Wanita Istimewa

993 Words
Selain Bapak, Ibu dan Intan, aku, Laksamana dan Anindira lebih banyak diam dan menyimak. Intan mendominasi suasana, terlihat kalau dia memang sangat percaya diri dan ingin menonjol dibanding Anindira. Tentu saja, dia wanita karir, penuh dukungan dan di enam bulan pernikahannya, Laksamana memperlakukan dirinya seperti ratu. Sementara Anindira? Dia hanya di rumah dan lebih banyak berteman sunyi. Jika pepatah mengatakan kalau di tangan suami yang tepat, wanita akan berkilau laksana mutiara dan sebaliknya ditangan pria be debah, wanita akan menjelma menjadi wanita lemah dan penuh luka. Anindira kalah banyak dari Intan, tidak dari penampilannya yang berbeda jauh, pun dari gaya bicara dan kesupelan-nya. Satu- satunya kelebihan Anin, dia begitu rajin dan pandai membawa diri, lebih tepatnya Anindira tahu diri, jika dia tidak pernah memiliki bahu dan d**a untuk bersandar walau hanya sesaat mengadukan garis hidupnya yang penuh lara. Tapi anehnya aku tidak melihat Laksamana bangga dan bahagia, seperti Anindira dia juga banyak terdiam dan bisu. Adzan Isa mulai berkumandang saat acara makan malam selesai. Aku dan Bapak bergegas untuk pergi ke mesjid diikuti Laksamana. Bapak keras dalam hal solat berjamaah, jika aku mudik, tak sekalipun Bapak membiarkan aku dan Laksamana solat di rumah. Bapak keras, bijaksana dan begitu mencintai Ibu, sesuatu yang membuat Ibu begitu penurut dan setia. Aku ingin seperti Bapak, tapi takdir dan keegoisan melemparkan aku pada kesalahan yang memalukan. Aku pecundang! Suara piring dan wadah samar terdengar ke ruang tengah saat aku dan Bapak mengobrol setelah menunaikan solat berjamaah, ditemani Ibu dan juga Intan. "Bu, panggil Anin! Cuci piringnya bisa besok." Bapak melirik pada Ibu. "Oalah, Anin memang rajin banget. Padahal Ibu sudah larang." Ibu segera beranjak ke dapur diikuti aku. Entah mengapa sejak kejadian semalam aku rasanya begitu peduli pada istriku, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan selama ini, bahkan saat usia pernikahanku dengan Anindira sudah menghitung ratusan bahkan ribuan hari. "Nak, taruh saja. Besok Bi Nah ke sini buat beres- beres." Ibu langsung beranjak ke tempat cuci piring di mana Anindira berada. "Sudah beres, Bu." Anindira tersenyum, menyimpan wadah terakhirnya di rak piring. Penampakan dapur terlihat rapi dan bersih. Tak ada lagi wajan dan benda yang tertata tidak beraturan, maklum Ibu dan Bi Nah sudah sepuh, sudah kurang tenaga jika harus membereskan dapur yang lumayan luas. "Kamu istri yang luar biasa, bukan hanya cantik tapi pandai merawat rumah," puji Ibu tulus, membuat Anindira tersenyum. Senyum pertama sejak pagi ini. "Ibu bisa saja, sudah sepatutnya Ibu rumah tangga melakukan hal seperti ini." Anindia menjawab sopan. "Jika Mamamu masih ada, dia pasti bangga padamu." Ibu tersenyum lembut. "Aku dan Mamamu bersahabat. Dulu kami pernah lama satu kosan saat kuliah." Jika mendengar dari obrolan Ibu, Ibu dan Mamanya Anindira termasuk gadis terpelajar, karena di masanya jarang ada wanita melanjutkan sekolah tinggi apalagi sampai bangku kuliah. Anindira tersenyum sendu. Wajahnya tampak sedih saat Ibu mengucap kata Mama. Pasti dia rindu sosok seorang Ibu, apalagi selama menikah denganku begitu banyak hal yang membuatnya bersedih dan sakit hati. "Kau mewarisi semua yang Sofia punya. Cantik, lembut dan baik hati." Ibu membelai punggung Anindira. "Seharusnya Arfan sadar kalau Sofia jauh lebih baik dari Harti." Ibu mendengus ada binar marah saat menyebut nama Harti. Harti adalah ibu tiri untuk Anindira saat ini. Perempuan yang tidak sedikitpun menitikkan air mata saat aku membawa Anindira pergi. "Ibu tahu banyak tentang kehidupan keluargamu, Nak. Makanya Ibu tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu. Cukup Sofia yang menderita," ujar Ibu lirih. Aku menelan ludah, Ibu, aku bahkan menyakiti Anindira sesaat setelah aku mengucap ijab kabul di depan penghulu. Bagaimana mungkin Ibu tidak tahu? Sepandai itukah kau menyembunyikan lukamu, Anindira? "Ayok, Nak. Kita ngumpul di ruang keluarga. Ibu kangen saat bersama seperti ini. Sejak Arga dan Laksamana berkarir di kota, kebersamaan rasanya begitu mahal ibu rasakan." "Baiklah, Bu. Nanti Anin bergabung, Anin mau membuatkan dulu teh jahe sama pisang mentega kesukaan Bapak dan Mas Arga." Anindira.... Bahkan di saat hatimu hancur, kau masih ingat makanan dan minuman kesukaanku di tempat dingin. Lalu apa yang telah kau berikan padanya Arga? Luka. Hanya luka. *** Malam sudah beranjak larut. Udara Pangalengan yang dingin membuat aku cukup menggigil dan ingin menenggelamkan lebih dalam lagi pada selimut tebal yang aku pakai. Dua hari lagi, aku akan pulang ke Bogor seiring cutiku yang mau habis, berarti dua hari lagi aku menikmati udara dingin yang jujur kadang begitu aku rindukan. Seperti hari kemarin, Anindira memilih tidur di sofa di sudut kamarku yang luas dan tampak berjuang melawan hawa dingin dalam diam. Jika hari kemarin aku begitu muak mendapati tubuh itu meringkuk satu kamar denganku, entah mengapa kini aku merasa iba. Aku terbangun dan mendapati jam sudah pukul satu malam, tenggorokanku rasanya kering dan ingin minum. "Mama." Langkahku terhenti. Anindira mengigau. Wajahnya terlihat sembab dengan mata sedikit bengkak. Perlahan aku mendekat, ragu aku mengulurkan tangan menyentuh dahinya. Aku menghela napas lega. Anindira tidak panas, dia hanya mengigau. Mungkin Ibu yang bercerita tentang Mamanya terbawa mimpi. Aku membetulkan selimutnya hati-hati. Berusaha tidak melihat tanda memar di lengannya bekas kelakuanku tadi malam, tidak juga tanda ungu di pundaknya yang terlihat jelas di kulitnya yang langsat. Gusti Allah, semoga Anindira tidak trauma, aku merintih sedih. Lembut aku mengusap rambut legamnya yang menutupi sebagian kening dan wajahnya yang terlihat letih. Belaian pertama dari seorang pria bergelar suami yang telah melewati ribuan hari bersamanya. Miris! "Jangan pergi, Mama. Anin lelah...." Dadaku berdenyut pilu, Anindira tiba- tiba mencengkram erat tanganku, mungkin dalam mimpinya, Mamanya yang tengah mengusap rambutnya. "Mama jangan pergi, peluk aku. Papa, Mama Harti, Serli semua jahat padaku." Aku menahan napas yang terasa berat, baru menyadari sebelum dia datang dalam kehidupanku, dia pasti melewati hari yang berat di rumahnya bersama Ibu tiri dan putrinya yang manja. "Mama, aku ingin pulang." Anindira terus mengigau. Tuhan, dia tidak menyebut namaku! Dia tidak memasukan aku pada daftar orang yang jahat padanya. Setelah tiga tahun aku sakiti dan kunistakan, bahkan dia tidak menyebut namaku dalam sesalnya. "Peluk aku. Bawa aku pergi, Mama." Anindira tiba-tiba melingkarkan tangannya di leherku begitu erat. Deg, serrr. dadaku mendadak berdebar tidak karuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD