Suara spatula dari arah dapur terdengar samar, saat aku membuka pintu samping rumah Ibu. Hari sudah mulai terang saat aku sampai di rumah. Aku memang sengaja mampir ke warung Mang Endang untuk membeli s**u murni hangat seperti yang aku janjikan pada Anindira. Aku membeli beberapa bungkus karena di rumah ini juga ada Laksa dan Intan. Setelah pertengkaranku dengannya dini hari tadi, aku tidak melihat Laksa keluar kamar. Biasanya aku pergi ke mesjid bersama-sama, jika kesiangan kadang Bapak juga ikut bareng denganku. Kami berjalan beriringan melintasi jalan yang dulu begitu sering kulalui, rasanya begitu sahdu dan indah. Meski sudah sepuh, bapak tetap bugar dan berwibawa. Berjalan bersamanya seolah mengembalikan kenangan masa remaja dan masa kecilku yang begitu indah.
"Kamu pacaran sama Armala?" tanya Bapak saat aku sudah menginjak kelas tiga SMA.
"Betul, Pak. Dia pacaran sama Mala. Aku yang suka nganterin surat juga menyampaikan pesannya."
Aku mendelik ke arah Laksamana.Aku takut Bapak yang keras marah padaku dan mendatangi Wak Jamil untuk menasihati Armala agar jangan dulu pacaran.
"Jangan dulu pacaran, Arga. Fokus dulu sekolah."
Betul saja, Bapak melarang aku pacaran dulu, membuat aku menjalin kasih dengan Armala diam-diam. Berkirim pesan, atau kadang- kadang aku pergi ke rumah dia tanpa sepengetahuan Bapak, hanya itu yang aku lakukan dengan Armala, tidak lebih. Armala dan aku menjaga diri, sampai aku kuliah di luar kota dan bekerja, hanya satu Armala yang menjadi pacarku. Sampai Laksa meninggalkan Anindira di pelaminan begitu saja, hubunganku dengan Armala menjadi tidak jelas dan terkatung-katung. Meski aku menikahi Anindira dengan terpaksa, tapi tidak sekalipun aku menemui Armala kembali selain janjiku sesaat setelah aku menikahi Anindira.
"Tunggu aku, Mala!"
Ah, aku menghela napas berat, bayangan tentang Armala membuat aku tidak tenang.
"Sudah kembali rupanya, Nak. Bapak pergi mancing hari ini. Wak Jamil menghubungi Bapak tadi subuh, katanya ikannya sudah besar-besar. Kalau kamu mau ikut mancing, bisa nyusul ke kolam Wak Jamil."
Deg. Wajahku terasa sedikit panas. Baru saja aku teringat Wak Jamil dan Armala serta rasa bimbangku yang teringat janjiku pada Armala, kini Bapak malah pergi ke rumah Wak Jamil dan memancing. Bagaimana ini?
Bagaimana kalau Wak Jamil dan Armala bercerita panjang lebar tentang nasib hubunganku yang tergantung tidak jelas dan butuh penyelesaian. Kenyataannya Armala belum menikah, itu yang aku dengar dari Ibu.
"Heran, gadis seperti Armala belum menikah. Banyak pria datang melamar, tapi dia masih sendiri." Ibu bergumam seperti ikut prihatin. Aku yang sedang minum kopi senja itu, hampir tersedak dan nyaris memuntahkan nya kembali.
"Kenapa, Nak?" Ibu tampak kaget dengan sikapku, yang buru-buru aku jawab dengan gelengan agar ibu yakin bahwa diantara aku dan Armala tidak terjadi apapun.
"Arga, ibu sudah membuatkanmu sarapan. Panggilkan Anin, kita sarapan bersama." Suara ibu membuyarkan lamunanku. Harum nasi goreng buatan Ibu membuat perutku jadi lapar.
"Bi Nah buatin jeruk panas dan sambal kacang, Den Arga lagi kecil suka sekali." Bi Nah menimpali. Asisten rumah tangga Ibu ini begitu setia menemani Ibu dari aku kecil. Kepadanya aku dan Laksa juga begitu sayang dan menaruh hormat. Di mataku, Bi Nah bukan lah pembantu di rumah ini tapi ibu kedua setelah Ibu.
"Oke, Bi. Aku ke kamar dulu memanggil Anin."
