menyadari kalau tangannya menggelayut di leherku dan cepat menariknya dengan muka yang memerah. Aku pria normal yang baru siuman dari keto lolan tiga tahun lamanya, bisa saja aku menyentuh Anindira kembali malam ini.
Tapi bagaimana caranya? Aku tidak tega melihat wajah dan mata itu yang masih menyimpan sakit dan rasa takut. Bo dohnya kamu Arga! kamu pasti butuh waktu lama untuk membuat istrimu kembali membuka diri seperti dulu.
"Ma-maaf," ujar Anindira pelan, dia terlihat kebingungan saat menyadari tangannya ada di pundakku.
"Kamu tadi bermimpi Mama dan mungkin mengira aku yang membetulkan selimutmu adalah Mama kamu." Aku menjelaskan dengan canggung, berharap Anindira tidak merasa malu dan bingung.
"Kamu memanggil Mama kamu terus. Kamu rindu?" tanyaku lembut. Kelembutan pertama semenjak aku menikah. Luar biasa!
"Hey, jangan berisik!"
"Bisa tidak berjalan sopan di depanku?"
"Jangan manja! Perkawinan kita tidak seharusnya terjadi. Jadi posisikan dirimu dengan baik, agar aku tidak semakin menyesal karena tiba-tiba menikah denganmu."
Selama ini, aku mengucapkan kata- kata menyakitkan itu tanpa beban. Seperti tengah mengucapkan ramalan cuaca pada seorang teman baik yang baru berjumpa.
"Posisikan dirimu dengan semestinya, agar aku tidak semakin menyesal karena harus menyandang gelar suami untukmu!"
Kalimat sarkas yang selalu sukses membuat Anindira diam dengan wajah memucat. Tanpa sepatah kata lagi, dia akan beringsut masuk ke kamarnya. Entah apa yang dia lakukan di sana, menangis? atau cuma terisak diam- diam, aku tidak pernah peduli. Sejak itu, Anindira membuat dinding yang tinggi denganku. Kehadirannya nyaris tidak tersentuh, selain ruma yang rapih, pakaian yang bersih dan wangi dan semua keperluanku yang sudah tersedia tanpa aku harus melihat wajahnya.
Anindira melakukan semua tugasnya jauh sebelum aku bangun. Seperti pintaku selama ini, pergi sejauh yang dia bisa dari pandanganku. Kejam!
"Kamu rindu Mama kamu?" Aku mengulang tanya sekaligus mengakhiri lamunanku. Anindira tidak segera menjawab dan hanya menunduk.
"Saya sudah lama membuang rindu dan harap pada apapun yang akan membuat hati ini bahagia. Maafkan jika aku lancang karena memelukmu."
Anindira meminta maaf.
"Mulai sekarang belajarlah berharap."
Anindira tersenyum hambar.
"Mas terlalu sempurna untuk menerima harapan perempuan seperti ku."
"Maksudmu?"
Anindira tidak menjawab merapikan rambut legamnya yang terurai begitu saja di keningnya.
"Kita bicara yang lain." Anindira mengalihkan pembicaraan.
"Mas mau minum?" Anindira yang tahu kebiasaanku saat bangun malam segera beringsut bangkit menuju dispenser di samping nakas. Menuangkan air hangat pada gelas yang biasa aku pakai yang ada di dalam laci nakas.
"Apa perlu aku tambahkan teh biar hangat dan rilek, Mas?"
Pandainya dia mengalihkan topik, dia seolah enggan berbicara perasan.
"Anindira."
Aku mendekat, menerima gelas yang diulurkan oleh Anindira tanpa melihat.
"Jangan terus menghindariku," ucapku menatap tajam netra mata Anindira yang kecoklatan.
"Bukankah Mas yang meminta aku pergi sejauh yang aku bisa? Bukankah Mas yang meminta aku mandiri dan tidak menganggumu? Bukankah Mas juga yang memintaku jangan pernah berharap pada pernikahan ini?" Anindira tersenyum getir.
"Dan aku melakukannya untukmu. Agar Mas bahagia."
"Tapi...."
"Sudahlah, Mas. Tentang yang semalam... lupakan!"
"Apa maksudmu?"
