Mata Anindira begitu buram saat melajukan motor membelah jalanan yang sepi dan lengang di hadapannya. Dia bahkan berkali-kali menyeka air mata dengan ujung hijab yang dikenakannya. Entah apa bentuk hatinya saat ini, dia yakin sudah tidak ada bentuknya. Hancur, berkeping dan berdarah. Tak dihiraukannya lagi semua kenangan di rumah yang selama dua hari ini terasa manis dan indah, sekuat tenaga dia terus melakukan motornya beharap tak seorang pun bisa mengejarnya. Selamat tinggal Ibu, Bapak, maafkan jika aku tidak lagi sanggup bertahan dalam penderita dan rasa hina. Anindira berbisik lirih, melajukan motornya lebih kencang lagi sebelum Arga menyadari kepergian nya. Air mata Anindira terus merembes, teringat kemanisan yang mulai ditunjukan Arga, suaminya, ternyata semuanya hanya fatamorgana