1. Ayo, Kita Bercerai!
"Nura, di kendi kenapa tidak ada kembalian belanja hari ini? Kamu apakan uangnya?!" tanya suamiku dengan suara tegas.
"Saya telen bulat-bulat kembalian lima ribuannya, Kang," jawabku dalam hati. Tentu saja aku tidak berani mengutarakan langsung karena saat ini dia sedang memegang gunting rumput, bisa-bisanya gunting itu melayang nanti.
"Nura, denger gak?!" Bentaknya lagi, kali ini diikuti bola mata yang mau terjun bebas ke lantai rumahku.
"Kang, tahu'kan Nek Dasimah? dia meninggal hari ini," kataku antusias. Namun Kang Dadang sama sekali tidak menoleh padaku. Ia tidak pernah peduli mau siapapun tetangga yang meninggal pada hari ini.
"Apa hubungannya dengan kembalian belanja kamu?" tanya Kang Dadang, kali ini ia meletakkan gunting rumput di balik lemari dapur. Aku yang sedari tadi menahan napas, akhirnya bisa mengembuskan napas lega saat benda tajam itu disimpan pada tempatnya.
"Tadi belanja sayur, ikan dan beli gas, habis empat puluh lima ribu, kembalian lima ribu saya taruh di baskom takziah almarhum Nek Dasimah, Kang," jawabku jujur, tetapi sama sekali aku malas melihat suamiku yang saat ini sedang tidak bersahabat.
"Kakang tenang saja, di amplop takziah sudah saya tulisin nama Kang Dadang, jadi nanti kalau suatu hari Kang Dadang menyusul Nek Dasimah, anaknya gampang ngembaliinnya."
"Apa?!"
"Hujan, Kang! Biasa ajalah kagetnya!" Aku mencebik kesal sambil mengusap air liur yang silih berganti berlompatan menciprati wajahku.
Entah apa yang merasukiku dua tahun lalu sehingga mau menikah dengan lelaki seperi Kang Dadang? Sungguh aku yang sepertinya sangat murah sekali, hanya dengan mengendarai motor RX-King berknalpot nyaring, aku luluh dan jatuh hati dengan Kang Dadang. Setelah menikah, barulah aku tahu, motor itu adalah motor temannya. Kang Dadang tidak memiliki apapun, kecuali buaya di penangkaran. Yah, suamiku berprofesi sebagai pawang buaya di Taman Satwa Ragundang.
Dengan langkah seribu, aku masuk ke dalam kamar sebelum gigi buaya ia lemparkan padaku.
Suara denting sendok yang saling beradu, membuat aku yakin masakan buatanku habis dimakan olehnya. Kang Dadang memang selalu menyukai apapun yang aku masak walau terkadang seadanya.
"Nura, piring jangan lupa dicuci sebelum kamu tidur. Gak baik meninggalkan cucian piring kotor sebelum tidur. Jangan bikin aku marah-marah terus sama istri, paham kamu, Nura? " katanya sambil naik ke atas tempat tidur.
"Iya, Kang," jawabku malas. Ia sudah berbaring memunggungiku.
Suamiku bersendawa. Entah Uak siapa maksudnya? Tetapi ia pasti memanggil Uak, jika sedang bersendawa. Apakah ini karena ia sering curhat bareng buaya?
"Kang, gimana kalau kita cerai saja? Akang jadi gak perlu marah-marah terus sama saya dan saya juga gak dosa nyumpahin Kakang di makan buaya. Yuk, kita bercerai saja!" Lelaki itu dengan cepat menoleh ke arahku dengan mata yang hendak kembali melakukan koprol di atas tempat tidurku.
"Mimpi!" Pekiknya dengan memperlihatkan susunan giginya yang berstiker daun kangkung.
Aku kembali mencebik. Dengan malas aku keluar dari kamar untuk mencuci piring bekas makannya. Hanya satu piring saja tanpa sendok, tetapi ia tetap tidak mau mencucinya. Begitulah para suami kebanyakan di luar sana. Satu biji piring pun enggan mereka cuci, padahal ada banyak pahala yang mereka dapatkan ketika meringankan pekerjaan istri.
"Nura, cuci piring sebiji saja jangan kelamaan! Masuk sini, Kakang udah melorotin sarung nih!" Aku meremas serbet makan kotak-kotak biru dengan kuat. Bisa-bisanya ia malah minta jatah di saat mood-ku sedang anjlok.
Aku tidak mau kehabisan akal. Serbet berbau amis sengaja kuusapkan kuat ke seluruh tubuhku. Biarkan nanti Kang Dadang ilfeel dan tidak jadi meminta jatah mingguan padaku.
"Nura, kamu di sini saja pelorotin bajunya, jangan di dapur. Nanti kecoa jadi pengen, ha ha ha ha.... " Habis sudah kesabaranku menghadapi suami unik seperti Kang Dadang. Selain berkata kasar, ia juga gemar mengolok-olok. Untunglah kami belum dikaruniai anak, sehingga anakku tidak perlu mendengar kalimat tidak jelas dan kasar seperti yang sering dilontarkan Kang Dadang.
"Sini, Sayang, matikan dulu lampunya. Sayang listrik! Oh, iya, semua lampu di luar sana kamu matikan juga, termasuk lampu teras ya. Ingat, bayar listrik itu pakai duit, bukan pakai bulu ketiak, jadi kita harus irit," katanya lagi dengan begitu santai.
"Gelap gulita dong, Kang, nanti tetangga bingung. Biasanya juga lampu teras dinyalakan, kenapa sekarang ikut dimatikan?" tanyaku keheranan.
"Gaji saya kena potong sepuluh persen karena saya kasbon bulan lalu untuk beli burung Merpati yang lagi viral itu. Jadi kita harus ngirit listrik bulan ini. Sudah, jangan kebanyakan tanya, cepat matikan semua lampu!" Aku berjalan dengan mengentakkan kaki dengan serampangan. Kumatikan semua lampu sesuai permintaannya.
"Aw!" Pekikku kesakitan karena kaki ini menabrak meja tamu. Tanganku meraba tembok ruang tamu untuk sampai ke kamar.
"Lihat-lihat kalau jalan, Nura, biar gak kesandung," ujar Kang Dadang menasihatiku.
"Apanya yang mau dilihat, orang gak ada lampu. Semua ruangan gelap gulita," sahutku ketus sambil menanggalkan semua pakaian.
"Pakai mata batin dong, biar tetap kelihatan walau lampunya mati," sahutnya lagi tetap tidak mau kalah. Percuma juga aku menimpali dengan kalimat yang lain, karena tetap saja ia selalu ada bahan untuk menjawab.
Satu sesi terlewati hanya dengan lima menit saja. Belum juga berkeringat, sudah selesai. Aku pun sudah biasa dengan hal ini dan hanya bisa bersabar dengan semua ujian rumah tangga yang saat ini tengah aku hadapi.
Kang Dadang mendengkur keras setelah selesai menunaikan hajatnya. Aku memilih untuk membersihkan tubuh sebelum tidur. Pelan aku turun dari tempat tidur agar suamiku tidak terganggu. Ah, iya, mana mungkin ia terganggu bila sudah mendengkur keras seperti ini.
"Nyalakan airnya pelan saja, bayar air mahal!" Ujarnya dengan suara serak. Aku menoleh kaget, lalu menghela napas berat. Air, listrik, makanan, semua harus selalu irit. Jadi crazy rich juga tidak, yang ada malah nyusahin hidup. Batinku kesal.
Pagi harinya, seperti biasa aku bangun lebih awal untuk menunaikan salat subuh. Kang Dadang masih tidur dengan lelap, padahal sudah sejak tadi aku bangunkan untuk ikut salat subuh. Namun suamiku itu terlalu santai untuk menjalankan perintah lima waktu sebagai seorang muslim.
Aku berjalan ke dapur untuk melihat ada bahan makanan apa hari ini yang bisa diolah untuk sarapan. Ternyata isi dapurku habis, baik telur, beras, garam, dan juga aneka bumbu. Sepeser pun uang aku tidak punya, semua urusan keuangan rumah di atur oleh Kang Dadang.
"Kang, bangun, bagi uang untuk beli telur. Saya mau bikin sarapan," ujarku sambil mengguncang tubuh Kang Dadang.
"Ambil dua ribu di dalam dompet," sahutnya dengan mata masih tertutup.
"Mana cukup beli telur dan beras dua ribu, Kang. Beras habis, garam habis, bumbu dapur juga habis. Bagaimana saya mau masak kalau cuma diberi dua ribu?" omelku dengan hati yang kembali panas. Kang Dadang berbalik menatapku dengan tidak suka.
"Siapa suruh kamu boros? Makanya jadi istri itu harus pintar atur uang belanja yang suami berikan. Banyak kok diluaran sana cukup memasak hanya dengan sepuluh ribu. Kemarin kamu saya kasih uang lima puluh ribu malah dikasih untuk takziah dan beli gas. Harusnya lima puluh ribu itu bisa untuk lima hari. Pikir dong gimana caranya biar bisa cukup untuk semuanya? Jangan kamu tahunya minta saja sama suami!" Aku bangun dari duduk, lalu berjalan cepat keluar dari kamar.
"Oke, kamu cari wanita saja wanita lain yang cukup makan sepuluh ribu sehari, ditambah dengan jatah makan mulut kamu itu, Kang! Saya pergi!"