Bi Nah tersenyum melihat aku yang selalu bersemangat dengan semua masakannya. Langkahku bergegas menuju kamar hati- hati aku membuka pintu.
Mataku sedikit mengerjap, karena melihat Anin yang tertidur di kasurku sambil memeluk bajuku dan beberapa lainnya yang siap dimasukan ke dalam tas. Sepertinya dia tertidur saat packing pakaian karena waktuku tidak lagi lama di rumah Ibu seiring cutiku yang mau habis. Mungkin peristiwa dini hari dengan Laksamana membuatnya lelah dan sedikit tidak tenang.
Aku mendekat, perlahan membetulkan letak kepala Anindira yang miring dan terlihat tidak nyaman. Ada rasa iba saat aku menatap wajahnya yang tengah terlelap dan terlihat sendu.
Wajah yang selama ini tidak sekalipun aku tatap dengan cinta apalagi rindu. Lembut aku merapikan anak rambut yang menutupi matanya, Anindira hanya menggeliat dan kembali terlelap saat entah keberanian dari mana, aku tiba- tiba saja mencium keningnya, meresapi perasaan hangat yang terasa begitu asing namun indah. Perasaan yang bahkan tidak pernah aku rasakan meski pada Armala sekalipun. Rasa yang membuat jiwaku sejenak mengawang dengan rasa yang terasa...entah.
"Mas?" Anindira terjaga, membuat parasku seketika memerah tidak keruan.
"Maaf, aku ketiduran." Anindira tampak tidak enak hati.
"Tidurlah kembali, kalau lapar biar Mas bawakan Sarapannya ke sini."
"Ish."
"Masak dibawain ke sini sarapannya, sudah begitu tidak bantuin pula." Wajah Anin merona seketika.
Aku tersenyum.
"Tidak masalah, sekali-kali aku yang melayanimu."
Anindira tidak menjawab dan berusaha bangkit namun posisinya yang tidak seimbang membuat tubuhnya oleng dan tanpa diduga jatuh ke dalam pelukanku.
Gusti Allah, aku ingin jam berhenti berputar agar Anindira berada lebih lama dalam dekapan.
****
Aku dan Anindira akhirnya makan di ruang keluarga bersama Ibu. Laksamana dan Intan juga ikut bergabung karena Ibu terus memanggil mereka. Wajah Laksa tampak kuyu dan terlihat tidak bersemangat, sementara Intan terlihat wajahnya sebah. Kedua matanya bengkak, aku menduga kalau mereka bertengkar begitu hebat. Lebih tidak menduga lagi, kalau Intan berselingkuh di usia pernikahan yang baru sebentar.
Kadang cinta saja tidak cukup untuk membuat hati setia. Kadang wajah cantik dan tubuh sempurna malah menjadi bumerang jika yang memilikinya wanita kurang iman.
Entah mengapa aku sedikit muak melihat perempuan itu. Bagaimana bisa dia berselingkuh sementara Laksa begitu baik, bahkan saat mendapati kenyataan di malam pertamanya sudah tidak suci lagi.
Laksa telah mempermainkan nasibnya, tanpa tabayyun dia meninggalkan Anindira di pelaminan dan kenyataannya, kini dia mendapati istri yang dibanggakannya malah sudah tidak suci dan malah tidak setia. Aku menghela napas, aku sungguh merasa bersyukur kalau ternyata Allah menuliskan Anindira dalam hidupku.
Anindia makan di saampingku dengan tenang, seperti biasa dia bersikap santun dan tidak banyak bicara. Diam-diam aku memperhatikan sikap Laksamana yang beberapa kali mencuri pandang pada Anindira.
Aku tersenyum kecut, tidak suka.
"Cepat habisnya makanannya," bisikku pada Anindira sesaat setelah Ibu selesai. Aku ingin segera pergi ke tempat lain agar Anindira tidak berada satu tempat dengan Laksamana. Aku cemburu dengan tatapan adikku. Rasa yang bahkan datang tiba- tiba tanpa kuduga membuat aku takut kehilangan Ainindira.
Anindira mengangguk dan menuruti perintahku, sesaat Ibu dengan wajah yang begitu serius kembali dari dapur dan berbisik ke telingaku.
"Wak Jamil dan Armala sedang dalam perjalanan."
"A-apa?" Dadaku terasa berhenti berdetak dengan tiba-tiba.