"Lupakan kau pernah menyentuhku semalam. Aku tahu Ibu menginginkan keturunan, tapi apa yang bisa kita berikan pada seseorang bergelar anak kalau diantara kita hanya ada kebencian dan sesal? Anak tidak akan bahagia jika pernikahan orang tuanya tanpa cinta."
Aku makin mendekat. Apa aku tidak salah mendengar? Anindira yang kusangka bo doh dan lugu berbicara begitu panjang dan runtut. Lalu apa benar pula kalau sekarang di hatiku tidak ada cinta? Entahlah.
"Kau bisa bicara panjang lebar kepadaku?"
Anindira tersenyum, entah merasa lucu dengan pertanyaanku yang entah terdengar polos, entah terdengar bo doh.
"Aku wanita, kaum yang pandai mengutarakan rasa dengan untaian kata, tapi aku tahu diri, tak semua telinga ingin mendengar keluh kesahku."
"Maafkan aku, mulai sekarang belajarlah bicara padaku."
Anindira tersenyum.
"Mas, nanti akan mendapatkan nya dari wanita yang pantas."
"Anindira!"
Aku melotot.
Tuhan, adakah dia sudah tahu semuanya? Hatiku tiba-tiba berdegup tidak karuan.
***
Hawa mulai terasa dingin. Sepertinya hari menjelang subuh. Lapat dari kejauhan mulai ada suara Kalam ilahi dari pengeras suara masjid, syahdu dan merdu menelisik kalbu. Anindira perlahan bangkit dan minta izin untuk ke dapur, Ibu memintanya membuat lontong sayur untuk sarapan pagi ini. Sambil menunggu subuh, Anindira akan membuat Aron nasi dan menyiapkan bumbu.
Aku mengikuti Anindira yang pergi ke dapur. Entah mengapa ada rasa tak tega melihat perempuan itu melakukan apapun sendirian selama di rumah Ibu. Tak sekalipun Intan membantunya.
"Mas tidak usah mengikuti aku. Sebentar lagi subuh, tunggulah di kamar," ujarnya.
"Mas alergi dingin. Nanti aku bawakan teh jahe hangat."
Anindira menghentikan langkah di ruang tengah. Setelah begitu banyak lembar luka yang aku goreskan dalam hatinya, dia masih saja perduli. Dadaku terasa menggerimit perih.
"Dapur Ibu luas, nanti kamu iseng. Aku temani, ya?"
"Mas mau menemani aku?" Mata Anindira tampak tidak percaya. Tiba- tiba ada sekelumit binar yang muncul di dua netra matanya. Dia tampaknya senang aku temani, aku tahu Anindira penakut.
"Tentu saja, kamu penakut bukan?"
Anindira tersenyum. Kali ini senyumnya manis dan lepas. Aku senang melihatnya.
"Baiklah, temani aku. Nanti Mas aku bikinkan goreng singkong krispi."
"Asik."
Aku dan Anindira tertawa. Tawa pertama di tiga tahun pernikahan kami. Aneh sekali.
"Huhu..."
"Maafkan aku, Mas. Aku khilaf. Huhu."
Aku menghentikan langkah. Tangisan intan meski samar tapi jelas terdengar ke tempat aku dan Anindira berada.
"Aku meninggalkan Anindira karena aku menganggapnya tidak suci dan kotor. ternyata kamulah yang kotor. Setelah aku memaafkan keadaanmu yang tidak suci di malam pertama kita, haruskah kau ungkit luka hatiku dengan menghadirkan pria lain dalam hidupmu?" Suara Laksamana yang emosi terdengar ke tempatku dan Anindira berada.
Di malam pertamanya intan sudah tidak suci dan kini berselingkuh! Dengan cepat otakku menyimpulkan.
Aku merasa tiba-tiba tubuhku berdiri dengan tegang. Kulihat Anindira yang hanya terpaku dengan mata yang tampak berembun.
Aku mengerti tatapan luka di mata istriku, dulu sebelum dirinya ditinggalkan di pelaminan, cintanya untuk Laksamana pernah begitu besar.
Aduh, mengapa tiba- tiba ada perasaan takut ditinggalkan Anindira yang mendera hatiku? Adakah aku mulai mencinta Anindira?
Lalu bagaimana dengan Wak Jamil dan Armala? Bagaimana juga dengan Ibu dan Bapak?
Gusti Allah,
Aku tidak menduga kalau hati dan perasaanku akan serumit ini.