4. Bertengkar

1176 Words
"Istri keterlaluan kamu, Nura! Gara-gara kamu aku kehilangan uang lima puluh ribu begitu saja. Kenapa kamu gak bilang kalau undangan ke Taman Mini? Hah? Kenapa diam?! Capek-capek aku sampai di sana, malah makanan habis. Apesnya lagi, uang amplop aku gak bisa ambil balik. Pokoknya kamu harus tanggung jawab, selama dua hari kamu tidak akan aku kasih uang belanja!" "Biasa aja dong ngomongnya, jangan pakai urat! Hujan jigong!" Aku mengusap kesal pipi dan keningku yang bertubi-tubi dihujanin jigong Kang Dadang. "Aku gak Kakang kasih uang belanja, Akang gak akan makan juga. Aku sih bisa aja puasa. Makanya jadi orang jangan selalu berpikiran licik dan jahat sama orang, jadinya rugi sendiri," balasku lagi tidak mau kalah. Napasnya naik turun karena begitu marah padaku. Suara tetangga di luar sana mulai terdengar kasak-kusuk di depan rumahku. Malu? Tentu sudah tebal wajah ini menahan malu karena kelakuan suami yang seperti tidak pernah belajar ilmu agama. "Jawab terus kamu kalau aku marah! Durhaka itu!" Hardik nya sambil menekan keningku hingga tubuhku terhuyung ke belakang dua langkah. "Akang yang durhaka sama istri. Istri ini manusia, bukan buaya! Aku benci Kang Dadang!" Aku menangis berteriak di depannya. Lekas aku berlari masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan menguncinya dengan cepat. Bukan lagi tersedu, aku menangis sambil berteriak layaknya anak kecil yang tantrum saat tidak dibelikan mainan oleh orang tuanya saat di pasar. "Nura! Buka!" "Pergi! Jangan ganggu aku!" Balasku tidak kalah melengking. Kututup telinga dengan bantal sambil terus menangis dengan meraung. Aku benci suamiku, tetapi aku tidak bisa melakukan apapun. Ingin sekali aku berpisah dengannya, tetapi aku belum punya nyali. Aku juga tidak punya cukup uang untuk ke pengadilan mengajukan gugatan. Jika ibuku tahu akan hal ini, aku tidak yakin jantungnya akan baik-baik saja. Penyakit mengerikan itu bisa menyerang beliau kapan saja dan aku belum siap untuk kehilangan satu-satunya orang yang sampai saat ini rajin mendoakanku. Suara getar ponselku di atas meja, membuatku menoleh kaget. Lekas aku berjalan untuk meraih benda pipih yang sudah retak bagian layarnya. Ada nama Mbak Nuri tertera di sana. Ehm ["Halo, assalamu'alaikum."] ["Wa'alaykumussalam. Nura, suara kamu kenapa?"] ["Baru saja tersedak, Mbak."] ["Oh, minum dulu sana!"] ["Nanti saja, Mbak, udah gak batuk kok. Cuma suaranya aja masih bindeng. Ada apa, Mbak? Ibu apa kabar?"] ["Nura, ibu lagi sakit, Mbak sudah bawa ke dokter, tapi obatnya gak semua di kover BPJS ada yang harus dibeli di luar. Mbak lagi sepi jahitan baju, uangnya gak cukup. Apa kamu punya sedikit tabungan? Gak banyak kok, harga obatnya dua ratus delapan puluh. Mbak Nuri punya seratus lima puluh, sisanya seratus tiga puluh ribu. Kamu ada gak?"] ["Gak ada, Mbak, saya harus minta Kang Dadang dulu."] ["Memangnya Dadang mau ngasih? Terakhir ibu sakit, lima puluh ribu saja dia gak kasih."] ["Saya coba dulu saja, Mbak Semoga dapat. Seratus tiga puluh ya."] ["Iya, benar, kalau dapat, besok kamu ke bank untuk transfer ya."] ["Iya, Mbak, salam sama ibu ya."] Aku mengusap sisa air mata yang masih menggenang. Sebenarnya malas berdamai dengan Kang Dadang malam ini, tetapi hal itu harus aku lakukan demi mama. Penyakitnya butuh obat dan aku tidak boleh egois. Anak kunci kuputar dua kali. Kaki ini melangkah ragu menuju kursi tamu, karena suamiku masih duduk di sana sambil menikmati rokoknya. Dia memang selalu seperti ini jika baru saja bertengkar denganku. Rokok adalah cara menenangkannya, padahal setiap harinya ia jarang sekali merokok. "Kang," panggilku dengan suara lemah. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh. Ia asik dengan rokok sambil menonton televisi. "Kang," panggilku lagi kali ini sambil menepuk pelan pundaknya. "Kenapa? Tumben banget habis ngamuk nyamperin saya. Biasanya dua hari baru ada suara. Kenapa? Lagi butuh duit? Apa udah tobat?" "Butuh duit untuk beli obat ibu karena ibu lagi sakit," jawabku dengan suara datar. "Ya ampun, awet banget sakitnya sih. Ck, butuh uang berapa?" tanya Kang Dadang balik dan sungguh hal ini di luar prediksiku. Biasanya ia tidak akan pernah peduli aku minta uang berapa untuk mama karena memang tidak pernah dikasih. "Seratus tiga puluh ribu, Kang." "Mahal banget. Minta yang generik dong sama dokternya. Saya kerja jadi pawang buaya itu gak mudah, setiap saat saya bisa dimakan buaya, masa mertua enak banget minta-minta, sakitnya juga kayak formalin, awet banget," ocehnya membuat hati dan kepalaku panas kembali. Jangan sampai aku menuangkan isi asbak ini di atas kepalanya karena sudah sangat keterlaluan padaku dan juga keluargaku. "Ibu juga gak mau sakit, Kang, tapi namanya orang tua, ya kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi. Ada gak, Kang?" jawabku masih mencoba mengendalikan emosi. Aku lelah dan mengantuk, tenagaku tidak cukup untuk berdebat dengannya. "Besok saya kasih uangnya, tapi saya gak bisa kasih uang belanja kamu kalau gitu." Aku tergugu di sampingnya. Jika aku tidak diberi uang belanja, lalu aku makan apa? "Kalau saya tidak dikasih uang belanja, saya makan apa? Memangnya Kang Dadang gak makan sore?" tanyaku dengan suara bergetar siap kembali menumpahkan air mata kembali. "Saya ada acara makan-makan." "Kalau gitu Kakang mau bawakan saya makan sore, begitu? Ya sudah, gak papa, besok saya goreng nasi aja gak papa." Hatiku sedikit lega, biarlah tidak diberi uang belanja, asalkan mau dibawakan makanan sore dari tempat kerja suamiku. "Siapa yang mau bawakan kamu? ya kamu makan nasi goreng aja siang dan malam. Siapa suruh minta uang lebih dari jatah harian?" balasnya lagi dengan sewot. Aku pun hanya bisa tersenyum miris. Sungguh tragis nasib istri sepertiku ini, makan seadanya padahal suamiku mampu. "Memangnya makan-makannya dengan siapa, Kang? Sampai gak bisa bawakan makanan untuk istri. Apa Kakang makan bersama dengan buaya? Awas Kakang yang dimakan loh." Ia hanya melirikku dengan sengit, lalu memutar bola mata malasnya. "Berisik deh, sikat gigi sana! Habis itu ke kamar, nanti saya nyusul. Jangan lupa buka baju sejak awal, biar gak nyusahin saya. Kamu udah saya kasih seratus tiga puluh ribu, malam ini harus kasih saya service yang paten, paham!" Aku malas menyahut, ternyata ada imbalan yang paling malas aku lakukan atas keterpaksaan Kang Dadang memberikan uang untuk ibu. Langsung saja aku beranjak dari kursi untuk berjalan ke kamar mandi, melakukan apa yang ia perintahkan. Malam ini kami lalui dengan panas. Kuakui nafkah batinku selalu terpenuhi walau hanya satu menit saja, tetapi untuk nafkah lahir, aku benar-benar terseok-seok. Apakah hidup dalam pernikahan harus seperti ini? Tidak akan bisa seimbang keduanya? Keringat masih mengucur deras di dahi ini, tetapi Kang Dadang sudah turun dari ranjang dan berjalan untuk mengambil dompet dari dalam tas kerjanya. "Ini uang seratus tiga puluh ribu. Aku ambil buku catatan dulu." Aku semakin tidak paham dengan Kang Dadang. Ia membuka laci, lalu mengeluarkan buku catatan berukuran sedang dari sana. Catatan Utang Mertua Kamis, 1 April 2022 sebesar seratus tiga puluh ribu rupiah. Aku tulisan tangannya di buku itu. "Ini kamu harus tanda tangan, biar lebih aman. Kamu bertanggung jawab untuk mengganti uang ini saat nanti rumah mama jadi terjual. Oh iya, jangan lupa, bagian kamu harus lebih besar dari Mbak Nuri, karena kamu memiliki suami, sedangkan Mbak Nuri perawan tua. Mbak Nuri juga harus bikin surat wasiat tuh, kalau sampai nanti dia meninggal dan belum menikah serta punya anak, bagiannya untuk kamu." "Apa?! Jadi uang untuk obat mama ini kamu anggap utang, Kang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD